Masalah kesehatan mental di tempat kerja semakin menjadi sorotan. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 dari Kementerian Kesehatan RI, sebanyak 1,2 persen pegawai swasta di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental. Angka ini lebih tinggi dibandingkan pegawai negeri—seperti PNS, TNI, Polri, serta karyawan BUMN dan BUMD—yang mencatat prevalensi 0,7 persen. Selain itu, survei mencatat 1 persen pegawai swasta dan 0,3 persen pegawai negeri mengalami depresi.
Direktur Kesehatan Jiwa Kemenkes RI, dr. Imran Pambudi, menjelaskan bahwa beban kerja yang berat dengan fasilitas yang kurang memadai menjadi salah satu penyebab utama.
“Target kerja yang tinggi tanpa fasilitas pendukung memadai menambah tekanan bagi pekerja,” ujarnya dalam acara talkshow dan Meditasi bertajuk Memecahkan Masalah Kesehatan Mental di Lingkungan Kerja di Jakarta (29/11/2024) lalu.
Hal ini sejalan dengan data dari Pusat Kajian dan Terapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (PKTK3) FKM UI, 80 persen pekerja menghadapi tuntutan kerja yang tidak memadai, fasilitas pendukung yang minim, hingga beban kerja yang berlebihan. Kondisi ini menciptakan risiko tinggi bagi kesehatan mental karyawan.
Dalam wawancaranya, dr. Imran menjelaskan pendekatan Kemenkes yang mencakup promosi, pencegahan, hingga penanganan gangguan mental secara holistik. Salah satu langkah penting adalah pelibatan perusahaan dalam menjaga kesehatan mental karyawannya.
“Harus ada paling tidak bagian HRD yang paham tentang kesehatan mental. Kita juga melatih beberapa kader di perusahaan untuk mendeteksi dini gangguan mental,” jelas dr. Imran.
Langkah Konkret di Tempat Kerja
Kemenkes merekomendasikan perusahaan untuk melakukan skrining kesehatan mental secara rutin. Deteksi dini ini semoga membantu mengidentifikasi masalah sejak awal. Selain itu, pelatihan khusus bagi kader perusahaan untuk memahami dan menindaklanjuti hasil skrining dengan tepat.
“Setiap tahun, kami harapkan perusahaan melakukan assessment kesehatan jiwa. Ini penting agar perusahaan bisa mengambil langkah yang tepat jika ditemukan peningkatan kasus,” tambahnya.
Dalam konteks yang lebih luas, dr. Imran juga menekankan pentingnya mengurangi stigma terhadap kesehatan mental karyawan muda. Ia berharap, media bisa lebih banyak mengekspos cerita positif daripada memperkuat label negatif. Misalnya dengan istilah “generasi stroberi” yang sering disematkan pada gen Z.
“Label seperti ini bisa melemahkan semangat mereka. Jangan-jangan mereka sebenarnya ‘tough’ tapi karena mendapat label seperti ini jadi melemah. Kita harus membangun narasi positif untuk mendorong mereka bangkit,” tegasnya.
Teknik Mengelola Emosi: Psikolog Sarankan Beberapa Solusi Mandiri
Selain pendekatan di tempat kerja, “Bunda” Arsaningsih, guru meditasi bersertifikat Professional Spiritual Healer juga menyarankan menggunakan metode Soul Reflection. Setiap individu juga dapat menerapkan teknik perawatan diri untuk menjaga kesehatan mental. Misalnya ada beberapa contoh. Pertama, relaksasi yaitu mengurangi ketegangan melalui pernapasan mendalam, relaksasi otot, atau guided imagery.
Kedua, mindfulness atau melatih kesadaran terhadap realitas melalui fokus pada pikiran dan perasaan. Ketiga, journaling atau mengalirkan pikiran dan emosi lewat tulisan.
Keempat, butterfly hug alias menenangkan diri dengan menyilangkan tangan di dada, menepuk bahu bergantian, dan bernapas pelan. Kelima, pernafasan kotak atau teknik pernapasan pola 4-4-4-4 untuk menenangkan diri.
Keenam, grounding alias melibatkan indera untuk mengurangi kecemasan dengan metode 5-4-3-2-1 (menyebutkan 5 hal yang dilihat, 4 dirasakan, 3 didengar, 2 dihidu, dan 1 dikecap).
Hotline dan Pelayanan untuk Kesehatan Mental
Saat ini, Kemenkes menyediakan layanan hotline 119 khusus untuk krisis seperti ancaman bunuh diri. Namun, Kemenkes tengah merancang sistem hotline yang lebih luas, mencakup layanan konseling ringan melalui chat, untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang ingin berbagi atau curhat tentang masalah mental mereka.
“Dari hasil pemantauan layanan hotline, kami melihat banyak orang merasa lebih nyaman menggunakan chat untuk menceritakan masalahnya. Ini akan jadi fokus pengembangan ke depan,” kata dr. Imran.
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post