Narasi-narasi palsu—mulai dari klaim pemilu yang “dicurangi” hingga hoaks tentang vaksin COVID-19—telah menciptakan keraguan, ketakutan, dan bahkan kebencian.
Kini, misinformasi tampaknya bukan hanya kesalahan informasi. Ia telah bertransformasi menjadi senjata, dan dunia digital adalah ladangnya.
Dalam peluncuran riset Engage Media bertajuk “Ekonomi Politik Cek Fakta di Indonesia,” di Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Irma Garnesia, konsultan Riset EngageMedia mengungkap fakta bahwa misinformasi tidak lagi hanya tentang polarisasi. Saat ini misinformasi terkait propaganda politik dan otoritarianisme digital.
“Dulu, misinformasi lebih mudah teridentifikasi dan diperbaiki karena faktanya lebih straightforward. Namun sekarang, sering kali misinformasi justru bagian dari propaganda yang lebih besar. Misalnya, pemerintah sering memberi label ‘hoaks’ pada berita-berita yang mengkritik mereka,” ujarnya, Jumat (13/12/2024).
Indonesia, seperti banyak negara lain, sedang berada di persimpangan. Media sosial telah menjadi jalur utama penyebaran informasi, tetapi juga ladang subur bagi hoaks. Ketika algoritma lebih peduli pada klik daripada kebenaran. Publik semakin sulit memilah fakta dari fiksi. Hal inilah yang memunculkan peran penting jurnalisme cek fakta. Sebuah metode untuk merestorasi kepercayaan di tengah kekacauan informasi yang terus berkembang.
Cek Fakta sendiri bukanlah hal baru. Sejak 7 tahun lalu, media-media besar di Indonesia mulai mengadopsi praktik ini untuk menjaga kualitas informasi yang mereka sebarkan. “Per 2024, ada lima media massa nasional yang tergabung di IFCN; Liputan6, Suara.com, Tempo.co, Tirto.id, Kompas.com, serta organisasi masyarakat sipil, Mafindo. Dan praktik ini kian berkembang di berbagai media di Indonesia,” ungkap Irma.
Namun, tantangannya tidak kecil. Skalanya begitu besar. Data global menunjukkan, hingga akhir 2023, pemeriksa fakta di seluruh dunia telah memverifikasi hampir 300.000 klaim melalui platform seperti Claim Review. Namun angka itu hanyalah setetes air dalam lautan misinformasi yang terus meluas.
Cek Fakta di Perang Informasi: Information Muddle, AI, dan Propaganda Politik
Seiring dengan berkembangnya teknologi, kini ancaman misinformasi juga makin canggih. Kecerdasan buatan (AI) bukan hanya mempercepat penyebaran hoaks, tetapi juga membuatnya lebih sulit terdeteksi. Orang main sulit membedakan deepfake dan bot pintar dengan fakta . Irma memberi contoh, kampanye Prabowo-Gibran memanfaatkan teknologi ini. Tujuannya untuk memanipulasi informasi dengan cara yang lebih halus dan cepat.
“Kampanye gemoy memanfaatkan manipulasi media sosial yang halus dan cepat, menyamarkan fakta sejarah seperti peristiwa ’98. Ini adalah disinformasi tak langsung—bukan terang-terangan. Misinformasi ibarat gunung es, memengaruhi putusan MK, alokasi dana bansos, hingga operasi polisi di media sosial,” Irma mencontohkan.
“Kami menyebutnya sebagai kekacauan informasi (information muddle). Ini terjadi lewat manipulasi medsos yang subtil dan berjangka waktu pendek (influence operation),” ujar Irma.
Pemahaman tentang misinformasi sering kali menyederhanakan proses Cek Fakta menjadi sekadar upaya mengoreksi yang salah menjadi benar. Padahal, dalam konteks politik, realitanya jauh lebih kompleks.
Cek Fakta seringkali mendapat anggapan remeh sekadar upaya mengoreksi klaim yang salah. Padahal, dalam konteks politik, proses ini jauh lebih rumit.
Misalnya, klaim Prabowo yang menyebut negara-negara Afrika belajar dari Indonesia. Klaim dibantah oleh lembaga cek fakta dengan menyebut dua negara yang memang belajar tentang lingkungan.
“Apakah itu cukup mewakili? Ini justru bentuk generalisasi dan cherry-picking,” tambahnya.
Di sisi lain, pemeriksa fakta juga menerapkan strategi “prebunking,” yang mencerminkan praktik ini juga terbawa arus logika media yang lebih memilih klaim yang karena anggapan ‘laku’ bagi pembaca. “Dalam praktik live fact-checking, pemeriksa fakta memilih dan memeriksa klaim yang sering kali berdasarkan daya tarik editorial. Atau untuk menjaga keseimbangan antara pasangan calon dalam konteks politik,” lanjut Irma.
Risiko Misinformasi: Publik Perlu Lebih Kritis
Sherly Haristya, peneliti independen, menekankan bahwa tantangan tidak hanya datang dari penyebar misinformasi, tetapi juga dari pembaca yang kurang kritis dan minim literasi media. Banyak pembaca yang masih menganggap platform dengan embel-embel “TV” atau “pers” sebagai sumber tepercaya, padahal belum tentu mereka mematuhi kode etik jurnalistik.
“Jika kita tidak melakukan riset mendalam, sulit untuk mengetahui apakah platform tersebut benar-benar independen,” ujarnya.
Sherly juga menyoroti pentingnya memeriksa akun di balik narasi yang beredar. Banyak akun yang menggunakan nama-nama besar, seperti ‘TV,’ padahal sebelumnya akun tersebut mungkin adalah akun gaming atau penyebar hoaks. “Kita tidak bisa hanya melihat narasinya, tetapi juga harus memeriksa latar belakang akun yang menyebarkannya,” tambahnya.
Violla Reininda dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebutkan bahwa regulasi yang ada saat ini belum cukup untuk mengatasi kompleksitas penyebaran informasi. Momen pemilu, misalnya, semakin penuh oleh simpatisan dan buzzer yang menyebarkan informasi tak terverifikasi.
“Kebanyakan informasi tidak berasal dari akun resmi, tetapi dari buzzer, influencer, dan simpatisan,” ujar Vio.
Ia menambahkan bahwa aturan KPU dan Bawaslu yang membatasi tim kampanye hanya bisa mendaftarkan maksimal 20 akun resmi media sosial masih terlalu normatif dan tidak mampu menjangkau akun-akun tidak resmi yang menyebarkan informasi.
Di sisi lain, Vio juga menyoroti kaitan antara arus informasi terkait kepemiluan dengan ruang kebebasan sipil (civic space).
“Di ruang publik, masyarakat seharusnya bisa mengekspresikan pandangan politik mereka terhadap kandidat tertentu. Tapi sering kali, pihak yang kritis justru menjadi sasaran serangan,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab kepada platform media sosial untuk memoderasi konten bukanlah solusi yang ideal. Sehingga perlu ada pertimbangan terkait standar platform untuk menilai atau memverifikasi konten yang mengandung misinformasi.
Tantangan Berat Pemeriksa Fakta
Di daerah, tantangan jurnalisme Cek Fakta juga semakin besar. Salah seorang peserta diskusi juga menyoroti bagaimana pemetaan cek fakta di luar Jakarta menunjukkan tantangan yang berbeda.
“Kami ke Surabaya, Ambon, dan Medan. Tapi pelatihan Cek Fakta yang diadakan sering kali tidak kompatibel dengan kondisi mereka. Misalnya, setelah ikut training, pas balik ke redaksi, malah tidak bisa dipakai.”
Ketakutan jadi faktor utama. Ia menceritakan, “Ada jurnalis yang takut dibacok politisi lokal atau rumahnya didatangi bandar judi. Kita tahu kasus jurnalis dibakar oleh bandar judi itu nyata. Ketakutan ini benar-benar jadi tantangan mereka.”
Selain itu, keberlanjutan sistem Cek Fakta dan medianya juga mendapat sorotan. Anggota AJI Bandung Adi Marsiela menyebut banyak media pun masih tidak mendukung. Sebagai contoh, Pengurus AJI Indonesia ini menyebut Tirto yang mana pemeriksa fakta kurang dari lima. Kompas juga sama. Sementara itu, Mafindo punya lebih banyak pemeriksa fakta karena mengandalkan pekerja lepas.
“Ini semua menunjukkan bagaimana sistem yang kita pakai di Jakarta belum tentu relevan di daerah.” ujar Adi.
Penulis: Dian Amalia Ariani
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post