Seseorang secara fisik tidak dalam kondisi penyakit yang serius tetapi mengonsumsi berbagai macam obat yang justru tidak perlu. Dia pergi ke sejumlah dokter sehingga diagnosa penyakitnya banyak sekali.
Hal ini akibat masalah psikologis yang tidak tertangani dengan baik. Dunia medis tidak saja mengenal permasalahan pada fisik tetapi juga masalah mental yang seringkali menjadi penyebab masalah kesehatan lainnya.
Terkait dengan hal itu, butuh dukungan pada pasien agar berdaya dan sembuh dari dalam. Aspek fisik dan mental pun bertautan dalam pengobatan dan penyembuhan.
Kesepian dan Konflik “Diri”
Salah satu masalah diri adalah kesepian (loneliness). Kesepian akibat hilangnya koneksi dengan diri sendiri dan orang lain sehingga bisa memengaruhi kondisi kesehatan. Ketika seseorang merasa terisolasi secara emosional, maka itu bisa menurunkan energi tubuh, mengganggu sistem imun, dan menghambat proses penyembuhan.
Menurut dr. Herin Anggreni dalam Diskusi “Ego Yang Sehat” dari Laras Daya secara daring pada Selasa, 3 Desember 2024, meskipun banyak kesuksesan seseorang tetap bisa mengalami kesepian.
“Ia merasa kosong. Kehilangan koneksi dengan dirinya sendiri maupun di lingkungan sekitarnya. Saat seseorang merasa kesepian maka hal ini menjadi faktor resiko besar terjadinya gangguan kesehatan,” ujar dr. Herin.
Kesepian berakar pada kehilangan hubungan dengan diri sendiri. Hal ini menciptakan perasaan tidak aman dan membangun tembok perlindungan emosional. Akibatnya justru menghalangi seseorang untuk terhubung dengan orang lain. Tembok ini bisa menyebabkan kecemasan dan ketegangan yang mengalihkan energi tubuh dari penyembuhan menjadi pertahanan diri.
‘Ego’ atau bagian dari ‘Diri; manusia memiliki peran penting dalam menjaga keselamatan. Namun bagian dari ‘Ego’ bisa merusak keseimbangan diri serta menyebabkan gangguan mental dan fisik.
Setiap individu memiliki berbagai bagian dari ‘Diri’ ini. Masing-masing dengan usia dan sifat yang berbeda. Misalnya bingung saat ingin memutuskan sesuatu. Seperti memilih pakaian atau hendak melakukan diet, ada berbagai bagian dari ‘Diri’ yang saling berkonflik dan memberikan pengaruh. Konflik internal ini adalah contoh nyata dari berbagai bagian ‘Diri’ yang saling beradu, memengaruhi keputusan, dan perilaku seseorang.
Sebagai contoh, ada seorang perempuan berusia 40 tahun. Dia sangat sukses dalam karir dan tampak bahagia. Namun, wanita ini mengalami trauma berat dalam hidupnya akibat perselingkuhan suaminya sehingga membuat perasaannya tidak aman dan kehilangan kepercayaan diri. Dia lari dari perasaan tersebut dengan fokus pada pekerjaan. Sayang, hal ini justru membawa dampak buruk bagi kesehatannya.
Perempuan tersebut kemudian mulai menyadari konflik internal yang selama ini tidak selesai, sehingga memicu stres kronis. Konflik antara bagian ‘Diri’ sebagai wanita karier, istri, ibu, dan korban perselingkuhan berlangsung tanpa penyelesaian sehingga menciptakan tekanan emosional yang memengaruhi kesehatannya.
Bagian ‘Diri’ yang terlibat dalam kasus ini adalah sisi yang sangat terluka karena perselingkuhan, dan bagian ‘Diri’ lainnya yang mengkritik diri sendiri.
“Bagian ‘Diri’ ini memiliki kekuatan karena ini terkait dengan energi yang menggerakkan perilaku, keputusan, dan ekspresi emosi. Ada bagian ‘Diri’ yang baik, bagian ‘Diri’ yang buruk, dan bagian ‘Diri’ yang memiliki spiritualitas tinggi, dan semua itu ada dalam situasi tertentu dalam hidup manusia di mana seseorang saat mengalami trauma,” kata pakar hipnoterapi ini.
“Kondisi trauma di dalam hidup akan menimbulkan konflik ‘Ego’ atau bagian-bagian ‘Diri’ yang hal ini akan menyebabkan kondisi stres kronis sehingga bisa mengancam kesehatan dan keselamatan individu,” tuturnya.
Untuk menyelesaikan masalah ini perlu kemampuan untuk mengelola dan memimpin bagian-bagian ‘Diri’ agar seseorang bisa menyeimbangkan energi yang digunakan. Baik untuk pertahanan hingga penyembuhan dan pengembangan diri. Penyembuhan ini memerlukan kesadaran dan penerimaan atas bagian-bagian ‘Diri’ yang berbeda serta kemampuan untuk mengatasi konflik internal yang menyebabkan stres kronis.
Pada akhirnya tubuh merupakan cerminan dari kondisi batin seseorang. Ketika ada ketidakseimbangan dalam ‘Diri’ seperti konflik antara bagian ‘Diri’ yang berbeda maka ini bisa memicu permasalahan fisik dan mental.
Pembentukan ‘Ego’
Kekacauan ‘Ego’ merupakan perjuangan yang berat namun membawa wawasan berharga. Pergumulan tersebut meskipun melelahkan tetapi memberi kelegaan besar saat seseorang menemukan jalan keluar dan mulai mengelola dirinya dengan lebih baik.
Romo Sunardi SCJ menjelaskan ‘Ego’ berasal dari kata Yunani yang berarti ‘Aku’ atau ‘Diri’. ‘Ego’ merupakan pusat dari jati diri seseorang. ‘Ego’ melibatkan kesadaran seseorang terhadap siapa dirinya dan bagaimana dia berinteraksi dengan orang lain. Kesadaran ini berkembang seiring waktu.
Proses pembentukan ‘Ego’ berawal dari relasi dengan orang-orang terdekat yang memberikan pengalaman pertama tentang ‘Diri’ dan dunia sekitar.
Ketika seseorang lahir tidak memiliki kesadaran penuh tentang ‘Diri’ bahkan tidak ada ingatan. Namun, relasi dengan orang tua atau pengasuh utama yang membentuk keyakinan, harga diri, dan kemampuan untuk bereksplorasi. Pengasuh yang memberikan perhatian dan kasih sayang akan mempengaruhi perkembangan ‘Ego; yang sehat sementara pengalaman kekerasan atau pengabaian dapat menghasilkan ‘Ego’ yang terganggu.
Seseorang yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kekerasan atau pengabaian maka tubuhnya menyimpan memori ini dan memengaruhi kepribadian dan perilaku mereka. Tubuh dan pikiran akan mengingatnya meski memori tersebut tidak ia sadari. Sedangkan pengasuh yang mendukung perkembangan sehat memberikan dasar yang kuat bagi ego seseorang.
Orang penting lainnya selain orang tua kaya kakek nenek, guru, atau tokoh agama, turut memengaruhi pembentukan ‘Ego’.
Peristiwa dan pengalaman penting yang terjadi sepanjang hidup, baik yang positif maupun negatif, juga membentuk kualitas ego. Pengalaman traumatik, meskipun sering kali ditekan atau tidak disadari, turut memengaruhi seseorang berinteraksi dengan dunia dan dirinya sendiri.
Terkait dengan hal tersebut maka Romo Sunardi menekankan untuk menyambut dan mengolah pengalaman masa lalu dengan cara konstruktif agar ego berkembang dengan sehat.
‘Ego’ Yang Sehat
Akademisi ini kemudian merujuk pada sejumlah konsep yang dari para tokoh psikologi. Di antaranya Sigmund Freud, Eric Berne, Carl Rogers, dan Donald Winnicott.
Freud membagi kepribadian manusia menjadi tiga bagian yakni ‘Id’, ‘Ego’, dan ‘Superego’. ‘Id’ adalah dorongan alami dan naluri yang adalah warisan dari orang tua. Sementara ‘Superego’, berisi norma dan nilai-nilai yang adalah ajaran oleh orang tua dan masyarakat. ‘Ego’ berada di tengah, bertugas untuk menyeimbangkan keduanya dan memastikan bahwa individu berfungsi secara sosial dan moral.
Sementara Eric Berne membagi ‘Ego’ menjadi tiga bagian seperti ‘Ego Orang Tua’, ‘Ego Anak’, dan ‘Ego Dewasa’. Adapun ‘Ego Orang Tua’ mencerminkan nilai-nilai warisan orang tua dan otoritas lainnya. Lalu ‘Ego Anak’ menggambarkan sisi yang lebih emosional dan spontan. Sementara ‘Ego Dewasa’ berperan untuk mengendalikan dan membuat keputusan yang rasional.
Dalam hubungan interpersonal, pasangan suami istri bisa berperan sebagai ‘Orang Tua’ yang mengendalikan atau menjadi ‘Anak’ yang mengikuti keputusan pasangan. Idealnya, individu harus memiliki ‘Ego Dewasa’ yang dapat memimpin dirinya sendiri dengan bijaksana.
‘Ego’ yang sehat adalah ‘Ego’ yang mampu mengendalikan dan memimpin diri sendiri tanpa terjebak dalam perilaku kekanak-kanakan atau otoriter. Proses pengelolaan ‘Ego’ ini juga berkaitan dengan perkembangan diri di mana seseorang berusaha agar ‘Diri Riil’ semakin mendekati ‘Diri Ideal’. Carl Rogers menekankan bahwa semakin konsisten antara ‘Diri Riil’ dan ‘Diri Ideal’, maka semakin sehat individu tersebut.
Berbeda dengan Donald Winnicott yang menyoroti perbedaan antara ‘Diri Sejati’ dan ‘Diri Palsu’. Lalu ‘Diri Sejati’ itu otentik, sementara ‘Diri Palsu’ adalah mekanisme pertahanan atau ekspektasi sosial yang tidak sesuai dengan kenyataan.
‘Ego’ yang sehat adalah ego yang jujur dengan dirinya sendiri dan tidak terjebak dalam penolakan atau pemalsuan identitas. ‘Ego’ yang tidak sehat tandanya adalah ketidakmampuan untuk menghadapi kenyataan dan cenderung menolak atau menyangkal tantangan yang ada.
Individu dengan ‘Ego’ yang tidak sehat mungkin merasa hancur oleh peristiwa traumatik atau perasaan rendah diri, dan dalam beberapa kasus mencari pelarian melalui karier tanpa menyelesaikan masalah inti. Juga mungkin mengalami kesulitan untuk menerima kenyataan atau menjalani hidup dengan penuh tanggung jawab.
Romo Sunardi mengungkapkan bahwa ‘Ego’ yang sehat adalah ‘Ego’ yang mampu menghadapi dan mengelola pengalaman hidup, baik yang positif maupun negatif, dengan cara yang konstruktif. Pengelolaan ‘Ego’ yang baik akan membantu seseorang untuk lebih adaptif dalam menghadapi tantangan hidup dan mengembangkan potensi sehingga menjadi pribadi yang lebih dewasa, bijaksana, dan penuh integritas.
“Ketika bisa mengerti ‘Ego’ terbentuk moga-moga bisa menjadi lebih baik dalam mengelolanya. ‘Ego’ tidak hanyut di dalam kekacauan tetapi bisa mengendalikan, bisa memimpin, sehingga versi terbaik ‘Diri’ bisa keluar,” pungkas Imam dari Kongregasi Hati Kudus Yesus ini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post