Program unggulan Presiden Prabowo Subianto Makan Bergizi Gratis (MBG) terus menjadi perhatian publik. Pasalnya, kebutuhan dana untuk mengimplementasikan kebijakan yang populis itu sangat besar.
Saat ini, pemerintah sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp71 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain dari APBN, dana untuk program ini juga berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Sementara, kebutuhan dana untuk MBG menurut Badan Gizi Nasional (BGN) diperkirakan sekitar Rp400 triliun per tahun dengan target penerima 82,9 juta jiwa. Dana tambahan pun perlu ada persiapan dari pemerintah jika ingin program tersebut berjalan.
Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani mengusulkan pendanaan MBG bisa berasal dari cukai rokok. Hal ini mengingat pendapatan dari cukai rokok cukup besar dan bisa menjadi penambal alternatif dana untuk MBG.
“Benar [saya mengusulkan cukai rokok jadi alternatif sumber dana MBG]. Cukai rokok per tahun itu kurang lebih Rp150 triliun,” kata Irma kepada Prohealth.id, Jumat (17/1/2025).
Alternatif ini menurut Irma bukan hanya bisa membantu pendanaan MBG, melainkan juga bisa menurunkan prevalensi konsumsi rokok di Indonesia yang terbilang masih tinggi.
Survei Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2023 menunjukan jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang. Dari jumlah itu, sebanyak 7,4 persen di antaranya adalah perokok remaja (usia 10-18 tahun).
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) juga menunjukan perokok dewasa mengalami peningkatan dari 61,4 juta orang di tahun 2011 menjadi 70,2 juta orang di tahun 2021. Lalu, prevalensi pengguna rokok elektronik meningkat 10 kali lipat, dari 0,3 persen di tahun 2011 menjadi 3,0 persen di tahun 2021.
“Ini sekaligus bisa menurunkan prevalensi perokok,” ujarnya.
Dia menyebut penggunaan anggaran Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan rokok dan perusahaan besar lainnya selama ini justru untuk hal-hal yang tidak jelas. Lebih baik, kata Irma, untuk program MBG.
“Ngapain repot-repot. CSR BUMN, CSR perusahaan-perusahaan besar para konglomerat kan bisa? Selama ini CSR-CSR tersebut peruntukannya kan enggak jelas output-nya? Daripada mubazir, mending nyumbang untuk program ini,” tuturnya.
Irma berpendapat opsi cukai rokok ini lebih baik dibandingkan usulan dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Najamuddin. Sultan mengusulkan alternatif pembiayaan program MBG bisa melalui skema zakat, infaq, dan sedekah (ZIS). Menurutnya, ZIS telah diatur dalam agama untuk kemaslahatan umat, khususnya fakir miskin.
“Zakat itu dana umat untuk urusan agama. Kemaslahatan umat, fakir miskin, dana operasional rumah ibadah dan sebagainya,” ucap Irma.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar menjelaskan cukai memang bisa saja menjadi alternatif pembiayaan program MBG. Bahkan jika perlu, kata dia, cukai rokok sebaiknya naik.
Pendapatan dari cukai rokok bisa untuk menutupi kebutuhan lain dan lebih signifikan dalam menurunkan prevalensi perokok aktif di Indonesia.
“Peningkatan cukai rokok dapat menurunkan konsumsi, terutama di kalangan pemuda, mengurangi prevalensi perokok aktif, mengurangi beban kesehatan,” kata Media kepada Prohealth.id.
Namun, dia juga mewanti-wanti kenaikan cukai harus hati-hati untuk menghindari pembelian rokok ilegal atau dampak negatif pada daya beli masyarakat. Kebijakan ini perlu pengawasan ketat dan program penyuluhan agar efektif mengurangi konsumsi tanpa dampak buruk bagi masyarakat.
Selain mencari tambalan dana yang besar, di sisi lain pemerintah juga perlu mengkaji ulang penerima program tersebut. Media mengungkapkan dalam kondisi fiskal yang terbatas, langkah terbaik untuk menambal kekurangan dana program MBG adalah dengan mengalokasikan anggaran secara tepat sasaran. Caranya yaitu hanya untuk kelompok yang benar-benar membutuhkan, seperti anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah.
Studi CELIOS menunjukkan bahwa kelompok dengan pendapatan di bawah Rp2 juta per bulan adalah yang paling rentan terhadap masalah malnutrisi. Sehingga, fokus pada kelompok ini akan memastikan bahwa program tersebut memberikan dampak yang signifikan sekaligus efisien dalam penggunaan anggaran.
Dengan pendekatan ini, kata dia, penggunaan dana yang tersedia dapat secara optimal tanpa perlu mengorbankan pos anggaran lain dalam APBN. Pemotongan dana dari sektor layanan publik, seperti pendidikan atau kesehatan umum, untuk mendanai MBG yang tidak tepat sasaran justru menciptakan masalah baru yang dapat merugikan masyarakat lebih luas.
“Selain itu, alokasi yang menyasar seluruh anak tanpa memperhatikan kebutuhan spesifik hanya akan membengkakkan anggaran tanpa menghasilkan manfaat yang sebanding,” ucapnya.
Pun jika pemerintah nantinya menarik anggaran dari cukai rokok. Media ingin dana yang besar dari cukai rokok ini lebih tepat sasaran.
“Alokasi dana cukai rokok sebenarnya akan lebih optimal jika digunakan untuk program pengentasan kemiskinan yang lebih tepat sasaran, seperti Program Keluarga Harapan (PKH),” tuturnya.
“Program ini lebih punya mekanisme yang terukur untuk menjangkau kelompok rentan, termasuk keluarga miskin, ibu hamil, dan balita, yang jadi target utama dalam upaya perbaikan gizi,” imbuhnya.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) menunjukkan presentase prevalensi malnutrisi pada tahun 2021 yakni 24,4 persen. Kemudian menurun menjadi 21,6 persen pada 2022. Namun akngka itu masih tinggi. Standar yang dikeluarkan WHO, prevalensi stunting harus di angka kurang dari 20 persen.
Penulis: Ningsih
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post