Kelly (42), bukan nama sebenarnya, tak pernah mengira dirinya mengidap tuberkulosis. Kelly hanya tahu ia memiliki autoimun-lupus sejak tegak diagnosis lupus oleh dokter pada Januari 2015.
Pada November 2016, perempuan asal Lampung ini memutuskan pindah dari Lampung ke Jakarta karena menilai upayanya mengalahkan autoimun-lupus tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Awal 2017, di tengah fase pengobatan lupus, Kelly mendadak kehilangan nafsu makan. Tubuhnya semakin kurus. Batuk yang ia alami juga tak kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Ia minum obat, tetapi tak kunjung sehat. Hingga suatu hari, penanggung jawab dari rumah sakit di bilangan Jakarta Pusat, tempat Kelly rutin rawat jalan, menghubunginya untuk segera masuk Instalasi Gawat Darurat (IGD).
“Waktu itu belum ketahuan tuberkulosis. Aku juga tidak tahu itu tuberkulosis. Jadi mungkin, tuberkulosisnya itu sudah dari akhir tahun 2016, atau awal 2017 Januari,” ujarnya pada Prohealth.id, Minggu (16/2/2025).
Pihak rumah sakit menempatkan Kelly di ruang rawat inap biasa selama dua malam. Ia menjalani beberapa tes termasuk pengecekan dahak. Setelah itu, ia mendadak dipindahkan ke ruang ICU dalam keadaan tak sepenuhnya sadar. Menurutnya, tidak seorang pun dari pihak kerabat ataupun tenaga medis yang menginformasikan dengan jelas bahwa ia menderita tuberkulosis.
“Aku heran kenapa pakai masker terus, sesak, panas, atau bagaimana. Terus, heran juga kok tidak ada yang jenguk. Ada saudara jenguk pun, dia dari luar saja. Tidak berani masuk ke dalam. Ada banyak jagain pakai masker,” kenangnya.
Kelly akhirnya mengetahui kalau ia terkena tuberkulosis sewaktu ia bisa memegang ponsel, ia membuka Facebook. Kebetulan, ada salah satu saudara yang memberi komentar semangat sembuh dari tuberkulosis.
“Di situ baru tahu aku kalau kena TB (tuberkulosis). Terus pas sudah pulang dari rawat inap saya dapat pesan jangan takut sama TB, tidak apa-apa selama rajin minum obat,” ujar Kelly.
Selama proses penyembuhan, Kelly meminum tiga jenis obat tuberkulosis dalam satu hari. Ia juga harus menambah jenis obat baru dengan metode suntik dari mulai Senin sampai Sabtu. Ia merasakan beberapa efek samping, salah satunya mual. Ia menyadari fisiknya melemah, ditambah nyeri di sekujur tubuh dan rambutnya menipis.
“Selama proses itu berat badanku turun banget. Waktu kena lupus berat badanku 46 kilogram. Begitu kena TB, jadi 40 kilogram. Setelah pulih dan sehat, pelan-pelan naik. Awalnya mentok kembali 46 kilogram. Baru bisa sentuh 50 kilogram tahun 2021,” ungkap Kelly.
Pengobatan tuberkulosis yang Kelly lakukan berjalan paralel dengan penyembuhan autoimun. Untuk obat autoimun, ia mendapat dosis cukup tinggi untuk menekan imun. Efeknya, ia lebih rentan terhadap berbagai jenis infeksi akibat virus, bakteri, dan kuman.
Dengan sabar menanti pulih, Kelly menghabiskan masa pengobatan selama 12 bulan. Ia setop konsumsi obat tuberkulosis tahun 2018. Meski dokter paru menyebut sudah bersih lebih awal, ia memutuskan berhenti minum obat pada Mei 2018 karena ingin tidak ada bakteri yang tersisa.
“Aku bukan tipikal yang buru-buru setop obat. Ada orang yang pengen cepat-cepat. Ini karena aku peduli kesehatanku, aku mau benar-benar bersih dari TB. Kalau misalnya buru-buru kita tidak tahu ke depannya bagaimana, tidak ada jaminan itu tidak akan kambuh lagi,” jelasnya.
Quick Wins, Pemotongan Anggaran, dan Bantuan Luar Negeri yang Menipis untuk Eliminasi Tuberkulosis
Presiden dan Wakil Presiden RI, Prabowo-Gibran, dalam program kerja Asta Cita mencanangkan target program prioritas dengan nama ‘quick-wins’ yang harus tuntas dalam waktu 100 hari masa kerja. Prohealth.id mencatat, salah satu target quick-wins adalah pemeriksaan kesehatan gratis untuk tekanan darah, gula darah, foto rontgen, dan skrining penyakit katastropik sebesar Rp3,2 triliun. Mereka juga berkomitmen menuntaskan kasus tuberkulosis (TBC) dengan sasaran penurunan menjadi 272 per 100.000 penduduk. Adapun komitmen anggaran yang direncanakan adalah sekitar Rp8 triliun.
Pemerintah Indonesia juga punya Strategi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia pada 2020-2024 yang selaras dengan End TB Strategy–sebuah komitmen global pemerintah untuk mengeliminasi tuberkulosis pada 2030. Komitmen ini tertuang dalam dokumen berisi strategi bersifat holistik dengan melibatkan banyak stakeholder dan menerapkan pendekatan “Kerangka Perencanaan yang Berpusat pada Masyarakat (people-centered framework) dari WHO” untuk menurunkan tuberkulosis sesegera mungkin.
Dalam strategi penanggulangan tuberkulosis di Indonesia pada 2020-2024, Indonesia menargetkan penurunan insidensi tuberkulosis dari 319 per 100 ribu penduduk pada 2017, menjadi 190 per 100 ribu penduduk. Selain itu, menurunkan angka kematian akibat tuberkulosis dari 42 per 100 ribu penduduk pada 2017, menjadi 37 per 100 ribu penduduk pada 2024. Meski demikian, Indonesia mengalami peningkatan notifikasi kasus tuberkulosis pada 2022 dengan jumlah kasus mencapai 724 ribu. Satu tahun kemudian, angka tersebut melonjak menjadi 821 ribu kasus dan merupakan angka tertinggi sejak 1995.
Waktu sempit yang tersisa menuju lima tahun komitmen global eliminasi TB pada 2030 seharusnya semakin meningkatkan ambisi pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun demikian, kebijakan Instruksi Presiden (Inpres) Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025 memberi nuansa baru. Inpres ini mewajibkan hampir semua lini kementerian/lembaga melakukan efisiensi sampai Rp306,69 triliun. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) diproyeksikan harus melakukan efisiensi hingga Rp19,6 triliun, dari anggaran awal Rp105 triliun. Efisiensi ini dinilai berpotensi kontraproduktif dengan target eliminasi tuberkulosis.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Anggaran (PUSKAHA) Indonesia, Yenti Nurhidayat mengatakan efisiensi anggaran yang diberlakukan saat ini oleh pemerintahan Prabowo-Gibran memang belum tepat sasaran. Pemerintah malah memotong anggaran kementerian yang mengurus pelayanan publik, salah satunya Kementerian Kesehatan. Ia mengkhawatirkan efisiensi ini malah berimbas pada pembiayaan program prioritas kesehatan termasuk program eliminasi tuberkulosis.
“Anggaran tuberkulosis bisa tidak ada jika efisiensi berlaku dengan model tebang rata. Maka ada biaya obat-obatan dan lab, kena tebang juga. Seharusnya dukungan manajemen yang kena efisiensi, yang berkaitan sama hal-hal yang bukan untuk publik,” pungkasnya pada Prohealth.id, Jumat (14/2/2025).
Prohealth.id mengonfirmasi hal ini kepada Direktur Penyakit Menular Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, dr. Ina Agustina Isturini, MKM. Ia menyatakan saat ini pihaknya masih menunggu proses kajian-kajian untuk efisiensi internal. “Jadi, ya nanti kita tunggu saja kajiannya seperti apa. Kami siap dengan arahan, dan intinya tugas kami adalah menjalankan mensukseskan program TB ini,” ujarnya kepada Prohealth.id, Jumat (14/2/2025).

Ia menambahkan, komitmen Kemenkes terhadap eliminasi tuberkulosis seharusnya tidak terganggu, karena merupakan komitmen yang sudah lama berjalan. Dana keseluruhan penanganan TBC, kata dr. Ina, sebenarnya sudah tergabung dalam anggaran dasar umum. Contohnya; biaya tenaga medis, vaksin, dan obat-obatan itu sudah masuk sebagai prioritas. Ia menyimpulkan, secara umum kebutuhan penanganan TBC bisa disiasati dengan anggaran dari kementerian atau program lain.
“Ini dinamis banget. Pembiayaan [tuberkulosis] tidak cuma Kemenkes. Untuk pembiayaan ada di dana desa juga.”
Sementara menurut Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, semua program quick-wins yang berkaitan dengan target sektor kesehatan APBN 2025-2026 terkena efisiensi. Contohnya; pengadaan obat dan vaksin. Menurutnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, juga tidak optimis dan sudah memberi isyarat ada program quick-wins yang berpotensi terpangkas. Pasalnya, pemangkasan Rp19,6 triliun itu cukup besar dan tidak mungkin hanya bersumber dari pemotongan biaya manajemen dan operasional pegawai. Untuk itu, Felly mendorong pemerintah konsisten agar rencana perbaikan sektor kesehatan jangan sampai gagal.
“Kami dari Komisi 9 meminta dan punya sikap, paling tidak dari Rp19,6 triliun, paling tidak sekitar Rp10 triliun [bertahan], agar program yang menyangkut obat, vaksin, kemudian beasiswa tenaga kesehatan, ini tidak terganggu. Ini yang menjadi perjuangan Komisi 9 melalui Kementerian Kesehatan agar disampaikan kepada Menteri Keuangan, agar itu dikembalikan,” ujar Felly pada Kamis, (6/2/2025).

Sebagai penyintas TB, Kelly berharap pemotongan anggaran tidak memangkas upaya serius pemerintah dalam menangani TB di Indonesia. Sebab, berdasar pengalamannya, beban biaya selama masa pengobatan tuberkulosis sangat besar. Ia mengakui isi kantongnya terkuras saat menjadi pasien. Meski mendapat sokongan biaya dari BPJS Kesehatan, biaya akomodasi dan ragam biaya penunjang lain di luar urusan medis cukup besar selama proses pengobatan satu tahun.
Harapan Kelly bisa terwujud dengan kebijakan anggaran dalam negeri yang jelas dan dengan dukungan stabil dari negara lain.
Jika ditilik dari perspektif komunitas internasional, Indonesia merupakan negara penyumbang beban penyakit Tuberkulosis (TB) terbesar kedua di dunia setelah India (Global Tuberculosis Report dari World Health Organization tahun 2023). Sementara menurut data terbaru dari Global Tuberculosis Report 2024 yang diterbitkan World Health Organization (WHO), Indonesia masuk tiga besar negara dengan temuan tuberkulosis terbesar di dunia.
Data ini menunjukkan, Indonesia memerlukan pembiayaan yang mumpuni untuk bisa mencapai eliminasi pada 2030. Masih dari data Global Tuberculosis Report 2024 dan melalui aplikasi real-time End TB dari WHO, porsi pembiayaan untuk penanganan TB di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hanya saja, beban pembiayaan untuk eliminasi tuberkulosis di Indonesia saat ini masih didominasi dari dana hibah luar negeri.
Setidaknya, ada beberapa lembaga internasional yang berkomitmen mendorong Indonesia mencapai eliminasi tuberkulosis. Sebut saja USAID dan The Global Fund to fight AIDS, Tuberculosis (TBC), & Malaria atau GFATM. Pada awal 2024 lalu, GFATM telah berkomitmen mendukung program eliminasi penyakit HIV, TBC, dan malaria serta Resilient Sustainable System for Health (RSSH) di dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima dukungan GFATM untuk mencapai target pada 2030. Total dana hibah tersebut adalah US$309 juta dolar atau setara Rp4,6 triliun untuk periode anggaran 2024-2026.
Secara rinci, dana hibah senilai US$309 juta terdiri dari: komponen AIDS sebesar US$103,7 juta setara Rp1,5 triliun rupiah, lalu komponen TBC sebesar US$126 juta setara Rp2,3 triliun, komponen malaria sebesar US$35,6 juta setara Rp539 miliar, dan RSSH US$14.4 juta setara Rp218 miliar. Dari komposisi pengelolaannya US$211,1 juta dikelola oleh pihak Kementerian Kesehatan, dan US$98,6 juta dikelola oleh pihak komunitas.
Kementerian Kesehatan menyebut, The Global Fund tidak hanya terbatas pada penyedia obat dan pelayanan kesehatan. Global Fund juga membantu Indonesia dalam memperkuat sistem kesehatan, meningkatkan keterlibatan masyarakat, dan meningkatkan kapasitas penelitian dan pengembangan.
Selain The Global Fund, lembaga pembangunan internasional pemerintah Amerika Serikat, USAID, juga berperan penting dalam pencegahan dan penanganan tuberkulosis di Indonesia. Namun, pada awal Februari di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, lembaga ini dibubarkan karena dinilai tidak memberikan keuntungan bagi Amerika Serikat sesuai kebijakan Make America Great Again (MAGA). Alhasil, pemerintah AS membekukan dana bantuan luar negerinya, terkhusus untuk program tuberkulosis dan HIV di seluruh dunia–tak terkecuali di Indonesia.
Padahal, Kementerian Kesehatan dan USAID pada 2020 telah menyepakati kerja sama hibah yaitu Grant Implementation Agreement of the Health Portfolio between Ministry of Health and USAID (GIA) periode 2020-2025. Hibah GIA ini terdiri dari kegiatan untuk kesehatan ibu dan anak, HIV/AIDS, tuberkulosis, penyakit tropik terabaikan, keamanan kesehatan global, penguatan sistem kesehatan, termasuk penanggulangan Covid-19. Dengan ditutupnya USAID, setidaknya ada tiga permohonan bantuan sudah dibatalkan. Salah satunya adalah program yang berkaitan dengan tuberkulosis.
Direktur Penyakit Menular Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan, dr. Ina Agustina Isturini, MKM menyatakan penutupan USAID memang sangat disayangkan karena USAID adalah mitra global yang sudah lama mendukung eliminasi TBC di Indonesia.
“USAID selama ini memberi bantuan banyak untuk program. Jadi seperti pelatihan, kajian, workshop, inovasi-inovasi, juga sistem informasi. Ia [USAID] banyak mendukung untuk program-program yang akan membantu akselerasi. Jadi, tentu kami sangat berterima kasih karena sudah banyak yang mendukung selama ini,” ucapnya.
Ia menyebut Kementerian Kesehatan RI tetap menghargai keputusan pemerintah AS. Oleh sebab itu, Kemenkes tengah membuat rumusan mitigasi agar program jasa yang berjalan untuk eliminasi tuberkulosis tetap berjalan dengan optimal.
“Kami juga melakukan renovasi anggaran yang mana mengaktifkan kegiatan daring mengintegrasikan berbagai kegiatan. Lalu kegiatan TBC saja terintegrasi. Misalnya; pelatihan laboratorium terintegrasi dengan advokasi pada pemerintah daerah setempat,” jelasnya.
Di sisi lain, Diah S. Saminarsih selaku CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyampaikan kekhawatiran berbeda. Menurutnya, dengan penarikan dana AS di USAID, dampak paling terasa yakni dari sisi ketenagakerjaan. Penarikan dana USAID otomatis berdampak pada efisiensi sumber daya manusia yang dikelola kelompok masyarakat sipil. Hilangnya talenta-talenta terbaik dalam intervensi tuberkulosis adalah kerugian tersendiri yang dampaknya bisa meluas hingga ke gagalnya capaian target penanganan, meningkatnya kasus, hingga perawatan orang dengan tuberkulosis yang terabaikan.
Apalagi di konteks sektor kesehatan di Indonesia, peran bantuan sumber daya AS cukup signifikan. Di antaranya, ketersediaan obat dan vaksin serta dalam skrining dan deteksi tuberkulosis, pemanfaatan teknologi digital kesehatan, kesehatan ibu anak, dan program berbasis masyarakat untuk bidan serta kader kesehatan. Bahkan, untuk deteksi dini program tuberkulosis dan imunisasi, desain anggaran kesehatan selalu memasukkan ketersediaan dana dari berbagai sumber di luar APBN.
Sebagai gambaran, Kementerian Kesehatan dan Bank Dunia pada 2016 menyebutkan 60 persen sumber pendanaan untuk program tuberkulosis bersumber dari pembiayaan luar negeri. Dinamika tiga tahun terakhir ini menunjukkan porsi pembiayaan alternatif yang lebih besar melalui pertukaran utang serta kerja sama dengan lembaga multilateral dan filantropi dalam forum dana perwalian multi-donor (MDTF).
“Namun, dalam situasi saat ini, di mana anggaran kesehatan dipangkas Rp19,6 triliun, hilangnya pendanaan USAID untuk pembangunan kesehatan Indonesia jadi terasa signifikan. Padahal biasanya, kekurangan APBN dapat ditutupi pembiayaan non-APBN, yang sebagian besar berasal dari dukungan pemerintah AS,” ucapnya.
Dari sisi analisa perencanaan anggaran, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Hukum dan Anggaran (PUSKAHA) Indonesia, Yenti Nurhidayat menyatakan eksekusi anggaran yang didominasi dari pendanaan eksternal menunjukkan isu kesehatan global kerap kali menjadi prioritas nomor kedua dalam kebijakan dalam negeri. Hal ini tercermin dari porsi anggaran penanganan tuberkulosis yang sangat besar dari pendanaan hibah luar negeri.
“TBC ini kaitannya sama komitmen internasional SDGs. Jadi karena ini SDGs, dipasrahkan kepada global. Seolah untuk TBC pada anggaran APBN menganggap ‘tunggu dari luar ajalah.’ Lalu di dalam negeri masyarakat juga tak anggap penting. Orang Indonesia itu tidak terlalu care sama kesehatan. Literasi kesehatannya rendah. Itu termasuk aparatur kita,” tukas Yenti.

Ia menguraikan, untuk urusan promosi kesehatan dalam negeri, pemerintah justru lebih banyak mengandalkan luar negeri. Tercermin dari rangkaian target pemerintah yang penuh dengan narasi penguatan komitmen. Padahal komitmen kesehatan masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah. Ada ataupun tidak ada donor.
“Misalnya promosi pencegahan TBC. Sekarang kita lihat, apakah promosi dan edukasi tentang TBC cukup banyak dilakukan? Tidak terlalu masif. Karena tadi, pemerintah cuma sediakan 30 persen, dan 70 persen mengandalkan luar negeri.”
Untuk itu, Yenti mengusulkan agar anggaran Kementerian Kesehatan untuk program TBC jangan sampai terkena efisiensi. Bahkan, perlu ada penguatan pada program promosi kesehatan (promkes).
Menagih Janji Rp8 Triliun
Di tengah kondisi ketidakpastian bantuan global, ditambah tindakan Prabowo-Gibran melakukan efisiensi anggaran, timbul tanda tanya besar mengenai komitmen pemerintah pusat khususnya terkait keberlanjutan janji Rp8 triliun Prabowo-Gibran untuk penanganan tuberkulosis.
Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI), dr. Henry Diatmo, MKM. dalam wawancara telekonferensi dengan Prohealth.id, pada Selasa (11/2/2025) menyatakan bahwa niat baik mencapai eliminasi tuberkulosis dengan dana Rp8 triliun dalam negeri memang patut diapresiasi. Sayangnya, kelompok masyarakat sipil dan tenaga kesehatan yang berjibaku langsung dengan pasien serta penyintas TBC tidak pernah dilibatkan untuk penyusunan target dan rancangan anggaran itu.
Sejauh ini, Kemenkes hanya sering melibatkan STPI dan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam membahas program quick-wins kesehatan. Tidak banyak pembahasan soal alokasi anggaran.
“Makanya masih agak sulit pemerintah menjawab rasa ingin tahu kami. Misal, seperti apa pembagian program dan anggaran Rp8 triliun itu? Atau, apakah semua anggaran itu akan ditaruh di Kementerian Kesehatan, atau bagaimana? Kita tidak ada yang tahu kejelasannya,” imbuhnya.

Pencapaian baik dari Kementerian Kesehatan melakukan deteksi dini temuan kasus TBC untuk menurunkan risiko penularan, menandakan pentingnya kerja preventif ketimbang kuratif dalam penanganan TBC. Sementara, kata dr. Henry, belum ada kepastian dalam anggaran untuk upaya preventif seperti deteksi dini melalui puskesmas dan rumah sakit, maupun mendorong pasien untuk mengikuti pengobatan sampai sembuh. Hal-hal ini adalah contoh bentuk literasi dan promosi kesehatan yang membutuhkan perhatian ekstra dan dukungan pembiayaan.
“Kita selama ini pencapaian deteksi kasus baru sekitar 80 persen. Kami bersyukur dan mendorong kalau bisa deteksi kasus sampai 90 persen ke depannya,” ujar dr. Henry.
Penasehat Dewan Eksekutif Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Prof. Dr. dr. Agus, SpP(K) mengatakan, rencana awal pemerintah menganggarkan Rp8 triliun memang menjadi angin segar bagi tenaga medis spesialis paru. Menurutnya, dana ini bisa sangat membantu penanganan tuberkulosis menjadi lebih baik. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menyebut, pasien tuberkulosis perlu pendamping agar pengobatannya selesai. Belum lagi keluarga yang berkontak dengan rasio satu banding sepuluh harus ikut melalui pemeriksaan.
“Ada orang-orang khusus yang seharusnya dilibatkan. Maka ada di beberapa tempat kader-kader TB, ada LSM juga memantau itu. Semua itu butuh budgeting karena lintas sektor kegiatannya. Nah, belum lagi TB Resisten Obat (TB-RO) lebih parah lagi.” Ia mengingatkan, kasus TB-RO sangat kompleks karena bisa sangat memengaruhi ekonomi pasien dan keluarga. Tidak semua fasilitas kesehatan (faskes) sudah memiliki fasilitas dan pengobatan untuk TB-RO. Lama pengobatan pasien TB-RO otomatis akan membuat bengkaknya biaya operasional untuk berobat.
Sementara itu, Diah S. Saminarsih selaku CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyatakan, sebaiknya pemerintah memiliki strategi nasional penanganan yang komprehensif, daripada terpaku dengan janji besaran anggaran. Indikatornya bisa dilihat berdasarkan rekomendasi WHO, theory of change yang telah terbukti, dan disertai dengan diskusi dengan panel-panel ahli.
Sedangkan, dari sisi anggaran, pemerintah perlu mengikuti rekomendasi dari WHO ataupun organisasi multinasional lainnya. Sebagai contoh, WHO merekomendasikan TB Module of the Integrated Health Tool for Planning and Costing, Costing Guidelines for Tuberculosis Interventions, hingga Costing Standards and Unit Cost Data Repository: the Global Health Cost Consortium yang menjadi panduan bagi perencana kebijakan penanganan tuberkulosis di Indonesia.
“Terlepas dari besar biaya program yang direncanakan, kehadiran proses perencanaan yang berbasis bukti adalah panduan bagi pemangku kebijakan untuk mengalokasikan anggaran secara efektif untuk penanggulangan tuberkulosis,” ujar Diah.
Darurat Stigma dan Terbentur Ambisi
Tantangan stigma juga jadi sorotan utama di Kemenkes. Menurut dr. Ina Agustina dari Ditjen P2P Kemenkes, stigma membuat kasus TB sulit dideteksi dan pengobatan pasien secara teratur dan kondusif juga sulit dikawal. “Orang mau tracing jadi sulit karena tidak berani jujur. Belum lagi yang tidak mau minum obat karena malu,” katanya.
Data Global Tuberculosis Report 2022 menyebutkan, pada 2022 diperkirakan sekitar 144.000 kematian karena TB. Selain itu, dari 969.000 temuan kasus TB baru di Indonesia, sebanyak 25 persen tidak terdeteksi dan tidak terlaporkan. Sementara dari 75 persen temuan kasus, sebanyak 24 persen tidak tuntas berobat.
Konsultan Vital Strategies, dr. Lily S. Sulistyowati menyebutkan sejumlah kerentanan masyarakat Indonesia terhadap tuberkulosis. Pertama, karena faktor lingkungan yang tidak sehat seperti paparan asap rokok berlebihan. Kedua, faktor kemiskinan yang mengakibatkan kekurangan gizi. Ketiga, juga faktor risiko karena penyakit HIV/AIDS dan Diabetes Mellitus (DM). Faktor yang terakhir ini membuat stigma ganda pada pasien tuberkulosis karena faktor tersebut sendirinya telah mendapat stigma ganda, contohnya orang dengan HIV/AIDS.
Ketika menderita tuberkulosis, Kelly tak menampik sempat mengalami stigma dari lingkungan sekitar, khususnya dari keluarga. Sebagai anak yatim-piatu, Kelly bergantung dari dukungan keluarga dan teman-teman. Apalagi, saat pertama kali pindah dari Lampung ke Jakarta untuk berobat, Kelly masih perlu beradaptasi.
“Teman-teman saya cenderung biasa aja. Lebih empati. Malah saudara ya [diskriminatif], meski tidak semua. Saudara-saudara ini yang takut tertular,” jelas Kelly.
Selama proses pemulihan dengan obat dan terapi, ia mengenang bagaimana pihak keluarga berubah sikap terhadap dirinya. Setiap kali pulang ke Lampung, saudara-saudaranya mulai melakukan diskriminasi.
“Misal, makan saja mereka ga mau piringnya sama dengan piringku. Piring aku dibedakan. Sayur dan makanan dibedakan. Aku sudah feeling mereka masih takut karena aku ini TB. Lama-lama, aku juga mengurangi aktivitas dengan saudara. Jadi kalau sembahyang Imlek, biasanya kumpul keluarga, makan bersama, aku akhirnya jadi pulang duluan. Aku tidak mau capek,” terangnya.
Selain stigma, Kelly juga mengeluhkan kurangnya respons cepat tanggap dan kepekaan tenaga medis kepada kelompok rentan seperti dirinya. “Aku ini selain lupus, saat itu sakit TBC, juga pendengaranku menurun. Tetapi sering bertemu tenaga kesehatan yang tidak peka dengan kondisiku,” ujarnya.
Direktur Eksekutif STPI, dr. Henry Diatmo, MKM membenarkan bahwa stigma bisa jadi salah satu indikator yang menghambat proses pemulihan pasien tuberkulosis. Ia menemukan fakta ini dari beberapa pasien dan penyintas tuberkulosis yang menyebut lemahnya pelayanan dari tenaga medis akibat tidak ada simpati.
“Dari beberapa kali saya ke lapangan, kebanyakan tenaga medis yang berperilaku seperti ini belum mendapatkan pelatihan atau informasi yang cukup. Kalau sudah ikut pelatihan dan literasi, biasanya tidak melakukan stigma dan diskriminasi,” katanya pada Selasa (11/2/2025).
Problem lain, sering kali terjadi rotasi tenaga medis di fasilitas kesehatan yang membuat tim baru belum mendapatkan pembekalan, sehingga memperlakukan pasien dan penyintas dengan tidak ramah. Belum lagi masalah lain dari sisi ketenagakerjaan tim medis, seperti beban kerja yang tinggi.
“Contoh, satu orang tenaga kesehatan tidak hanya mengurus satu penyakit. Bahkan mungkin dia mengurus banyak hal bersamaan. Nah, di saat sudah ada beban kerja yang cukup berat ini yang mungkin menimbulkan reaksi-reaksi seperti memperlakukan pasien dengan kurang ideal dan kurang memuaskan,” ucapnya.
Apalagi, pasien tuberkulosis pun cenderung datang ke fasilitas kesehatan pada jam-jam siang hari untuk menghindari keramaian. Hal ini menjadi usulan dari tim medis agar pasien lebih nyaman sekaligus mengurangi kontak dengan pasien lain.
Oleh karena itu, untuk menjaga stamina dan rasa kepercayaan diri pasien, tenaga medis tidak akan bisa menangani secara penuh dengan durasi waktu yang panjang. Ia menyebut masyarakat sipil yakni kader adalah kelompok yang sangat fungsional mendukung mental pasien. Sebab, tatkala pasien sangat kelelahan mengonsumsi obat dan mengikuti terapi, komunitas dan kader bisa membantu meringankan beban dengan pendampingan dan konseling.
Terbukti dari cerita Direktur SETARA Banten, Haniman, yang merupakan penyintas tuberkulosis dan kini mendedikasikan diri sebagai pendamping atau kader bagi pasien TBC. SETARA sebagai organisasi peduli TBC, berfokus pada pendampingan pasien TB-RO alias tuberkulosis resisten obat. Saat ini SETARA mendampingi pasien TB-RO di Banteng ssekitar 400 pasien.
Haniman mengatakan, selain mendampingi pasien TBC sehari-hari, SETARA bersama anggota komunitasnya juga melakukan inspeksi kontak pada masyarakat. Bahkan, mereka pun menyosialisasikan TBC perihal dampak dan bagaimana alur pengobatannya.
“Artinya, kami di sini mencoba berupaya membantu masyarakat khususnya di Tangerang Raya. Kami membantu masyarakat agar masyarakat tidak ragu menjalani pengobatan. Lalu bagaimana mengupayakan menjaga agar mereka taat obat sampai sembuh,” jelasnya kepada Prohealth.id melalui telekonferensi pada Rabu (19/2/2025).
Kerja-kerja kader tentunya tidak mungkin selalu bersifat pro-bono. SETARA dan ragam komunitas kader TBC juga mengeluarkan biaya operasional dalam proses pendampingan. Pemangkasan anggaran dalam negeri dan berkurangnya porsi dana hibah luar negeri, tentu ikut menjadi isu di kalangan para kader. Haniman tak menampik, hal ini sudah menjadi bahasan para anggota kader SETARA.
“Selama ini kerja kami sudah dibantu. Kami mengupayakan agar orang bisa terdiagnosa TBC lebih awal, menjalani pengobatan sampai sembuh, apapun kondisinya saat ini. Walaupun ya istilahnya, sisi ekonomi sedang morat-marit,” ujar Haniman.
Sebagai solusi untuk menjawab kebutuhan pasien dan kader TBC, dr. Henry Diatmo menambahkan pentingnya sesegera mungkin berkonsolidasi dengan memanfaatkan kas yang tersisa. Salah satu strategi adalah dengan mendorong pemerintah daerah menjadikan eliminasi tuberkulosis sebagai program prioritas mereka. Apalagi, usai pelantikan kepala daerah di seluruh Indonesia dan itu adalah momentum penting untuk melakukan edukasi dan mendorong mereka memiliki komitmen terhadap penanganan TBC di daerahnya masing-masing.
Serangkaian solusi kreatif yang dihadirkan ini adalah cara bertahan untuk meloloskan target eliminasi TBC pada 2030. Sebab, keberlanjutan program dan pembiayaan TBC masih sangat gelap. Seperti yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif PUSKAHA, Yenti Nurhidayat, saat ini memang perlu tetap optimis mencapai target eliminasi TBC. Namun, kondisi keuangan negara saat ini justru memberi sinyal ambisi Rp8 triliun itu tidak terjadi dan eliminasi TBC justru berpotensi meleset.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi & Ahmad Khudori
Editor: Marina A. Nasution
Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia untuk pemantauan 100 Hari Kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Discussion about this post