Banjir rob sudah menjadi tamu langganan yang bertandang ke wilayah Pluit Penjaringan, Jakarta Utara. Tak tanggung-tanggung, tingginya sempat mencapai satu meter menjelang akhir 2024 lalu.
Infeksi kulit, diare, dan demam berdarah merupakan beberapa masalah kesehatan yang mengintai tiap kali bencana ini datang.
Selain masalah kesehatan, banjir rob tentu mengganggu aktivitas warga. Rumah dan tempat usaha kebanjiran. Anak sekolah terpaksa tidak mengenakan pakaian seragam karena masih basah. Air bersih susah. Belum lagi persoalan kesehatan.
“Kalau yang berupa materialnya kaya perabotan warga banyak yang rusak,” kata Muslimin (46) warga Penjaringan kepada Prohealth.id pada Senin, 10 Februari 2025.
Sayangnya, tidak ada warga yang mengungsi ketika banjir rob datang. Mereka bertahan di hunian masing-masing. Termasuk lansia dan disabilitas.
Warga memang telah berjuang untuk mengantisipasi banjir rob. Misalnya dengan meninggikan rumah. Kalaupun belum punya modal, mereka memilih membuat balai-balai. Namun cuaca yang tiba-tiba ekstrem memungkinkan banjir rob datang di luar prediksi.
Banjir rob memiliki siklus yang relatif sama. “Puncaknya ada di bulan Juni, Juli, Desember, dan Januari. Saat ini tidak terlalu besar lagi karena puncaknya pada Desember dan Januari sudah lewat.”
Upaya tangguh menghadapi banjir rob dengan membangun tanggul laut. Kondisi membaik mulai terasa ketika tanggul dibangun di Bantaran Kali Muara Angke pada 2003 lalu. Namun lima tahun terakhir kembali terjadi banjir rob akibat ketinggian air melebihi tinggi tanggul.
Situs Pantau Banjir Jakarta menyebutkan macam-macam banjir di Jakarta. Di antaranya banjir rob, banjir hujan lokal, dan banjir kiriman.
Banjir rob akibat air laut masuk ke darat yang bersumber dari pasang air laut (rob) yang kemudian menimbulkan banjir di daratan Jakarta. Ini biasanya terjadi di wilayah pesisir atau tepi laut Jakarta. Banjir rob mengalami peningkatan dengan pasangnya air laut dan penurunan muka tanah di utara Jakarta.
Banjir hujan lokal terjadi akibat hujan dengan intensitas tinggi dan durasi yang lama. Sedangkan banjir kiriman merupakan hujan dengan intesitas tinggi di daerah hulu sungai di Jawa Barat dan Banten yang masuk ke aliran sungai di Jakarta.
Walin Hartati, salah seorang disabilitas netra yang tinggal tidak jauh dari Kali Ciliwung menuturkan kesulitan yang ia hadapi ketika banjir. Tinggi air cuma semata kaki sangat melelahkan baginya mendapatkan akses kebutuhan primer. Mau tak mau ia terpaksa mengungsi dan mencari bala bantuan.
Meski Pemerintah mengirim air bersih menggunaan mobil tangki, tetapi Walin tetap kesusahan mendapatkan karena ia tinggal di jalan sempit, Gang Senggol.
“Kalau harus ambil air pakai ember itu ‘kan tidak mungkin. Saya bawa badan saja susah, suami saya kerja. Mau tidak mau ya saya bayar orang. Satu galon 5000,” ujar Ketua Yayasan Permata Disabilitas ini pada Rabu, 12 Februari 2025.
Iklim dan Banjir Jakarta
Jakarta sangat sering menghadapi banjir. Bencana banjir secara umum merupakan luapan air di daratan yang merendam suatu area akibat hujan ekstrem. Sementara rob adalah genangan air di wilayah pesisir akibat luapan air laut yang masuk ke daratan. Biasanya banjir rob dipengaruhi gravitasi bulan karena menarik permukaan air laut di sekitar pesisir lebih tinggi dari biasanya. Umumnya ini terjadi saat bulan mati atau bulan purnama.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan jumlah atau frekuensi kejadian banjir itu semakin sering terjadi berdasarkan data sejak 1960-an. Wilayah rendamannya atau besarnya banjir bervariasi tergantung kepada latar belakang iklimnya atau latar belakang cuaca pemicu banjir tersebut.
“Kalau problem yang sangat sering dihadapi Jakarta sendiri itu sebenarnya banjir perkotaan,” ucap Koordinator Bidang Informasi Iklim Terapan di Direktorat Layanan Iklim Terapan BMKG Siswanto kepada Prohealth.id pada Selasa, 18 Februari 2025.
Pemicu seringnya terjadi banjir adalah karena hujan ekstrem. Inilah yang menjadi faktor penting dalam meningkatnya intensitas bencana banjir. Batasan minimal untuk sebutan hujan ekstrem di BMKG adalah 150 mm per hari.
Peristiwa banjir besar di Jakarta seperti curah hujan yang sangat tinggi contohnya terjadi pada 2007, 2015, dan 2020. Hujannya terukur 377 mm per hari pada 2020. Tingginya curah hujan ini diperkirakan akan terus meningkat akibat dampak dari perubahan iklim.
“Banjir 2020 masih kalah dengan 2007.Tetapi dari sisi curah hujannya yang tertinggi sepanjang sejarah pencatatan hujan di Jakarta sejak zaman Belanda. Jadi BMKG punya catatan data hujan dari mulai 1866,” ujar Siswanto.
Analisis data historis dan model proyeksi iklim BMKG memperkirakan risiko banjir di Jakarta pada masa mendatang semakin sering terjadi dan meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan dengan 100 tahun lalu. Cuaca ekstrem erat kaitannya dengan perubahan iklim ini.
Suhu yang semakin panas ikut mempengaruhi pola cuaca dan siklus hidrologi. Peningkatan suhu ini pun berdampak terhadap peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi.
Rata-rata suhu permukaan di Jakarta meningkat sebesar 1,6°C dibandingkan dengan 100 tahun lalu. Sementara suhu global secara keseluruhan hanya meningkat 1,54°C pada 2024.
Kenaikan suhu yang lebih cepat di Jakarta memicu peningkatan signifikan dalam kapasitas udara untuk menahan uap air, sehingga menghasilkan curah hujan yang lebih besar dan lebih intens.
Setiap kenaikan suhu 1°C meningkatkan kapasitas udara untuk menampung uap air sebanyak 7 persen secara teori fisika. Angka ini bahkan meningkat menjadi 14 persen di Jakarta. Hal ini memperjelas alasan intensitas hujan dan bencana banjir di Jakarta yang makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami mengambil kesimpulan bahwa keadaan pemanasan global dan pemanasan lokal seperti di Jakarta itu meningkatkan aktivitas siklus hidrologi tadi,” ujar lulusan Ilmu Iklim Universitas Bern Swiss ini.
Dampak pemanasan global dan perubahan iklim juga tercermin pada level permukaan air laut. Risiko di pesisir karena rob meningkat. Terutama pada saat fenomena bulan mati atau bulan purnama.
Untuk mengatasi risiko keparahan bencana, perlu sistem penanganan secara holistik, integratif, dan komprehensif untuk menangani banjir di laut dan banjir daratan. Apalagi ada 13 sungai masuk ke Jakarta yang merupakan dataran rendah sementara dataran tingginya berada di Bogor, Sukabumi, Puncak, maupun Jonggol. Perlu ada mekanisme yang menghambat air turun dari wilayah yang lebih tinggi itu, agar tidak segera ke Jakarta melalui kolam retensi, waduk, atau danau buatan di wilayah hulu.
“Jadi melihat persoalan banjir di Jakarta itu tidak hanya di Jakarta. Tetapi juga harus dilihat secara komprehensif antar wilayah yaitu wilayah di hulu dan di hilir,” ungkap Siswanto.
Belum Tepat Sasaran Bagi Kelompok Rentan
Sistem peringatan dini menjadi kunci tindakan mitigasi. Sebelum bencana terjadi dan berdampak maka harus ada mekanisme kesiapsiagaan. Ini menjadi tantangan BMKG untuk menyediakan informasi peringatan dini agar warga mendapat petunjuk untuk tindakan dini. Karena itu BMKG mengembangkan prakiraan berbasis dampak. Misalnya, cuaca yang akan terjadi maka prakiraannya menimbulkan dampak apa di suatu lokasi.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jakarta mengambil sejumlah kebijakan dan strategi guna mengantisipasi dampak banjir dan rob.
Kepala Pusat Data dan Informasi (BPBD) Jakarta Muhamad Yohan menyatakan, pihaknya melakukan koordinasi dan kerjasama lintas lembaga, contohnya dengan Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial. Lembaga ini pun melakukan sosialisasi ke warga serta pendataan, pelatihan, penyaluran bantuan dan dukungan sosial terutama untuk kelompok rentan. Berkala, BPBD juga melakukan pemantauan, sistem peringatan dini, hingga modifikasi cuaca yang bertujuan untuk mengurangi ekstremitas cuaca yang berpotensi menimbulkan banjir.
Pemerintah juga membangun infrastruktur seperti tanggul laut, peningkatan sistem drainase, normalisasi sungai, pembangunan waduk dan sistem penampungan air, serta mengoptimalkan kinerja pompa-pompa air untuk mempercepat banjir surut.
“Upaya lain yang tidak kalah penting adalah Pemerintah melibatkan masyarakat untuk pengendalian penurunan muka tanah dengan pembatasan penggunaan air tanah melalui kebijakan zona bebas air tanah yang akan diperluas di berbagai wilayah,” ucap Muhamad Yohan pada Jumat, 21 Februari 2025.
Di samping itu, BPBD juga mendorong jaringan perpipaan air bersih dari perusahaan air minum agar warga beralih dari penggunaan air tanah ke perpipaan.
Sayangnya, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menilai pelatihan untuk edukasi bencana dari BPBD kurang efektif. Sebab tidak ada kontinuitas dalam pelatihan dari BPBD tersebut.
“Kegiatan itu ‘kan paling sehari? Paling tidak jangan sekali saja. Jadi ini kurang efektif,” ungkap Ketua III HWDI Bidang Pemberdayaan dan Partisipasi, Walin Hartati.
Jarang sekali usai peserta mengikut pelatihan kemudian membagikan pengetahuan kepada sesama kelompok rentan. “Kalau sudah dapat ya dapat sendiri. Jangan ‘kan membagikan pengetahuannya. Buat dirinya sendiri kadang-kadang juga sudah lupa?”
Ia berharap komunikasi, edukasi, dan penanganan bencana untuk kelompok rentan makin efektif dan lebih tepat sasaran dengan sesuai dengan ragam disabilitas.
Bencana Mengintai Jakarta
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta menegaskan bencana hidrometeorologi seperti banjir tak semata-mata dampak dari fenomena alam. Perubahan iklim memang berkontribusi pada bencana tetapi jangan abai memperhatikan kerentana dari sisi lingkungan, sosial, dan ekonomi yang dapat memperburuk dampak dari bencana. Hal ini mengingat hidrometeorologi akan sangat rentan bagi kelompok marjinal seperti; masyarakat miskin, kelompok anak, perempuan, disabilitas, minoritas gender, dan lansia.
Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Suci Fitria Tanjung menilai ketidakpekaan atas kelompok marjinal ini terlihat dari pengelolaan tata ruang yang buruk di Jakarta. Ia mengkritik pembangunan gedung-gedung tinggi di Jakarta tanpa mempertimbangkan penurunan muka tanah dan kerentanannya terhadap bencana.
Contoh saja, di wilayah Jakarta Utara yang amat rentan dengan penurunan muka tanah seharusnya sudah dilarang adanya bangunan tinggi. Kenyataan ini tentu memperburuk situasi, terutama bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki pilihan tempat tinggal selain di daerah rawan bencana.
“Sayang, Pemerintah justru memberikan izin atau persetujuan mendirikan bangunan justru di area-area yang rentan,” tegas aktivis lingkungan ini pada Jumat, 14 Februari 2025.
Ia mengajak segenap elemen masyarakat mempertanyakan frekuensi rob yang semakin sering di utara Jakarta itu. “Itu murni siklus akibat gravitasi bulan atau memang justru ada faktor pemicu lainnya? Kalau dari analisis kami itu bukan cuma urusan gravitasi bulan. Tetapi ada faktor lingkungan atau faktor tata ruang yang justru memperbesar kemungkinan untuk terjadinya bencana.”
Suci juga mengkritik Pemerintah melakukan pembiaran terhadap masyarakat rentan yang bergulat sendirian menghadapi banjir. Padahal, Pemerintah memiliki sistem peringatan dini yang mutakhir. Maka seharusnya Pemerintah bisa memenuhi standar penanganan bencana berbasis kemanusiaan.
“Harusnya tidak cuma di situ. Harus mempersiapkan kesiapsiagaan, menerjemahkan sistem peringatan dini sebagai informasi urgen. Ini ‘kan tidak ada. Akhirnya dampaknya menjadi sangat luar biasa.”
Partisipasi Mencari Solusi
Jakarta secara natural adalah kota air. Daerah aliran sungai di Jakarta besar dan banyak. Inilah yang kemudian sejumlah wilayah di Jakarta itu mendapat sebutan “Rawa”. Contoh; Rawamangun, Rawabelong, dan sebagainya. Jika direfleksikan, penamaan ini menunjukkan karakteristik hidup di Jakarta seharusnya bersahabat dengan air.
Oleh karenanya, harus ada peningkatan kemampuan adaptasi warga agar bisa berhadapan dengan bencana. Pemerintah wajib mendukung kelompok rentan dengan jaminan kualitas hidup yang baik, hunian yang tersedia atau dibangun sesuai dengan kerentanannya.
Sayangnya, pemerintah seringkali hanya mau serampangan melakukan relokasi tanpa mempertimbangkan kondisi warga. Keputusan menggusur warga, lalu memindahkan ke rusun, menurut Suci adalah solusi semu. Dengan tegas, ia menolak langkah pragmatis pemerintah yang tidak ramah kelompok rentan.
“Kalaupun mau relokasi itu sifatnya sukarela yang harus difasilitasi Pemerintah,” kata Suci gamblang.
Angin segar justru datang dari Ketua III HWDI Bidang Pemberdayaan dan Partisipasi Walin Hartati. Ia menyebut Pemerintah sebenarnya hadir dan punya kepedulian kepada warga yang tinggal di daerah langganan banjir. Contohnya, Pemerintah bisa menyediakan hunian murah yang terjangkau sehingga tidak lagi kebanjiran.
Sementara Muslimin, warga Jakarta Utara, menilai bantuan dan dukungan yang datang dari Pemerintah cuma memberikan solusi jangka pendek dan tidak mengatasi akar permasalahan.

Pemerintah mewacanakan tanggul laut yaitu National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) untuk mengatasi masalah banjir rob di tempat tinggalnya. Namun proyek ini mendapat banyak penolakan terutama dari nelayan. Alasannya, rencana pembangunan NCICD berpotensi menggusur hunian warga dan menghilangkan akses nelayan terhadap perahu mereka yang ditambatkan.
“Warga tidak setuju karena mereka adalah nelayan sehingga membutuhkan hunian yang dekat dengan tempat perahu mereka bersandar.”
Hal yang terpenting adalah meminimalkan dampak negatif terhadap warga meskipun pembangunan berlanjut, sehingga warga tetap bisa menjalankan aktivitas.
“Konsep sudah kami susun dan sampaikan ke Pemerintah. Kami juga berusaha berdiskusi mengenai konsep yang melibatkan warga dalam perencanaan bukan hanya sepihak dari Pemerintah. Artinya, kami ingin bersama-sama merancang solusi,” pungkas Muslimin.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Liputan ini mendapat dukungan hibah (fellowship) dari Lapor Iklim dan Yayasan PIKUL untuk pemberitaan tentang Kebijakan Publik dan Lingkungan.
Discussion about this post