Pemerintahan Prabowo-Gibran mendukung penanganan tuberkulosis atau TBC dengan janji menggelontorkan Rp8 triliun. Sayangnya, rencana ini tampak mulai tergopoh karena kebijakan efisiensi anggaran. Membaca kondisi yang penuh ketidakpastian, Prohealth.id mencoba mengkonfirmasi komitmen anggaran TBC karena belum menemukan kepastian dari pemerintah.
Salah satu pihak yang berkomitmen dan fokus dalam pencegahan dan penanganan TBC adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Janji eliminasi TBC pada 2030 di tengah ketidakpastian situasi nasional dan global menjadi tantangan yang serius. Penasehat Dewan Eksekutif PDPI, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) mengatakan tidak ada waktu jika harus menunda program dan pembiayaan ini.
Prohealth id. berkesempatan mewawancarai komitmen eliminasi TBC dari sudut pandang tenaga medis. Berikut isi wawancara Prohealth.id dengan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut.
Apa catatan kritis teman-teman PDPI terhadap penanggulangan TBC di Indonesia?
Sebenarnya upaya-upaya dari pemerintah Indonesia sesuai apa yang tertulis dalam panduan internasional oleh WHO. Saat ini (Indonesia), sedang berada di posisi penderita TB nomor dua di dunia, dan tentunya ini harus jadi perhatian. Jumlah kasusnya diperkirakan satu juta enam puluh ribu itu data terakhir oleh WHO.
Kekritisan TB itu mulai dari notifikasinya perlu ditingkatkan, akses pelayanan TB, kemudian pendanaan, kemudian ketersediaan prasarana. Contohnya seperti; TCM, ketersediaan obat, keterlibatan fasilitas kesehatan non pemerintah, kemudian juga aspek sosial-ekonomi, kemudian yang terakhir tentu penggunaan teknologi di dalam manajemen TB. Karena di era sekarang ini harus menggunakan dalam manajemen TB ini agar kita bisa melacak pasien dari mana saja. Nah, itu yang perlu diperhatikan.
Bagaimana detail permasalahannya?
Pertama, kami di Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menilai beberapa target dari standar WHO itu tidak dapat semua tercapai. Tahun lalu notifikasi kasus dari estimasi yang ada tercapai, tetapi yang lain belum tercapai. Semua masih di bawah target. Dari kasus estimasi satu juta enam puluh ribu itu masih banyak yang tidak terdeteksi. Karena kasus-kasus ini bisa jadi melakukan pelayanan di luar fasilitas kesehatan yang tidak melakukan pencatatan pelaporan sistem nasional yang sudah ditetapkan eliminasi TB. Inilah yang menjadi sumber masalah.
Kedua, yang perlu dipikirkan keterlibatan rumah sakit non pemerintah di dalam pencatatan dan pelaporan TB. Ini yang menjadi kendala banyak yang belum terdeteksi. Karena swasta dan praktik mandiri, klinik-klinik itu tidak terlibat dalam program. Nah, ini harus dilibatkan.
Ketiga, yang terpenting sering terjadi juga adalah continue obat yang tersedia. Dari beberapa FGD kami sering kali obat-obat itu ada kosong di lapangan. Kami tahu obat TB itu ada program dan itu gratis oleh pemerintah. Namun, beberapa wilayah itu sering kosong karena kasus TB lepasan ternyata pasien reaksi terhadap obat dari pemberian pemerintah. Mereka (pasien) ada alergi. Ada efek samping terhadap liver orang-orang ini harus dapat obat TB lepasan. Ketersediaan obat TB lepasan ini yang kosong di lapangan berdasarkan pemantauan teman-teman dokter paru di Indonesia.
Keempat, ada kasus banyak loss of follow. Artinya, kasus itu ketika seseorang sudah terdiagnosis TB. Kemudian pengobatan TB itu banyak loss of follow masih terjadi dan bagaimana mengatasinya itu belum optimal. Karena ketika loss of follow pasien itu tidak tercatat dan menjadi sumber penularan lagi. Seharusnya loss of follow menggunakan sistem secara nasional. Kemudian mencari pasien sampai ketemu dan memastikan mereka mendapat pengobatan.
Kelima, prasarana-diagnostik. Ini kami tahu, kami menggunakan diagnostik yang cukup canggih yaitu TCM. Nah, sarana diagnostik TCM ini mungkin perlu mendapat perharian sebenarnya. Apakah sudah seluruh faskes sudah ada TCM?
Keenam, ada pertimbangan aspek non medis dalam pengobatan TB. Khususnya aspek sosial-ekonomi. Jadi memang TB ini penyakit di komunitas, banyak di daerah-daerah ekonominya kurang baik, lingkungannya kurang bagus. Sehingga ada pendekatan sosial-ekonomi terhadap masyarakat yang terkena penyakit TB ini selain aspek pengobatan.
Apa yang harus dilakukan menangani permasalahan tadi seperti notifikasi?
Salah satu tantangan terpenting adalah memaksimalkan notifikasi kasus semaksimal mungkin di atas 95 persen. Salah satu upaya aktif active case finding (ACF) selama ini masih jauh dari target. Kalau berdasarkan catatan masih di bawah 50 persen active case finding yang padahal seharusnya bisa lebih optimal. Dari kasus TB, kami harus mencari 10 orang terdekat yang berkontak pada pasien tersebut. Kalau estimasi kasusnya satu juta enam puluh ribu, semestinya ada sekitar lima jutaan orang yang harus dicari yang berkontak dengan satu juta orang tadi. Itu adalah menjadi sebuah tantangan yang harus jadi perhatian.
Optimis dengan eliminasi TB di 2030?
Pertama, itu butuh komitmen dari mulai pemerintah pusat, sampai pemerintah daerah dan seluruh stakeholder. Baik itu; tenaga kesehatan, faskes, masyarakat, lintas sektor. Jadi bukan hanya sektor kesehatan saja yang terlibat. Penting keterlibatan lintas sektor ini kelihatannya belum optimal. Kalau kita bisa melakukan upaya lebih holistik tentu upaya ini bisa meningkatkan keberhasilan penanganan TB eliminasi di tahun 2030.
Dengan butuhnya komitmen lintas sektor, selain dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, apa saja komitmen lain? Bagaimana dengan anggaran?
Pemerintahan menganggarkan Rp8 triliun, kami sebagai Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sangat mengapresiasi pemerintah saat ini sangat besar. Dana ini sangat membantu penanganan TB jadi lebih baik. Karena tahun sebelumnya tidak cukup besar, karena setiap program itu perlu pendanaanya.
Satu contoh ketika pasien TB harus berobat, ikut observasi sampai selesai, kemudian pemeriksaan terhadap keluarganya yang berkontak harus satu banding sepuluh. Ini bukan hanya masalah kesehatan yang bergerak, tetapi bagaimana LSM ataupun kader-kader, tokoh masyarakat ikut bergerak. Sehingga, mereka yang sakit itu harus sampai sembuh. Kemudian harus ada yang memantau di rumahnya, pasien mendapat pengobatan sampai selesai. Itu ada orang-orang lain dan khusus yang seharusnya terlibat. Kalau TB yang sudah pernah berjalan ada di beberapa tempat ada namanya kader-kader TB ada LSM juga memantau itu. Nah ini butuh budgeting karena lintas sektor kegiatannya ada aspek terkait itu.
Ide dari kader seperti Sebaya Tangerang Raya jadikan TB seperti Covid-19 menjadi situasi gawat nasional? Apa tanggapan PDPI?
Memang kita sangat setuju sekali. Kalau memang pemerintah bisa mencanangkan TB sebagai darurat nasional karena kasusnya banyak sekali dan belum tereliminasii. Jadi tentu itu menjadi sangat ideal.
Pendekatan penanganan seperti Covid-19 sukses berkat kolaborasi multisektoral multikomponen ini. Tentu bisa kita contoh untuk menanggulangi TB mungkin pembentukan Satgas TB. Kemudian, melibatkan segala aspek dari pusat dan daerah, karena ini suatu penyakit yang menular dari orang ke orang. Dan mengobatinya bukan satu hari atau dua hari, minimal enam bulan jika sensitif jika resisten bisa lebih lama, dan tentu ini upaya semua aspek.
Bisa dielaborasi seperti apa detailnya?
Nah, aspek yang bisa menggerakan semua itu melalui suatu koordinasi lintas sektor seperti zaman Covid-19. Nah, itu juga yang kami rekomendasikan pada saat membuat presentasi kami di DPR tahun lalu. Jadi perlunya kontrol terpusat di dalam penanggulangan TB dengan pembentukan suatu organisasi khusus dengan tugas penanggulangan TB seperti jaman Covid-19.
Seberapa penting peran LSM, NGO, Kader dalam penanggulangan TB?
Sekarang sudah berjalan LSM-LSM yang membantu penanganan TB. Nah, itu salah satu yang harus dipertahankan, bahkan perlu ditambah. Tentunya dalam penanggulangan TB ini bukan hanya APBN tapi APBD, dana hibah. Makanya lintas sektor koordinasi TB itu amat penting juga.
Pewawancara: Ahmad Khudori
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post