Seorang penulis, Mukhaer Pakkanna menebitkan sebuah karya buku yang menguak kejahatan industri tembakau dan rokok. Dalam bukunya, ia menggambarkan dengan istilah “Drakula”.
Buku “Drakula Ekonomi” mengulas sejarah, pelaku industri, kondisi petani dan buruh, hingga dampak eksternalitas dalam enam bab.
Mukhaer Pakkanna menyebutkan bahwa kebiasaan merokok ada sejak ribuan tahun lalu di Mesoamerika sampai Columbus. Kebiasan ini mencapai benua Amerika pada 1492. Para penjajah Eropa membawa kebiasaan ini hingga berkembang ke Utsmaniyah. Indonesia mengenalnya dari Belanda. Oleh karena itu, Mukhaer menulis bahwa kebiasaan merokok ini bukanlah budaya Indonesia.
Industri Penghisapan
Industri tembakau dan rokok ini tetap eksploitatif meskipun Indonesia sudah merdeka. Ketidakadilan terjadi dalam pembagian hasil antara buruh dan pemilik industri sehingga buruh tidak dapat memperoleh kesejahteraan.
Dalam kegiatan Diskusi Bedah Buku “Drakula Ekonomi: Telaah Antropologis dan Sosial Ekonomi Industri Tembakau” yang diadakan Muhammadiyah Tobacco Control Network (MTCN), ia menegaskan ada kesalahan yang menganggap pekerja di industri tembakau hidup sejahtera.
“Susah mereka keluar dari jeratan industri rokok tersebut,” terang Mukhaer Pakkanna dalam kegiatan yang terselenggara bersama Center of Human and Economic Development (CHED) ITBAD Jakarta pada Februari lalu.

Dia juga menyebut kebijakan cukai tidak jelas dan rumit. Lalu dampak eksternalitas atau tanggungan biaya akibat merokok sangatlah besar. Sementara keuntungan dari cukai jauh lebih kecil.
Indonesia memiliki jumlah perokok yang sangat tinggi termasuk di kalangan masyarakat miskin. Menurutnya, hampir 70 persen masyarakat miskin di Indonesia merokok, lebih memilih untuk membeli rokok daripada makanan atau pendidikan. Situasi ini menunjukkan betapa dalamnya industri rokok mengakar sehingga rokok menjadi komoditas yang lebih penting daripada kebutuhan dasar lainnya.
Faktor harga rokok dapat mempengaruhi kebiasaan merokok. Jika harga rokok naik maka konsumsi rokok akan menurun dan solusi mengurangi merokok adalah dengan menaikkan harga rokok.
Namun kenaikan harga rokok akan berdampak pada pendapatan negara sekitar Rp130 triliun akan menurun. Sehingga bisa mempengaruhi program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).
“Ini menimbulkan dilema bagi pemerintah. Apa akan menghentikan rokok, membiarkannya, atau mengurangi secara bertahap?” ucap Buya Anwar Abbas selaku Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia periode 2020–2025.
Dia pun mengungkapkan kebingungannya. Meskipun peringatan bahaya merokok menakutkan tetapi perokoknya malah tidak terpengaruh. Setidaknya ada tiga faktor penting untuk pengendalian tembakau yang disinggung sesepuh Muhammadiyah tersebut yakni faktor harga, manusia, dan keluarga.
Tokoh Muhammadiyah, Sudibyo Markus menjelaskan, tembakau dan rokok ini cepat menyebar. Selain karena kandungan nikotinnya, hal ini juga karena dukungan tembakau pada jalur perdagangan.
“Saya melihat ternyata tembakau ini ndompleng dan melaju subur dari jalur sutra itu,” kata Sudibyo.
Temuan kandungan nikotin sebagai zat utama terjadii pada 1800-an. Alhasil, kolonial memasukkan tembakau dalam kebijakan tanam paksa pada masa penjajahan.
Ada anggapan juga bahwa rokok kretek merupakan obat. Hal ini berasal dari Jamhari yang menemukan kalau digosok tembakau bisa sembuh. Sampai sekarang masih ada yang percaya anggapan tersebut.
British Medical Journal melaporkan pada 1950-an bahwasanya nikotin bisa menyebabkan kanker. Namun hal ini mendapat penyangkalan. Baru pada 1998 publik menilai perusahaan rokok di Amerika Serikat membohongi rakyat, sehingga mendapatkan denda.
“Amerika saja dari 1950-an sampai 1998. Jadi bisa kita bayangkan berapa lama nanti akan menyelesaikan masalah rokok ini?” sambung Sudibyo.
Memahami Cukai Rokok
Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menyambut baik buku “Drakula Ekonomi” karya Mukhaer Pakkanna ia. Ia sependapat dan menegaskan rokok bukanlah bagian dari budaya Indonesia. Rokok adalah warisan dari kolonialisme Belanda. Hal ini pernah dia perdebatkan dengan budayawan W.S. Rendra di Mahkamah Konstitusi.
Ia pun mengutip laporan tahunan Philip – Sampoerna. “Philip – Sampoerna pada 2023 berhasil menjual rokok seharga Rp116 triliun. Ini satu perusahaan dari berapa banyak rokok? 83 miliar batang miliar. Jadi tentu saja luar biasa.”
“Dan siapa yang banyak membeli? Ya orang-orang miskin, tidak mampu, tidak bisa keluar dari kemiskinan.”
Kebanyakan keliru dalam memahami cukai rokok sebagai sumber pendapatan negara. Padahal Undang-Undang Cukai menyebutkan cukai adalah pungutan paksa untuk mengendalikan konsumsi. Jadi cukai rokok adalah uang denda buat masyarakat yang perilakunya tidak sehat.
“Masa dibanggakan pendapatan negara dari uang denda. Nah, pola pikir ini perlu kita rombak,” ujar Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.
Dia pun menceritakan pengalamannya ketika kuliah di California AS. Pajak rokok di negara tersebut adalah untuk pembiayaan kesehatan di rumah sakit. Ia mengaku manfaat itu dia rasakan ketika membawa istrinya berobat.
Hasbullah menerima tagihan yang besar dan memberitahu pihak rumah sakit bahwa keuangannya terbatas. Karena tidak sanggup membayar, maka pihak rumah sakit membebaskan Hasbullah dari tagihan rumah sakit. Lalu dia menanyakan siapa yang membayar tagihannya.
“Hebat benar Amerika ini. Saya tanya uangnya dari mana? Siapa yang bayar ini? Oh di negara kami ada dana dari pajak rokok. Jadi siapa yang tidak mampu berobat, tidak peduli orang warga negara atau bukan, dana itu dipakai,” tuturnya mengutip keterangan pihak rumah sakit.
Sementara Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyatakan harapan dan dukungan dari berbagai pihak untuk pengendalian rokok dan tembakau di Indonesia. Selain itu mengingat pentingnya buku “Drakula Ekonomi” maka aksesnya perlu diberi kemudahan.
Dia pun menekan untuk mengubah pemikiran agar tidak menganggap cukai rokok sebagai pendapatan negara dan mencari cara untuk mengendalikannya.
“Kami juga harus mencoba mencari bagaimana sebenarnya kepentingan masyarakat yang kita utamakan untuk bisa mengendalikan rokok,” pungkasnya.
Untuk mengakses dan membaca buku Drakula Ekonomi, Anda bisa mengaksesnya melalui tautan ini.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post