Jakarta, Prohealth.id – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) bersama UNFPA, UN Women, dan UNDP menjelang Hari Perempuan Internasional 2025, mengakui bahwa perempuan di Indonesia masih menghadapi banyak masalah dan tantangan pembangunan.
Salah satu tantangan terbesar dalam mengatasi ketimpangan gender adalah keterbatasan anggaran. Apalagi saat ini sudah berlaku kebijakan efisiensi.
Menteri PPPA Arifah Fauzi dalam rapat kerja Komisi VIII DPR RI pada 13 Februari 2025 mengungkapkan bahwa anggaran KemenPPPA mengalami pemangkasan sebesar Rp146,88 miliar atau 48,86 persen, dari Rp300,65 miliar menjadi Rp153,77 miliar.
“Berdasarkan hasil rekonstruksi anggaran, besaran dan efisiensi belanja KemenPPPA tahun anggaran 2025 sebesar Rp146,88 miliar atau 48,86 persen dari total anggaran,” kata Arifah.
Efisiensi ini merupakan bagian dari Instruksi Presiden (Inpres) 1/2025 yang meminta pemotongan anggaran pemerintah sebesar Rp306,69 triliun, termasuk Rp256,1 triliun pada kementerian/lembaga dan Rp50,59 triliun dalam transfer ke daerah. Akibatnya, program-program strategis untuk mendukung kesetaraan gender dan perlindungan perempuan menghadapi keterbatasan sumber daya.
Arifah menjelaskan bahwa pasca-pemotongan, anggaran KemenPPPA memprioritaskan efisiensi untuk belanja gaji layanan pegawai dan operasional dasar prioritas. Namun, layanan publik yang mendukung korban kekerasan masih menghadapi kendala besar.
Misalnya, dana yang tersedia hanya cukup untuk membayar gaji tenaga layanan pengaduan SAPA 129 sebanyak 34 orang. Sementara layanan pendampingan, penjangkauan, dan rehabilitasi korban belum mendapat alokasi dana yang memadai.
Tantangan Gender Budgeting dan Efisiensi Anggaran
Indra Gunawan selaku Staf Ahli Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyampaikan bahwa dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di daerah, pemerintah mengandalkan Dana Alokasi Khusus (DAK). Meskipun anggaran DAK tidak mengalami pemotongan, jumlahnya yang terbatas tetap menjadi tantangan dalam optimalisasi layanan perlindungan korban.
“Ya, walaupun mungkin anggarannya kecil, Dana Alokasi Khusus ini sebenarnya tidak mengalami pemotongan. Jadi ini pun bisa kita maksimalkan untuk penanganan korban maupun kasus-kasus kekerasan yang ada di daerah,” ujar Indra.
Di tengah keterbatasan anggaran, berbagai pihak menekankan pentingnya kolaborasi untuk memastikan program-program perlindungan perempuan tetap berjalan.
“Tentu, dampak efisiensi anggaran terasa. Kita dananya cuma dikit, kalau tambah efisiensi lagi ya habis (uangnya–read),” ujar Indra.
Indra mengatakan bahwa meskipun 10-11 kementerian wajib mengintegrasikan gender mainstreaming dalam perencanaan. Namun realitasnya masih ada kendala besar dalam perumusan anggaran, khususnya setelah kebijakan efisiensi anggaran dilakukan. Indra menjelaskan bahwa gender budgeting telah masuk dalam perencanaan nasional untuk menyiasati efek samping efisiensi. Sayangnya, implementasi dan pengawasannya masih perlu penguatan.
“Untuk mengatasinya, kami harus membangun kolaborasi dengan berbagai pihak. Termasuk degan kementerian yang memiliki anggaran lebih potongannya nggak terlalu ‘gede’. Serta dengan sektor swasta dan donor internasional yang peduli terhadap kesetaraan gender,” ujar Indra.
Optimalisasi dan Kolaborasi sebagai Kunci
Selaras dengan Indra, Dwi Yuliati, Head of Programmes dari UN Women menambahkan bahwa pembelajaran dari anggaran untuk perempuan di tingkat internasional perlu menerapkan prinsip responsive budgeting. Prinsip ini menunjukkan efisiensi harus memastikan anggaran yang ada benar-benar tepat sasaran.
“Salah satu yang jadi jangkar adalah efisiensi. Jika anggaran tidak mencukupi, kolaborasi dan mobilisasi sumber daya lainnya menjadi kunci,” katanya.
Sementara itu, Verania Andria perwakilan UNFPA juga menegaskan bahwa efisiensi anggaran jangan sampai mengorbankan layanan penting bagi perempuan, terutama dalam aspek ekonomi perawatan yang masih diabaikan.
Dalam hal ini, UNFPA menjabarkan solusi untuk mengoptimalkan anggaran pada program-program prioritas yang berdampak lebih luas dan besar. Misalnya, membuat daftar program yang high impact sebagai prioritas. Dan pada sisi lain, lembaga-lembaga internasional seperti UN yang juga concern pada isu kesetaraan gender dapat mengkomplementer usaha-usaha pemerintah.
“Harapannya, kita bisa terus berkolaborasi dan mendukung upaya pencegahan serta penanganan kekerasan berbasis gender, termasuk praktik-praktik berbahaya yang masih terjadi,” pungkas Indra dari KemenPPPA.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post