Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2024 yang diterbitkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 5-10 persen orang yang terinfeksi TBC akan mengalami gejala dan mengembangkan penyakit TBC.
Penyebab penyakit TBC adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis masih menjadi masalah kesehatan global. Pada 2023, sebanyak 10,8 juta orang di dunia sakit karena TBC. Indonesia menempati posisi kedua di dunia dengan estimasi 1,090 juta kasus TBC baru setiap tahun dan 125 ribu kematian akibat TBC.
Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Sekretaris Ditjen Penanggulangan Penyakit Kemenkes, dr. Yudhi Pramono, MARS, menyampaikan bahwa semua orang berisiko tertular TBC. Kendati demikian, terdapat kelompok masyarakat yang memiliki risiko lebih tinggi tertular penyakit ini.
“Meskipun semua orang bisa tertular TBC, terdapat kelompok yang lebih berisiko tinggi tertular TBC, yaitu orang yang kontak serumah dan kontak erat dengan pasien TBC, orang dengan HIV (ODHIV), dan perokok,” ujar Yudhi di Jakarta, Kamis (31/1/2025) lalu.
Kemudian, risiko besar tertular TBC juga terjadi orang dengan diabetes melitus (DM), bayi, anak-anak, dan lansia yang memiliki interaksi dengan pasien TBC, warga binaan pemasyarakatan (WBP), tunawisma, pengungsi, serta masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh-padat dan kumuh-miskin juga berisiko tinggi tertular TBC.
Bakteri TBC dalam percikan (droplet) dapat bertahan selama beberapa jam di ruangan yang lembap dan tidak terpapar sinar matahari. Sehingga, jika percikan droplet tersebut dihirup oleh orang lain, terutama mereka yang memiliki kontak erat dengan pasien TBC, maka risiko penularan semakin tinggi.
“Setelah seseorang terinfeksi, kuman Mycobacterium tuberculosis bisa dalam kondisi aktif atau tidak aktif (dormant) dalam tubuhnya. Jika daya tahan tubuhnya baik, maka bakteri TBC akan tetap tidur. Namun, jika daya tahan tubuh menurun, bakteri ini bisa menjadi aktif dan menyebabkan penyakit.”

Guna menemukan kasus tuberkulosis secara dini, investigasi kontak dilakukan oleh tenaga kesehatan atau kader, dengan minimal 8 orang diperiksa untuk setiap kasus TBC.
Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Nomor HK.02.02/C/2175/2023 tentang Perubahan Pelaksanaan Investigasi Kontak dan Alur Pemeriksaan Infeksi Laten Tuberkulosis (ILTB) serta Pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis (TPT) di Indonesia.
“Kegiatan investigasi kontak adalah salah satu strategi dalam program penanggulangan TBC untuk melacak dan mencari orang-orang yang berinteraksi langsung (kontak serumah dan kontak erat) dengan pasien TBC. Hal ini dilakukan oleh petugas fasilitas pelayanan kesehatan, kader, atau komunitas,” kata Yudhi.
Untuk memastikan semua kontak dapat dilacak atau diinvestigasi, perlu dilakukan beberapa upaya, seperti door to door atau jemput bola langsung ke rumah pasien dan kontak (serumah dan erat). Ia menyatakan, kader dapat melakukan kunjungan ke rumah pasien TBC dan rumah tetangga atau rekan yang berkontak dengan pasien melalui pendekatan yang sesuai dengan budaya di daerah.
“Apabila kontak menolak untuk dikunjungi rumahnya, maka petugas dapat menawarkan pilihan invitasi kontak, yaitu mengundang kontak untuk datang ke fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), misalnya puskesmas atau rumah sakit, lalu dilakukan skrining oleh petugas di fasyankes.”
Petugas atau kader juga melakukan investigasi kontak terhadap teman satu kantor, satu sekolah, atau teman satu tempat bermain (jika pasien TBC merupakan anak-anak). Mereka membantu mengarahkan dan mendampingi kontak agar datang ke fasyankes untuk pemeriksaan lebih lanjut.
“Jika ada yang bergejala TBC, maka akan dilakukan pemeriksaan diagnosis. Sementara itu, yang tidak bergejala akan menjalani asesmen untuk pemberian Terapi Pencegahan TBC (TPT). Jika terkendala transportasi, petugas atau kader sering kali menjemput menggunakan kendaraan pribadi atau meminjam ambulans puskesmas atau desa jika dibutuhkan,” ucap Yudhi.
Untuk menapaki jejak kader dan kelompok masyarakat sipil sebagai garda depan pencegahan TBC, tim Prohealth.id mewawancarai Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia dr. Henry Diatmo pada 11 Februari 2025 lalu. Berikut beberapa cuplikan hasil wawancara Prohealth.id.
Apa tanggapan Anda atas kerja 100 hari Prabowo-Gibran yang sudah berlalu ini?
Secara singkat dulu perbedaannya itu adalah program prioritas saat ini sebenarnya bagian dari upaya advokasi yang sudah dilakukan oleh STPI sebelumnya, seperti yang kita ketahui sudah ada di zaman Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 tahun 2021 tentang penanggulangan TBC.
Bagaimana optimisme atas geliat aktivitas dari pemerintah untuk target eliminasi TBC pada 2030 dengan waktu tersisa hanya 5 tahun?
Jadi sebenarnya payung hukumnya sudah ada dengan Perpres. Dan untuk itu sebenarnya sudah banyak sekali peran-peran dari lintas Kementerian. Nah, sayangnya sampai saat ini semua hal tersebut belum berjalan maksimal. Maka itu, kami dari STPI selalu mendorong supaya semua lembaga ikut berupaya bergabung dan juga berperan untuk eliminasi tuberkulosis ini. Maka di zaman pemerintahan Pak Prabowo ini memperkuat atau mencapai tujuan untuk eliminasi tersebut. Karena, tersisa hanya lima tahun. Walaupun ada hasil yang cukup memuaskan, tetapi hal ini tidak cukup untuk bisa mencapai target sebenarnya.
Apa sih program baru saat ini? Adakah diferensiasi, sesuatu baru yang dibutuhkan dan belum ada dari program lima tahun lalu untuk mengeliminasi TBC pada tahun 2030?
Kita bisa belajar dari penanganan Covid-19. Kalau ini hanya dikerjakan oleh Kementerian Kesehatan dan juga jajarannya saja, ya rasanya tidak akan mungkin wabah Covid-19 itu bisa ditangani dengan baik. Artinya, perlu pelibatan semua pihak. Nah, pelibatan semua pihak inilah yang seharusnya dilakukan dan diperkuat di era Prabowo dibandingkan ya pada masa era Jokowi yang lalu.
Apa harapan khusus untuk proses harmonisasi dan koordinasi menjadi lebih mulus?
Kalau dari kami, mudah-mudahan dengan adanya quick-wins tadi ini menjadi komitmen bahwa semua instansi ikut bergerak. Nah ini yang tantangannya sekarang adalah pengurangan anggaran. Kebijakan efisiensi anggaran ini yang menjadi masalah baru kan. Dan bahkan yang kami dapatkan informasinya, dari sekian triliun dana untuk kesehatan itu pengurangan cukup besar. Justru dari pengurangan ini kami khawatir, apakah ini juga termasuk dana-dana untuk yang quick-wins yang tadinya kalau di media disebutkan untuk TBC sekitar Rp 8 triliun.
Ketakutan efisiensi anggaran adalah tidak tercapai ya eliminasi TBC tahun 2030?
Ya, makanya kami sangat khawatir sekali ya. Karena, kalau misalnya dana itu dikurangi dan ternyata hanya tidak cukup untuk mendorong supaya upaya percepatan, rasanya itu yang akan sulit untuk mencapai eliminasi 2030. Sekalipun mungkin hanya sedikit.
Sejauh ini, bagaimana Anda menilai keharmonisan koordinasi untuk pencapaian program quick-wins eliminasi tuberkulosis?
Kalau berdasarkan Perpres itu ada yang namanya tim percepatan penanggulangan TBC. Tim itu bekerja mulai dari tingkat nasional dan juga ada arah instruksi supaya terbentuk tim yang sama di tingkat provinsi maupun kabupaten, kota, atau desa. Mereka ini tim yang sebut TP2TB. Sayangnya, sampai sekarang di level nasional sampai daerah belum ada yang benar-benar sudah bergerak.
Apakah berarti masih ada masalah seputar manajemen tata kelola, transparansi, dan akuntabilitas, sehingga programnya berjalan belum baik?
Di Tingkat nasional memang sudah terbentuk tim percepatannya, tetapi sama sekali belum ada action-nya. Sedangkan kalau di daerah ada sebagian yang sudah bergerak tetapi belum maksimal. Ada juga yang hanya cuman sekedar struktur dan cukup sah saja begitu. Jadi bahkan sama sekali tidak ada action-nya. Nah ini yang membuat STPI dan juga banyak NGO lain yang mencoba mengawal supaya mereka benar-benar berfungsi sesuai perannya untuk tim percepatan ini.
Apa masalah utama menurut Anda sehingga belum ada aksi implementasi yang riil meski sudah ada Perpres penanganan TBC?
Kembali lagi bahwa mungkin yang menjadi permasalahan adalah pendanaan. Maka, apakah pendanaan ini ada atau tidak hal inilah yang jadi menurut kami menjadi tantangan untuk bisa menjalankan program dan mencapai target. Misalnya juga di kementerian, ada kementerian yang lain itu merasa bahwa mereka tidak ada anggaran khusus buat TBC. Alhasil semuanya masih mengandalkan pada anggaran yang ada di Kementerian Kesehatan. Itu makanya tidak sinkronisasi dan juga peran-peran sehingga belum berjalan dengan maksimal. Terlepas dengan fakta ada beberapa yang sudah mencoba mendukung. Sebut contohnya Komdigi, mereka membuat iklan atau sosialisasi dan sebagainya sayanganya itu hanya sebentar, dan rasanya tidak cukup untuk memberikan informasi yang banyak kepada masyarakat. Ini karena banyak istilah yang mereka bisa ketahui soal TBC dan sebagainya. Jadi memang perlu dukungan lain terutama juga di dalam pendanaan yang menurut kami perlu diperkuat.
Terkait dana Rp 8 triliun janji quick-wins untuk tuberkulosis, apa tanggapan Anda?
Itu yang kita harapkan justru melalui dana quick wins bisa membantu dan bisa menyelesaikan. Sayangnya, dana quick-wins sampai sekarang pun meski sudah ada konsepnya tetapi kami belum dapat informasi terkait prgram pencairan dananya. Atau misalnya dana itu buat ap. Walaupun sudah ada pembagian misalnya untuk penemuan kasus sekian juta, tapi dalam hal action-nya belum ada. Kami pernah mempertanyakan kepada Kementerian Kesehatan Kapan pencairan dana tersebut. Kemenkes hanya menjawab ya saja. Artinya bahwa dana itu masih dalam pembahasan. Kami pun belum tahu, apakah dana tersebut memang akan turun sebanyak itu atau bagaimana? Jadi belum ada yang bisa menjawab.
Terkait quick-wins sebagai janji politik, apakah dalam proses kampanye sampai sekarang sudah terpilih, pihak pemerintah pernah berdiskusi dengan masyarakat sipil yang lama mengawal eliminasi TB ini terkait rencana anggaran Rp 8 triliun tersebut?
Kami tidak pernah diajak untuk diskusi soal itu dan justru kami menjadi kaget juga. Wah kok dananya cukup besar sampai Rp 8 triliun melampaui ekspektasi. Jadi kalau memang bisa benar-benar dapat Rp 8 triliun ini sungguh berita baik buat penanganan TBC. Sehingga upaya penanggulangan TBC dari program dukungan kepada pasien dan sebagainya secara umum bisa tercover semua dari dana tersebut.
Menurut Anda dana Rp 8 triliun itu sangat besar, apakah karena selama ini Indonesia banyak bergantung dari dana hibah?
Memang untuk eliminasi TBC, saat ini masih banyak bergantung pada dana bantuan hibah melalui Global Fund. Sumber dana iitulah yang sekarang memang masih berjalan. Kalau kami justru khawatir sekali dengan adanya efisiensi anggaran dari pemerintah karena itu yang akan ikut berdampak terhadap janji dana quick-wins itu. Ini alasan mengapa kami selalu tanyakan kepada Kementerian Kesehatan untuk pembahasan soal dana quick-wins. Kami memang sering diajak untuk ikut bergabung dalam segala macam bentuk kegiatan. Kami pun sudah memberikan penjelasan dan menyampaikan ke Kementerian Kesehatan bahwa pendanaan itu akan digunakan buat berbagai hal utama. Mulai dari penemuan kasus, pendampingan, pengobatan, dan sebagainya. Maka itu menjadi pertanyaan kami seperti apa cara pembagian dananya. Misalnya, persentase dana berapa? Lalu apakah ada untuk komunitas atau tidak? Lalu kira-kira dana ini kapan bisa digunakan, artinya kapan bisa dicairkan? Hal-hal itu yang masih agak sulit untuk dijawab oleh Kemenkes terkait dana ini. Atau seperti tadi, kami tanya apakah dana Rp 8 triliun ini memang di semuanya akan ditaruh di kas Kementerian Kesehatan, atau mau ditaruh di Kementerian yang lain juga.
Jadi, kesimpulannya semua masih tampak buram ya?
Iya. Karena kita tidak tahu jadi memang belum jelas. Mulai dari bagaimana mekanisme dari anggaran quick-wins ini untuk penanggulangan TBC. Lalu bagaimana sistemnya nanti. Nah yang kami tahu bahwa berita gembiranya akan ada alokasi Rp 8 triliun. Itu saja.
Jika akhirnya dana Rp 8 triliun untuk tuberkulosis tidak terpangkas, menurut STPI sebaiknya dana itu dialokasikan untuk apa saja?
Kalau menurut kami saat ini lebih cenderung untuk upaya preventif, karena kalau misalnya kuratif berarti sudah jalan pengobatannya. Sudah ada anggaran sendiri untuk kuratif misalnya obat-obatan. Semua itu sudah di-cover sama pemerintah melalui APBN. Jadi artinya sudah tidak ada tidak beban yang cukup besar. Upaya preventif ini sebenarnya sudah berjalan di layanan kesehatan dengan memberikan ragam pelayanan Kesehatan. Tinggal bagaimana membangun mekanisme tata kelolanya tidak hanya di Puskesmas, tetapi di semua layanan termasuk swasta dan rumah sakit. Akhirnya itu semua sudah ada cuman yang menjadi kendala sekarang cara menemukan dan memastikan bahwa pasien ini menjalani pengobatan sampai sembuh.
Mengapa penemuan kasus TBC terbilang masih sulit di Indonesia?
Pertama, penemuan kasusnya saat ini walaupun sudah naik tetapi ini belum mencapai target. Kalau sekarang di angka sekitar 80 persen dari estimasi target. Meski begitu, kami sangat bersyukur sekali Pak Menkes Budi Gunadi selalu mendorong untuk mencapai penemuan, bahkan di tahun-tahun ini targetnya 90 persen. Meskipun sepertinya belum bisa tercapai untuk yang penemuan kasus, tetapi masih diupayakan.
Lalu juga kendalanya lagi setelah ditemukan kasus, belum tentu semuanya mau minum obat, atau menyelesaikan pengobatan. Ini yang juga menjadi tantangan ke depan bagaimana memastikan hal-hal kuratif ini benar-benar bisa tercapai di layanan Kesehatan. Kalau menurut kami dari STPI preventif ini yang sekarang perlu diperkuat tidak hanya di kuratifnya.
Dukungan dana hibah internasional dari Global Fund dan USAID mulai terbatas, bahkan berkurang. Bagaimana STPI menyikapi hal ini?
Kami tetap mengikuti target untuk ambisius capai eliminasi tahun 2030. Maka segala cara harus mulai diupayakan karena sudah ada peta jalannya. Berarti tinggal bagaimana peta jalan penanggulangan TBC yang sudah ditetapkan oleh Kemenkes diikuti peta jalannya pasti tercapai. Cuma sayangnya, peta jalannya ini sudah sesuai dengan harapan atau belum. Peta jalan yang sekarang ini sepertinya masih agak kurang. Jadi belum sampai, masih agak kesulitan terutama karena dukungan-dukungan hibah ini mulai berkurang. Kami pun berbicara sama Global Fund tahun lalu kebetulan ada sebuah pertemuan internasional. Menteri Kesehatan menyampaikan soal TBC di Indonesia sudah dapat dukungan dari pemerintah sebesar US$ 500 ribu. Nah, pihak internasional otomatis berpikir, wah ini Indonesia sudah bisa mandiri mendanai tuberkulosis. Makanya mereka (donor) mulai mundur. Jadi, kekhawatiran sekarang kalau ternyata statement yang kemarin disampaikan oleh Menkes tidak terwujud yang Rp 8 triliun, susah lagi. Sedang pihak donor ini sudah terlanjur merasa bahwa Indonesia sudah mampu dan bisa membiayai sendiri jadi, ya sudah, tarik saja mundur semua bantuan. Ini kan bisa gawat nantinya. Dan dampaknya ini secara psikologis di dunia internasional termasuk donor merasa bahwa pengurangan dana bantuan untuk Indonesia ini bisa dilakukan. Inilah yang jadi tantangan Indonesia bisa memastikan bahwa pendanaan itu cukup, tidak hanya dari luar dan juga dari nasional.
Berkaitan dengan upaya preventif atasi masalah kesehatan, bagaimana tanggapan Anda tentang program cek kesehatan gratis? Adakah dampaknya terhadap deteksi dini TBC?
Sebenarnya, skrining itu tidak bisa dilakukan pada saat dia keadaan sehat. Justru orang yang diagnosis TBC biasanya datang ke pelayanan kesehatan karena dia sudah punya gejala, dia batuk-batuk. Dia demam segala macam gejala, tetapi kalau cek kesehatan gratis ini kan mereka rata-rata datang dalam keadaan sehat. Rerata mereka ingin tahu misalnya gula darahnya berapa, kolesterolnya berapa, kayak gitu. Jadi ini akan akan sulit untuk mengetahui si pasien ini punya gejala TBC atau tidak.
Artinya, program cek kesehatan gratis tidak secara langsung membantu penemuan kasus TBC?
Iya, meski demikian proses cek kesehatan gratis ini tetap bagus untuk dilakukan. Paling tidak, kita artinya tahu bahwa misalnya jika seseorang biasanya sehat, tidak batuk kok dalam 2 minggu batuk-batuk terus. Apakah ada gejala lain? Nah cek kesehatan gratis bisa skrining, paling tidak mengarahkan saja ke pengecekan lanjutan. Khawatirnya menurut kami momennya nanti belum tentu pas saja saat dia sakit.
Andaikan, dana Rp 8 triliun itu ternyata termasuk untuk program cek kesehatan gratis, bagaimana tanggapan Anda?
Kami tidak tahu, karena balik lagi, kami tidak pernah dapat informasi. Tidak ada komunikaasi ke kami apakah program skrining gratis itu masuk Rp 8 triliun, atau cek kesehatan gratis itu bagian dari quick-wins tuberkulosis. Ya kami tidak tahu ada informasi soal itu.
Jadi, menurut STPI, program cek kesehatan gratis sebagai quick-wins berbeda dengan quick-wins tuberkulosis?
Iya, beda. Kalau menurut kami sebaiknya berbeda untuk pemeriksaan Kesehatan. Program quick-wins itu beda termasuk berbeda dari sisi anggarannya. Kami lihat beda juga karena itu dari sekitar 7-9 point itu program pemeriksaan gratis sendiri ya terpisah dengan tuberkulosis. Jadi, meskipun ini juga bagian dari quick-wins, terus TB juga sendiri bagian dari quick-wins maka dananya seharusnya berbeda, tidak digabung. Wah, kalua digabung malah tambah kecil lagi nantinya.
Menurut STPI, separah apa masalah stigma yang melekat bagi pasien tuberkulosis? Bagaimana jika pelaku stigma adalah tenaga Kesehatan?
Kalau kami melihatnya setelah beberapa kali turun ke lapangan kebanyakan yang berperilaku diskriminatif seperti itu adalah yang belum di mendapatkan pelatihan atau informasi yang cukup. Biasanya, kalua dia sudah dapat pelatihan tenaga Kesehatan ini sudah mulai berubah. Mereka tidak terjebak stigma, diskriminasi, segala macam perilaku negatif. Namun yang menjadi kendala adalah bagaimana rotasi di lingkungan tempat kerja berjalan baik. Kerap kali saat rotasi tenaga kesehatan dan kader baru tidak mendapat bekal yang cukup tentang pendampingan dan pengobatan pasien TBC. Menjadi tantangan jika orang-orang yang sudah dilatih justru dipindah.
Bagaimana tanggapan Anda tentang peningkatan kapasitas tenaga ksehatan dan kader yang kerap mendapat beban kerja tinggi? Apakah itu menambah kerentanan mereka melayani pasien TBC?
Iya, itu juga ada pengaruh beban kerja yang cukup tinggi di faskes. Seperti yang diketahui bahwa satu orang tenaga kesehatan itu tidak hanya mengurus satu penyakit. Bahkan mungkin dia mengurus banyak hal sekaligus. Di saat dia sudah punya beban kerja yang cukup berat, ini yang mungkin itu timbul reaksi-reaksi seperti memperlakukan pasien dengan kurang simpati. Misalnya, memberikan layanan yang kurang bisa memuaskan pasien.
Ada pola lain yang menjadi temuan unik dari STPI soal pengobatan di faskes?
Begini, biasanya juga sikap kurang simpati tenaga medis karena kelelahan. Ada pola terutama pada pasien TBC biasanya datang ke faskes dalam hal ini Puskesmas, mereka datang saat ramai. Pasien TBC ini cenderung datang lebih siang karena mereka memang lebih diarahkan supaya jangan datang saat banyak pasien yang berkunjung. Pasien TBC memang biasanya di-plot datang agak sore. Ini bukan diskriminasi, ini supaya jangan sampai menularkan kepada yang lain. Jadi ini sudah diatur. Cuma risikonya kalau posisi waktunya udah tidak oke, petugasnya sudah capek dan segala macam, nah ini kadang-kadang membuat perlakuannya agak kurang bisa memuaskan pasien. Itu yang kami tangkap dari pengalaman di faskes satu.
Berarti peran masyarakat sipil, NGO, masih sangat penting untuk preventif melalui edukasi dan penguatan ya?
Betul. Jadi itu sebenarnya mengurangi beban dari petugas kesehatan di saat sudah merasa kelelahan segala macam justru dibantu oleh komunitas, kader, mereka ini semua bisa membantu. Misalnya dengan mengajak ngobrol, mendampingi pengobatan, memberikan informasi. Semua itu hal-hal yang sangat penting dan bisa membantu meringankan pekerjaan dari petugas kesehatan.
Jika dana untuk TBC yang dijanjikan Rp 8 triliun akhirnya gagal, apa langkah taktis yang menurut STPI perlu dipersiapkan?
Tantangan utama saat ini memang dari sisi pendanaan. Namun selain dari sisi pendanaan juga penting kolaborasi multisektor dan dukungan terutama dari melalui kebijakan di tingkat daerah untuk membantu. Hal ini karena sekarang saja mula banyak ini penanganan diarahkan ke daerah, termasuk dari sisi penganggaran kebijakan di nasional yang mengharapkan pemerintah daerah juga membuat hal serupa. Termasuk tentu bertanggung jawab terhadap upaya penanggulangan TBC. Jadi kami ingin pengarusutamaan isu TBC ini seperti isu stunting, massif sampai ke pemerintah daerah.
Saat ini, daerah atau provinsi mana dalam temuan STPI sudah darurat tuberkulosis?
Untuk provinsi, yang utama adalah provinsi yang mempunyai populasi paling banyak. Provinsi yang paling banyak itu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, ditambah DKI Jakarta dan Sumatra Utara.
Dengan adanya kepala daerah baru, sudahkah STPI terlibat dalam upaya mengarusutamakan isu tuberkulosis di pemda?
Kebetulan saya sudah dipanggil sama BIN, mereka tertarik dengan program TBC cuma bingung apa yang bisa mereka lakukan untuk mendukung pencapaian eliminasi ini. Kalau dari kami sebenarnya berharap BIN bisa membantu mengajak semua pihak paling tidak di lingkungan sendiri yakni kementerian, pemda, dan semua struktur mulai mensosialisasikan soal TBC dulu. Sehingga tidak terlalu jauh, paling tidak sudah ada gerakan yang muncul dari sana.
Apa upaya STPI dengan Pemda melalui kepala daerah terpilih segera mencapai eliminasi TBC?
Dari kami mengharapkan, kepala daerah mulai menganggarkan APBD atau dari sumber dana lain mendukung upaya eliminasi TBC. Dengan apapun bentuknya, segala jenis inovasi yang muncul dan bisa dilakukan. Ini termasuk pemanfaatan secara maksimal dana-dana yang ada. Misalnya; dana desa bisa dimanfaatkan di daerah dan untuk penanggulangan TBC. Jadi jangan semua mengacu dengan penganggaran dan pendanaan dari Kementerian Kesehatan.
Mewakili STPI, saya juga sudah bicara dihadapan para kepala daerah yang baru dilantik tanggal 20 Februari kemarin soal urgensi tuberkulosis. Saat itulah momentum mereka benar-benar harus tahu soal TBC dan pentingnya penanggulangan TBC sebagai bagian dari program prioritas mereka. Kemarin saya juga bertemu dengan Kemendagri yang menyebut akan terjadi perubahan RKPD di bulan mei. Artinya, anggaran anggaran yang tadinya disusun tahun 2024 mungkin berubah pada 2025. Sehingga memungkinkan bagi para kepala daerah yang baru bisa memasukkan anggaran untuk TBC.
Pewawancara: Gloria Fransisca Katharina Lawi & Ahmad Khudori
Editor: Irsyan Hasyim
Discussion about this post