Jakarta, Prohealth.id – Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Badan Gizi Nasional (BGN) segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program andalan Presiden Prabowo Subianto. ICW menilai program ini memiliki banyak cacat dari aspek anggaran, kebijakan teknis, pelaksanaan, hingga pengawasan.
ICW menyoroti tiga masalah mendasar dalam program MBG: pertama, kebijakan yang tidak berbasis data dan kajian komprehensif. Kedua, tata kelola anggaran yang tidak transparan. Ketiga, potensi penyalahgunaan mekanisme pengadaan yang berisiko memunculkan praktik korupsi.
“Perencanaan dalam waktu singkat, minim transparansi, serta larangan mempublikasikan informasi terkait MBG adalah kombinasi jitu untuk menghabiskan anggaran dan membuka peluang besar terjadinya korupsi,” kata Dewi Anggraeni, peneliti ICW pada Kamis, 6 Maret 2025 lalu.
Lenyapnya Uang Rakyat
Sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 yang membentuk BGN sebagai koordinator pelaksana, program MBG berjalan tanpa regulasi tata kelola yang jelas. Dalam empat bulan, MBG harus langsung berjalan di seluruh wilayah Indonesia. Namun, program ini justru berujung pada pemangkasan anggaran sektor lain melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang mendorong efisiensi belanja negara.
Menteri Keuangan menyebut kebutuhan anggaran MBG mencapai Rp306,6 triliun, dengan Rp100 triliun dialokasikan langsung ke BGN. Namun, Kepala BGN sendiri menyebut bahwa program ini hanya memerlukan Rp12 triliun per tahun.
“Lantas, ke mana perginya sisa Rp82 triliun?” tanya Peneliti ICW, Dewi Anggraeni Puspitasari Naipospos dalam konferensi pers bertajuk “Makan (Tidak) Bergizi, (Tidak) Gratis: Yang Bayar Warga, Yang Dapat Gizi Siapa?!”.
ICW menduga dana tersebut akan menjadi dana operasional BGN dan program Sarjana Penggerak Pertumbuhan Indonesia (SPPI). Dana yang sama juga akan berfungsi membentuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang berafiliasi dengan Kementerian Pertahanan.
SPPG ditargetkan mencapai 5000 personel, tetapi hingga akhir Januari 2025, ICW hanya menemukan 190 SPPG yang tersebar di berbagai daerah. Berdasarkan situs SPP Indonesia, skema ini menargetkan ribuan SPPG untuk direkrut sebagai ASN, namun tanpa transparansi pengelolaan dana.
Mekanisme Pengadaan yang Buram
Sejumlah laporan mengungkapkan adanya monopoli dalam pengadaan MBG. ICW menemukan beberapa SPPG menguasai lebih dari satu wilayah kecamatan, bahkan dengan alamat dapur yang sama. Hal ini menimbulkan dugaan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, proses pengadaan bahan pangan juga tidak transparan, sehingga bahan pangan lokal tidak terserap dengan baik.
Di sisi lain, Bahkrul Fikri, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), menyoroti dampak skema universal MBG yang tidak mempertimbangkan kestabilan ekonomi negara.
“Kita sedang menghadapi potensi resesi akibat perang dagang AS-Tiongkok dan defisit fiskal, serta ancaman resesi yang meningkat. Jika rupiah jatuh ke Rp20.000 per dolar, rakyat yang akan menanggung akibatnya,” ujar Bhakrul.
Ia juga menyoroti bahwa program ini salah sasaran. Menurutnya, tidak semua anak Indonesia kekurangan gizi. “Seharusnya program ini ditargetkan ke anak-anak di wilayah 3T atau kelompok rentan seperti ibu hamil dan balita, bukan sekadar pencitraan populis.”
Bahkrul menambahkan bahwa kebijakan MBG seharusnya lebih selektif secara geografis dengan menargetkan anak-anak yang mengalami malnutrisi. Bahkan, pemerintah seharusnya bisa menggunakan pendekatan targeting yang lebih efisien. Sebab, jika penerapan program ini membidik seluruh anak di Indonesia, maka kelompok desil 7 ke atas (keluarga dengan penghasilan lebih dari Rp5 juta per bulan), juga akan menerima bantuan ini. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa jika program MBG berjalan tepat sasaran, maka anggaran bisa lebih efisien hingga 13,1 persen.
Selain itu, Bahkrul juga menyoroti efektivitas dapur umum penyajian MBG. “Programnya terlalu sentralistik. Padahal, di negara lain seperti Jepang dan Korea Selatan, makanan disiapkan langsung di sekolah oleh kantin yang sudah memiliki ikatan emosional dengan anak-anak. Kenapa kita tidak memberdayakan kantin sekolah dan UMKM lokal?”
Di beberapa daerah, program ini justru mendapatkan penolakan. Pada Februari lalu di Papua, para siswa turun ke jalan bukan untuk meminta makanan, melainkan pendidikan gratis yang lebih berkualitas. Ini membuktikan bahwa kebutuhan utama mereka bukan sekadar asupan gizi, tetapi akses pendidikan yang layak.
“Alih-alih meningkatkan kesejahteraan, pemerintah malah mengorbankan sektor lain. Anggaran layanan sosial, jaminan pekerjaan, dan fasilitas publik lainnya dipangkas demi program ini,” ujar Bhakrul.
ICW dan koalisi masyarakat sipil mendesak BGN untuk segera melakukan transparansi anggaran dan memastikan bahwa program ini tepat sasaran.
“Kami menuntut keterbukaan dalam pengelolaan anggaran, transparansi mekanisme pengadaan, serta evaluasi menyeluruh terhadap dampak MBG terhadap sektor pendidikan dan sosial lainnya,” ujar perwakilan ICW.
Untuk itu, ICW dan Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah segera melakukan langkah perbaikan. Pertama, membuka rincian anggaran secara transparan.
Kedua, memberikan akses informasi publik terkait penerima manfaat dan standar gizi. Ketiga, mengawasi mekanisme pengadaan agar tidak terjadi praktik monopoli. Keempat, menyesuaikan skema dengan prioritas pada kelompok yang benar-benar membutuhkan.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post