Pemerintah Indonesia memiliki komitmen atas persoalan lingkungan ini. Perhatian tersebut sejalan dengan Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 yang menekankan pentingnya pembangunan berkelanjutan. Tujuannya untuk mewujudkan Indonesia Emas sebagai negara maju yang berkelanjutan.
Pemerintah melakukan upaya kolaboratif bersama para pemangku kepentingan untuk mencapai sasaran pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Hal ini terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat dan memenuhi komitmen internasional terkait kelestarian lingkungan. Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Teguh Sambodo menyatakan ada banyak masalah lingkungan lainnya di Indonesia. Seperti sampah, hutan, ketahanan pangan, hingga transformasi teknologi.
Teguh menyampaikan hal itu dalam Gelar Wicara “Ekologi dan Perwujudan SDG’s Indonesia” yang diselenggarakan Bonum Commune Forum pada Maret 2025 lalu.
Pengelolaan sampah menurutnya masih bermasalah. “Ada 306 tempat pembuangan sampah dengan menghasilkan gas berbahaya dan mencemari kualitas air. Sebanyak 37 di antaranya sudah terkontaminasi,” ungkap Teguh.
Sebaliknya pengolahan sampah dengan baik justru akan memberikan hasil. Sampah bisa menjadi bermacam-macam energi. “Jadi mengatasi satu masalah itu akan mendatangkan manfaat.”
Dia menyebutkan upaya meredam laju deforestasi saat ini sedang bertujuan agar warga bisa hidup berdampingan dengan kawasan hutan secara harmonis. Ketahanan pangan juga harus menjadi program untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan perkebunan seperti produksi padi, sawit, hingga kedelai. Kemudian transformasi teknologi dengan digitalisasi harapannya agar dapat mempercepat pencapaian target dan menciptakan efisiensi.
Pembangunan berkelanjutan ini mempunyai tantangan tersendiri dan membutuhkan pembiayaan. Upaya ini merupakan solusi dengan disertai dukungan kapasitas yang memadai. Dia berharap kerja sama antar para pemangku kepentingan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
Menyingkirkan yang Lemah, Mengejar Pertumbuhan
Tanggung jawab menyelamatkan bumi sangat menentukan masa depan agama. Terutama karena agama bertumbuh dan berkembang di bumi maka pemahaman yang benar tentang bumi menjadi dasar penting kehidupan religius.
Bumi memiliki nilai yang berharga dalam perspektif Alkitab. Namun masalahnya bukan pada nilai dan ajaran melainkan pada pelaksanaannya.
Gereja sudah lama menyuarakan kepeduliannya kepada lingkungan dan Paus Fransiskus menegaskan hal itu dalam ensiklik “Laudato Si”. Butuh tindakan konkret akibat risiko stigma yang akan melekat jika lembaga keagamaan terlalu dekat dengan pandangan politik ekonomi tertentu.
Para Bapa Gereja dan pertapa mengumandangkan nilai penting ini dengan sikap “Genug Ist Genug”. Konsep “Cukup Itu Cukup” mencerminkan kebijaksanaan dalam mengendalikan diri dan menjadi dasar kontemplasi yang mendalam atas sikap ekologis.
Romo Antonius Eddy OFM menerangkan Allah tidak hanya Maha Besar tetapi hadir juga dalam kerendahan dan kemiskinan. Ini merupakan pisau kritik yang tajam atas konsep negara dan masyarakat yang mengagungkan kekuatan dan pertumbuhan ekonomi namun menyingkirkan yang kecil, lemah, miskin, dan disabilitas.
“Jangan lupa Gereja punya cara lain. Allah itu nyata di dalam kerendahannya, dalam kemiskinannya,” tegas Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara ini.
Gereja harus menjadi tempat yang memberi ruang pada budaya dan nilai-nilai lokal sebagai bagian dari cara menyelamatkan bumi dan manusia secara menyeluruh.
Ambisi Pembangunan Abaikan Dampak
Ambisi Pemerintah mengejar pertumbuhan ekonomi mengabaikan dampak negatif pembangunan. Padahal deforestasi yang terjadi sangat luas akibat kebijakan ekstraktif dan illegal logging.
Kerusakan lingkungan ini bukan hanya berdampak pada ekosistem tetapi juga pada kehidupan manusia. Sumber pangan, obat-obatan, pengetahuan, dan kebudayaan masyarakat adat turut binasa.
Profesor Sulistyowati Irianto, Guru Besar Universitas Indonesia ini mengatakan Indonesia itu mengalami deforestasi terluas di dunia akibat tambang.
“Itu datanya sudah dari 2020. Lalu bagaimana dengan kebijakan ekstraktif yang sudah kita lihat selama 10 tahun dan khawatir itu akan dilanjutkan. Deforestasi itu akan menghilangkan keanekaragaman hayati.”
Jika habitat rusak maka kehidupan manusia pun turut hilang. Konsekuensi yang tidak sesuai harapan ini dapat menimpa manusia yang kecil, lemah, miskin, dan disabilitas.
“Kalau mereka kehilangan habitat tinggal itu bukan cuma alamnya yang rusak dan mati. Tetapi manusianya ikut mati. Oleh karena itu kita mesti memikirkan juga,” tandasnya.
Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia ini turut mengingatkan kematian manusia yang bertautan dengan ekosida dan biosida. “Itu kematian akibat kehilangan semua sumber pengetahuan dan sumber hidup manusia yang ada di sekitarnya. Apa kita sampai ke sana memikirkannya? Itu sih yang saya mau tambahkan.”
Pemanasan global pun tak lepas dari sorotan dia. Kenaikan suhu meski hanya 1 hingga 2 derajat bisa memicu kekurangan air, gagal panen, dan peningkatan penyakit menular seperti COVID-19. Hal ini akan berdampak paling besar kepada perempuan ketika harus bekerja lebih keras dengan kondisi lingkungan yang rusak.
Bisnis Menyikapi Masalah Lingkungan
Praktik keberlanjutan tidak lepas dari agama. Sebab perspektif agama menekankan pola hubungan antara manusia, Tuhan, dan alam. Sayangnya, manusia pada umumnya berfokus pada hubungan spiritual dengan Tuhan sementara hubungan dengan sesama manusia dan alam sering diabaikan.
Perusahaan multinasional seperti Coca-Cola memiliki komitmen global terkait praktek keberlanjutan tersebut. Namun menyesuaikan dengan tantangan dan realitas lokal di Indonesia.
Public Affairs, Communications, and Sustainability Director Coca-Cola Europacific Partners Indonesia Lucia Karina menceritakan perjuangannya ketika hendak memasang panel surya di tengah belum ada regulasi yang mendukung penggunaan energi terbarukan. Dia ingat betul bagaimana harus berkomunikasi ke pelbagai lembaga pemerintahan hingga akhirnya keluar Peraturan Menteri ESDM pada 2019.
Dia menyebutkan kesalahan umum dalam memandang isu keberlanjutan dari target semata tanpa ada pendekatan holistik. Dampak ekologis terbatas hanya agar tidak makin membebani lingkungan.
Coca-Cola dalam implementasinya juga membangun fasilitas daur ulang PET, menyasar edukasi, dan pemberdayaan komunitas. Kesejahteraan warga meningkat dengan berbagai pelatihan dan pengembangan Bank Sampah berbasis gotong royong.
Pengelolaan lingkungan berhasil menciptakan nilai ekonomi dan membentuk jiwa kewirausahaan. Salah satu contoh sukses datang dari program pilot di Lampung yang melibatkan sembilan pemangku kepentingan. Hasilnya, penurunan open dumping hingga 37 persen dan penghasilan tambahan bagi perempuan dari kegiatan pengolahan sampah.
Sementara sampah organik menghasilkan kompos dan maggot. Pemanfaatan kompos bisa untuk mengembangkan pertanian mikro. Warga juga mendapatkan pemahaman guna menjaga sumber air dan mengolah air limbah untuk pertanian mikro.
Menghindari kesenjangan antara nilai dan praktik juga berlaku di perusahaan media. Hal ini bertujuan merealisasikan nilai secara utuh. Kompas Gramedia (KG) misalnya, sejak 2023 mencoba tidak sekadar berkutat memberi tuntutan atau retorika. Tetapi lebih fokus pada aksi nyata.
Vice President Sustainability KG Media Wisnu Nugroho menuturkan isu lingkungan mendapatkan porsi di kanal-kanal KG Media. Fungsinya untuk meningkatkan kesadaran publik atas kepedulian dan krisis lingkungan. Lalu di internal perusahaan mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dengan memakai tumbler pribadi.
KG Media juga menghitung jejak karbon perusahaan. Dari moda transportasi pekerja hingga perjalanan ke luar negeri. Untuk mengompensasi emisi tersebut maka KG Media melakukan penanaman satu hektare mangrove. Kolaborasi KG Media ini membuat klien mereka bisa turut serta dalam aksi lingkungan ini. Dia berharap multipihak yang memiliki konsern serupa dapat melaksanakan aksi nyata pada akhirnya.
“Kami senang bertemu dengan perusahaan, akademisi, bertemu dengan pihak atau lembaga seperti gereja yang punya konsern sama. Mari kita bersama-sama melakukan ini,” pungkas Wisnu Nugroho.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post