Implementasi program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih mengundang banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk lembaga swadaya masyarakat (lsm) hingga ahli gizi. Perwakilan Bareng Warga Ichan mendapat banyak laporan dari warga mengenai permasalahan MBG.
Salah satu yang paling banyak laporan masuk ke Bareng Warga yaitu terkait kualitas makanan yang justru tidak bergizi. Terbaru, banyak anak yang keracunan setelah mengonsumsi makanan MBG.
Dia juga menyoroti banyaknya militer yang terlibat dalam program ini. Di sisi lain pemerintah juga anti-kritik dan tidak menyediakan pengaduan yang jelas untuk warga yang mengeluhkan implementasi MBG.
Ichan mengungkapkan beberapa pelajar yang mengkritik menu MBG di Bogor malah mendapat ancaman. Sebagian bahkan mendapat tekanan untuk membuat klarifikasi. Tak heran jika pengaduan akhirnya bermunculan di media sosial dan masuk ke Bareng Warga.
“Sebaiknya tuh ke depan ada mekanisme pengaduan yang aman, soalnya kayak banyak orang yang ngadu ke Bareng Warga lewat direct message (DM) kadang tuh minta dirahasiakan, beberapa minta di-takedown gitu karena konsep keamanan mereka dan jadi ya kayak gitu ya. Harusnya ada pengaduan yang bisa melindungi pelapor,” kata Ichan.
Dia pun berpandangan pemerintah harus mendengarkan kritik dari warga dan mengevaluasinya. Dia berharap tidak ada lagi anak yang keracunan. “Harusnya pemerintah mengevaluasi program ini sih secara menyeluruh,” ucapnya.
Makanan Tak Bergizi: Pengawasan Lemah
Ahli Gizi Masyarakat Tan Shot Yen juga menilai pentingnya segera melakukan evaluasi. Terutama terkait kualitas makanan. Banyak menu MBG justru produk ultra-proses yang gulanya tinggi.
Ternyata menu MBG lebih parah selama bulan Ramadan. Bukan hanya ultra-proses, banyak produk makanan yang mengandung pengawet menjadi menu MBG, seperti biskuit.
Padahal, kata Tan, pemerintah bisa bekerja sama dengan UMKM untuk menyediakan makanan-makanan lokal, seperti kue tradisional. Ini lebih sehat daripada makanan kemasan yang masa kedaluwarsanya berbulan-bulan.
Walhasil banyak orang tua yang melarang anaknya mengonsumsi MBG dan berujung terbuang sia-sia. “Karena ibunya tau banget Ini produk ultra proses Gulanya tinggi, anaknya juga gak doyan karena dari kecil tak terbiasa makanan yang kayak begitu,” kata Tan.
Tan berpandangan hal ini terjadi akibat pemerintah mengejar jumlah penerima manfaat sebanyak-banyaknya. Akhirnya hanya ada penambahan eksponensial secara kuantitas, tetapi secara kualitas tidak.
Seharusnya, kata Tan, pemerintah melakukan uji coba (pilot project) terlebih dahulu. Tan mengatakan pemerintah bisa memilih daerah yang paling siap untuk program ini. “Yang dapurnya paling oke dan yang memang merupakan target,” ucap Tan.
Pemerintah, kata Tan, harusnya mendahulukan implementasi di daerah-daerah yang paling membutuhkan, yaitu dengan kategori tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
“Alangkah baiknya kalau program ini dijalankan dulu dengan pilot project di beberapa kabupaten saja yang memang sangat urgent dan dari situ kan kita bisa ketahuan nih apanya yang masih gak beres,” ujar dia.
Menurut Tan, pemerintah harus menetapkan sistem pengawasan yang desentralisasi dengan melibatkan pemerintah setempat. Dari pengawasan itu lalu dievaluasi dan dibenahi.
Jangan sampai, kata Tan, program ini membuat pemerintah dihujat. “Jadi tolong buka semacam kanal pengaduan yang tentu harus dengan bukti ya. Jadi gak cuma sekedar ngadu -ngadu buat ngejelek -jelekin program. Aku percaya kok kita punya rakyat itu udah mulai pinter,” ucapnya.
Founder dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah S. Saminarsih mengatakan sejak rilis 6 Januari lalu, pelaksanaan program MBG masih punya sederet persoalan di lapangan. Beberapa di antaranya berkutat dengan masalah keamanan pangan dan kualitas kandungan gizi dalam menu makanan.
“Salah satu isu yang cukup mengundang perhatian publik adalah serangkaian kasus keracunan yang menimpa beberapa siswa setelah mengonsumsi menu dari program MBG di sejumlah daerah,” kata Diah.
Diah menilai adanya keracunan setelah mengonsumsi MBG adalah hal serius. CISDI mengidentifikasi salah satu penyebab utama terjadinya keracunan adalah belum optimalnya implementasi standar keamanan pangan seperti Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) dalam pelaksanaan program MBG.
HACCP adalah sistem manajemen risiko yang mengatur keamanan pangan di setiap fase, mulai dari proses produksi hingga distribusi makanan.
“Penerapan standar keamanan pangan yang belum optimal, ditambah dengan kekurangan pengaturan keamanan pangan dalam petunjuk teknis, menjadi catatan penting yang harus segera ditangani oleh Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memastikan kualitas pangan yang lebih baik,” ucap Diah.
CISDI juga turut menyoroti penggunaan produk makanan ultra-olahan dalam menu MBG. CISDI mengungkapkan ada temuan produk-produk tinggi gula, garam, dan lemak (GGL) mencapai 45 persen sampel menu MBG.
“Temuan ini termasuk penggunaan susu kemasan berperisa yang mengandung kadar gula tinggi, yang jelas tidak sesuai dengan pedoman standar gizi yang telah disusun Kementerian Kesehatan,” ujar dia.
“Keberadaan produk-produk tersebut dalam menu MBG berpotensi merugikan kesehatan jangka panjang, terutama bagi anak-anak dan kelompok rentan lainnya yang menjadi sasaran utama program ini,” imbuhnya.
Perwakilan dari Wahana Visi Indonesia (WVI) Suryadi Jo mengaku pihaknya menyambut baik program MBG. WVI menilai MBG adalah bentuk dari perlindungan sosial. Oleh sebab itu, dia mengatakan program ini harus ada pengawasan ekstra.
“Pemerintah perlu memastikan agar program berjalan sesuai dengan misinya, yaitu pemenuhan gizi anak, ibu hamil setelah masa ibu menyusui ya,” ucap Suryadi.
Suryadi juga mengingatkan jangan sampai program ini membuat program lain yang sama pentingnya hilang. Mengingat, program MBG ini menelan banyak biaya.
“Pemerintah perlu memastikan layanan perlindungan anak tetap berjalan dan saat bersamaan gizi anak juga terpenuhi. Pemerintah perlu secara cermat mengelola anggaran sehingga program MBG dan layanan perlindungan anak lainnya berjalan dengan berkualitas. Pelaksanaan MBG juga bukan artinya mengurangi atau meniadakan layanan pemerintah lain ya,” bebernya.
Selain itu, dia juga sepakat agar pemerintah tidak anti kritik. Menurutnya, pemerintah bisa mempertimbangkan semua kritik, tak terkecuali dari anak.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post