Jakarta, Prohealth.id – Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah DM tipe 1 pada 2022 mencapai 41.033 pasien. Kemudian pada 2023 meningkat menjadi 52.249 pasien dan meningkat lagi pada 2024 menjadi 64.743 pasien.
Sebagian anak suling menghindari DM tipe 1. Pasalnya, DM tipe 1 berbeda dengan tipe 2.
Ketua pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menjelaskan DM tipe 1 adalah penyakit akibat kondisi autoimun. Di mana kondisi pankreas tidak bisa atau sedikit sekali produksi insulinnya. Sementara DM tipe 2 adakah akibat gaya hidup tidak sehat.
Deteksi dini atas gejala DM tipe 1 sebenarnya cenderung lebih sulit. Oleh sebab itu, banyak anak yang menderita DM tipe 1, baru ketahuan ketika sudah parah.
Secara umum, kata Piprim, gejala DM tipe 1 salah satunya bisa terlihat dari berat badan. Biasanya, anak penderita DM tipe 1 badannya kurus.
“Masalah lainnya adalah masih banyak kasus DM tipe 1 ini tidak terjadi diagnosis atau salah diagnosis karena kurangnya kesadaran akan gaya hidup sehat juga pemeriksaan kesehatan,” kata Piprim dalam diskusi “Mengelola Diabetes Tipe 1 Pada Anak” pada Selasa (29/4/2025).
Dia berpendapat seharusnya ada upaya ekstra menggencarkan skrining DM tipe 1. Apalagi, di pedesaan. Sebab, penderita DM tipe 1 membutuhkan suntikan insulin.
Suntikan insulin berguna untuk membantu mengontrol kadar gula darah dan mencegah komplikasi diabetes
“Di daerah juga masih banyak anak-anak yang akses ke insulinya terbatas. Padahal diabetes mellitus tipe 1 ini dia dependent insulin. Seumur hidupnya dia butuh suntikan insulin,” bebernya.
Piprim mengaku pihaknya turut membantu advokasi dalam kasus ini agar pemerintah lebih memberikan perhatian. Harapannya, DM tipe 1 pada anak bisa terdeteksi lebih dini dan segera mendapat Tindakan.
IDAI mempunyai program Pediatrician Social Responsibility (PSR). Program tersebut memberi pelatihan dan pendampingan kepada para petugas di puskesmas.
“Sehingga ini juga bisa kita manfaatkan untuk meningkatkan Kapasitas tenaga kesehatan di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) untuk aware terhadap diabetes tipe 1 ini,” ucapnya.
Darurat Kesehatan Abad-21
Unit Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi IDAI Nur Rochmah mengungkapkan DM merupakan darurat kesehatan global pada abad 21 ini. Sebab, prevalensinya telah meningkat pada beberapa dekade terakhir.
Federasi Diabetes Internasional alias International Diabetes Federation (IDF) memprediksi akan ada peningkatan kasus DM kurang lebih 643 juta pada 2030 dan 783 juta pada 2045.
DM tipe 1 ini memang banyak pada kelompok anak sampai menyebabkan kematian. IDF mencatat pada 2021, sebanyak 6,7 juta orang meninggal akibat DM (DM related cause).
Dia mengungkapkan pertambahan kasus DM tipe 1 tahun 2022 di Indonesia mencapai 584 pasien. Kemudian, pada 2023 meningkat menjadi 594 pasien dan 2024 mengalami sedikit penurunan menjadi 527 pasien.
Proses perkembangan penyakit (patogenesis) DM tipe 1, tak bisa lepas dari peran gen. Ketika gen tersebut terpicu oleh faktor lingkungan maka masuk ke proses autoimun.
Nur menjelaskan ketika anak dengan DM tipe 1 lahir, insulinnya masih 100 persen. Insulinnya bisa terus menurun dan seharusnya langsung mendapatkan terapi insulin.
Komplikasi pada anak yang mungkin bisa terjadi pada penderita DM tipe 1 adalah diabetes ketoasidosis diabetik (KAD) dan hipoglikemia. KAD bisa terjadi pada kondisi hipoglikemia (gula darah rendah) dan hiperglikemia (gula darah tinggi).
KAD biasanya terjadi saat tubuh memecah lemak karena kekurangan insulin, menghasilkan keton yang membuat darah asam. Sementara hipoglikemia terjadi saat kadar glukosa darah turun terlalu rendah. Gejala yang timbul seperti pusing, keringat, dan kehilangan kesadaran.
Tingkat morbiditas dan mortalitas pada DM tinggi. Menurut Nur, perlu upaya bersama pemerintah, tenaga kesehatan, masyarakat dan keluarga.
Nur berpendapat perlu ada peningkatan kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan terkait DM tipe 1. perlu adanya kepatuhan terapi dengan pendekatan holistik untuk pasien DM tipe 1.
“Perlu peningkatan pemantauan gula darah dan edukasi mengenai diet dan aktivitas fisik,” ucapnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post