Jakarta, Prohealth.id – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat 40 kasus kekerasan terjadi pada jurnalis di empat bulan masa jabatan Prabowo-Gibran, bulan Januari hingga April 2025.
“Kami melihat tren kekerasan (terhadap jurnalis) di era Presiden Prabowo justru lebih besar. Serangan-serangan itu lebih banyak, lebih masif. Salah satu yang sangat penting adalah teror yang berkesinambungan dan terstruktur terhadap Tempo, termasuk pengiriman kepala babi dan enam bangkai tikus yang telah dipotong kepalanya,” kata Mustofa Layong, Direktur LBH Pers, dalam keterangan kepada media, Jumat (9/5/2025). Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa kekerasan juga dialami oleh homeless media, jurnalis profesional, bahkan pers mahasiswa.
Saat Hari Kebebasan Pers Dunia 2025, Ketua Dewan Pers 2022-2025 Ninik Rahayu, menyatakan bahwa aparat menjadi pelaku dominan kekerasan terhadap jurnalis. “Kekerasan jumlahnya terus meningkat terutama di era digital, yang terbanyak pelakunya adalah institusi kepolisian 191 kali,” ujar Ninik dikutip dari YouTube Komite Jurnalisme Berkualitas. Setidaknya kekerasan oleh aparat kepada jurnalis tergambar pada aksi demonstran tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI pada 20 Maret-27 Maret di gedung DPR.
Data terakhir Dewan Pers tentang Indeks kebebasan Pers (IKP) 2024 69,36 Persen. Padahal, IKP tahun 2023 menyentuh 71,57 indeks ini diperkirakan akan terus mengalami penurunan. Faktor-faktor penurunan IKP dipengaruhi dengan kekerasan jurnalis yang dibiarkan oleh pihak berwajib.
LBH Pers berusaha untuk memangkas agar tidak terjadinya kekerasan terhadap jurnalis, melalui audiensi dengan Komisi Kepolisian Nasional (KOMPOLNAS), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
Namun, akan sia-sia jika pemimpin tertinggi, dalam hal ini Presiden diam saja, jelas Mustofa. “Kami yakin ini sangat mudah untuk dilakukan (memproses hukum) oleh pimpinan. Pelaku kekerasan jurnalis ini bukan orang biasa, kecenderungannya mudah diproses ancaman pidana 3 bulan atau percobaan,” katanya.
Lebih lanjut, LBH Pers menilai bahwa impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis terus terjadi, terutama karena tidak ada tindakan tegas dari negara. “Negara abai dalam memberikan perlindungan hukum terhadap jurnalis, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Pers,” ujarnya.
Serangan terhadap jurnalis juga tidak hanya bersifat fisik, namun juga dalam bentuk serangan digital seperti Distributed Denial of Service (DDoS). Hal ini dialami oleh beberapa media seperti Tempo dan Suara.com menjadi sasaran setelah menerbitkan laporan investigatif yang menyentuh isu-isu sensitif, termasuk dugaan keterlibatan pejabat dalam praktik judi online. “Setidaknya tidak kurang dari lima serangan digital dari 40 kasus tadi, mulai dari Tempo, Suara hingga Pers Mahasiswa yang akunnya juga diretas atau di-suspend,” ujar Mustofa.
Kerentanan yang dikhawatirkan LBH Pers ini selaras dengan laporan SAFENet tahun 2019, yang mencatat bahwa jumlah media dan jurnalis yang dipidanakan cenderung lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Berdasarkan profesi yang diadukan, media dan jurnalis masih menempati posisi pertama dengan 8 kasus, terdiri atas 1 media dan 7 jurnalis menjadi korban,” dikutip dari salinan laporan tahunan SAFENet, Jumat, 09 Mei 2025.
Regulasi Bermasalah
Selain kekerasan langsung, ancaman terhadap kebebasan pers juga muncul dari kerangka hukum dan regulasi yang dinilai bermasalah. Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) disebut tidak memberikan pengecualian yang jelas bagi kerja jurnalistik dalam mengolah data pribadi.
Kendati terdapat UU Keterbukaan Informasi Publik, namun tetap substansinya tumpang tindih satu sama lain, dan jurnalis pun harus memenuhi syarat atau alasan yang konkret untuk mengajukan pembukaan data pribadi terhadap individu atau instansi yang diduga terlibat.
“Kalau kita mengacu ke standar internasional seperti GDPR (General Data Protection Regulation) di Eropa, ada pengecualian eksplisit untuk kepentingan jurnalistik. Di Indonesia, tidak ada itu,” terang Mustofa.
Menurutnya, hal ini berpotensi mengkriminalisasi kerja jurnalis yang mengandalkan data untuk investigasi.
UU ITE dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru juga dinilai berpotensi digunakan untuk menekan pers. LBH Pers menyatakan kekhawatiran bahwa revisi yang telah dilakukan belum menjamin perlindungan terhadap kebebasan berpendapat.
Kasus kekerasan terhadap jurnalis juga melibatkan ajudan dari aparat penegak hukum, seperti ajudan Kapolri dan Panglima TNI. LBH Pers menilai ketika orang-orang terdekat pejabat tinggi negara melakukan kekerasan tanpa konsekuensi, itu menunjukkan adanya pembiaran dari tingkat atas. “Kami khawatir bahwa percakapan di ruang-ruang pimpinan memang tidak berpihak pada kemerdekaan pers,” kata Mustofa. Ia menegaskan bahwa pembiaran semacam ini hanya akan memperparah budaya impunitas.
Lebih lanjut, LBH Pers juga menyoroti kasus penetapan Direktur Pemberitaan JAK-TV sebagai tersangka menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Penetapan itu dilakukan setelah media tersebut mempublikasikan pemberitaan terkait dugaan korupsi. “Ini bentuk salah kaprah yang berbahaya. Harusnya penyelesaian dilakukan melalui mekanisme UU Pers, bukan pasal obstruction of justice,” tegas Mustofa.
Ia menyatakan bahwa jika pemerintah tidak segera melakukan evaluasi terhadap regulasi dan memberikan perlindungan hukum yang nyata bagi jurnalis, maka kemunduran kebebasan pers hanya tinggal menunggu waktu.
Editor : Fidelis Eka Satriastanti
Discussion about this post