Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

Harapan Pendanaan Pengendalian Rokok di Indonesia di Tengah Isu Krisis Global

Kondisi kesehatan masyarakat di Indonesia semakin destruktif dan menghadapi tantangan yang kian kompleks. Salah satunya karena lemahnya regulasi pengendalian rokok.

by Admin
Monday, 23 June 2025
A A
Harapan Pendanaan Pengendalian Rokok di Indonesia di Tengah Isu Krisis Global

Risky Kusuma Hartono Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI). (Sumber foto: Dokumen pribadi/2025)

Tantangan penyakit tidak menular kian meningkat ditambah beban ganda penyakit infeksi dan kronis semakin terasa bergeser dan dialami oleh generasi muda. Sebut saja penyakit jantung, stroke, diabetes yang semakin kian diderita oleh generasi produktif bahkan diantaranya menjadi penyebab kematian. Salah satu penyebab tantangan tersebut yaitu prevalensi perokok, terutama di kalangan remaja dan kelompok pra-sejahtera yang belum teratasi dengan optimal.

Prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas stagnan tinggi dari 28,9 persen (Riskesdas 2018) menjadi 29,7 persen (SKI 2023). Lebih memprihatinkan, prevalensi perokok anak usia 10–18 tahun justru meningkat dari 7,2 persen (2013) menjadi 7,4 persen (2023), yang setara dengan 5,9 juta anak. Konsumsi rokok elektronik juga melonjak 10 kali lipat dalam 10 tahun terakhir (GATS 2021).

BacaJuga

Janji Jokowi: Penurunan Perokok Anak di Tahun Naga Kayu

Mitologi Oyot Mimang dan Kegagalan Negara Memberantas Rokok Ilegal

Indonesia bahkan didapuk menjadi negara dengan proporsi perokok laki-laki tertinggi di dunia (Our World in Data, 2024). Dengan sumber daya yang ada selama ini, ternyata masih belum cukup untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia agar setara dengan kondisi yang terjadi di negara-negara maju, seperti Kanada (10.7 persen), Iceland (7.9 persen), dan Australia (12 persen) yang memiliki prevalensi perokok lebih rendah, aturan pengendalian tembakau yang lebih kuat, serta pendanaan yang lebih adekuat dibandingkan dengan Indonesia.

Apalagi, upaya pengendalian konsumsi rokok masih dihadang oleh kuatnya pemasaran industri yang menyasar anak-anak dan remaja. Iklan rokok di sekitar sekolah dan penjualan rokok eceran dengan harga murah menjadi pintu masuk utama. Penelitian Hartono (2021) menunjukkan kemudahan akses anak terhadap rokok, yang membuktikan bahwa densitas warung penjual rokok batangan dengan harga murah cukup marak dan di antaranya berada dalam radius 100 meter dari sekolah. Situasi ini menegaskan bahwa Indonesia masih memerlukan pendanaan yang lebih memadai untuk upaya pengendalian tembakau yang lebih komprehensif agar setara dengan standar di negara-negara maju.

Berbagai sumber pendanaan pengendalian konsumsi rokok di tanah air selama ini ditopang oleh Pemerintah melalui berbagai macam sumber termasuk dari cukai rokok. Misalnya, dana dari Kementerian Kesehatan yang khusus dialokasikan untuk pengendalian tembakau, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk kesehatan diantaranya untuk menegakkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR), dan pajak rokok daerah yang lebih banyak dialokasikan untuk Jaminan Kesehatan Nasional. Selain sumber pendanaan nasional, hibah pendanaan internasional juga turut menjadi penopang upaya pengendalian tembakau di Indonesia. Amerika Serikat menjadi salah satu mitra strategis selama ini yang turut berperan penting.

Namun, dunia baru saja dikejutkan oleh keputusan Pemerintah Amerika Serikat memangkas besar-besaran alokasi pendanaan luar negeri melalui United States Agency for International Development (USAID). Di Indonesia, dampaknya langsung terasa. Salah satu program strategis yang dihentikan secara mendadak adalah USAID Penanggulangan TBC. Padahal pendanaan ini sebelumnya berperan penting dalam deteksi dini, pengobatan, dan pencegahan TBC di wilayah-wilayah padat dan miskin—kelompok yang sangat rentan terhadap penyakit ini. Ratusan tenaga ahli dan mitra kerja lokal terpaksa diberhentikan akibat terhentinya aliran dana.

Penghentian program ini menjadi ironi. Terutama dalam kaitan dengan tingginya angka perokok di Indonesia, mengingat perilaku merokok terbukti memperparah infeksi TBC, meningkatkan risiko transmisi, dan menurunkan efektivitas pengobatan. Dengan kata lain, tanpa strategi pengendalian tembakau yang kuat dan sistematis, upaya eliminasi TBC akan terus terhambat. Maka, hilangnya dukungan program semacam ini tidak hanya berdampak pada sektor TBC, tetapi juga memperlemah seluruh fondasi kesehatan masyarakat. Termasuk dalam menghadapi krisis penyakit yang berkaitan erat dengan konsumsi rokok.

Bukan hanya itu. Program USAID Jalin, yang selama ini berfokus pada penurunan angka kematian ibu dan bayi baru lahir, ikut terkena dampak. Di Indonesia, perokok pasif, terutama ibu hamil dan bayi, berisiko lebih tinggi mengalami komplikasi, stunting, hingga kematian dini. Ini membuat agenda pengendalian tembakau bukan hanya soal dewasa perokok, melainkan tentang menyelamatkan generasi berikutnya melalui keselamatan dan kesehatan ibu dan bayi.

Lebih jauh lagi, Program Fulbright beasiswa studi lanjut juga terdampak. Ini berarti akses pendidikan tinggi, pelatihan, dan jejaring internasional bagi akademisi, peneliti, dan aktivis kesehatan Indonesia yang berfokus di bidang pengendalian tembakau menjadi semakin terbatas. Di tengah tantangan kesehatan yang terus berkembang, pemutusan hubungan ini jelas merugikan untuk upaya pengendalian tembakau di Indonesia dalam jangka panjang.

Namun di tengah badai ini, masih ada satu mercusuar yang tetap menyala yaitu Bloomberg Philanthropies. Di saat banyak pendonor memilih mundur, Bloomberg tetap konsisten mendukung pengendalian tembakau di Indonesia. Bahkan, mereka terus menyediakan hibah strategis untuk riset, advokasi kebijakan, edukasi publik, serta beasiswa untuk para pegiat kesehatan agar dapat mengikuti konferensi global seperti World Conference on Tobacco Control di Dublin tahun 2025. Beasiswa yang diberikan oleh Bloomberg mencakup biaya pendaftaran, akomodasi, transportasi, serta uang saku. Beasiswa ini bahkan diterima oleh berbagai kalangan peneliti, akademisi, dan campaigner di Indonesia di tengah badai efisiensi nasional dan global.

Kehadiran Bloomberg menjadi penegas bahwa komitmen terhadap kesehatan publik tidak boleh goyah hanya karena perubahan geopolitik atau kebijakan luar negeri suatu negara. Bloomberg menunjukkan bahwa pengendalian tembakau adalah investasi jangka panjang untuk kualitas hidup masyarakat dan daya saing bangsa.

Terdapat sejumlah pelajaran penting yang dapat dipetik dari fenomena ini. Pertama, komunitas pengendalian tembakau di Indonesia perlu menyadari urgensi membangun ketahanan pendanaan jangka panjang. Ketergantungan pada satu atau dua sumber hibah luar negeri terbukti rapuh dan rentan terhadap dinamika politik global. Momentum ini seharusnya menjadi pengingat bahwa dana dalam negeri, seperti Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT), harus benar-benar dialokasikan untuk program pengendalian tembakau yang substantif dan berdampak, bukan sekadar untuk belanja modal, infrastruktur di bidang kesehatan, tetapi juga kebutuhan yang bersifat intangible untuk menekan prevalensi perokok.

Kedua, perlu dilakukan optimalisasi jejaring antar-aktor: pemerintah, LSM, akademisi, dan media. Pendanaan yang masih optimal dari Bloomberg harus dimanfaatkan untuk memperkuat basis bukti dan membangun aliansi strategis lintas sektor sehingga berdampak lebih kuat untuk pengendalian tembakau di Indonesia. Edukasi publik dan desakan kebijakan berbasis data tetap menjadi kunci.

Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu mengambil peran lebih besar dalam menjamin keberlanjutan program kesehatan strategis, termasuk pengendalian tembakau, dengan anggaran yang mandiri dan berkelanjutan. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 telah menetapkan beberapa indikator pengendalian konsumsi rokok, khususnya penurunan prevalensi perokok anak, sebagai agenda prioritas. Komitmen ini harus diwujudkan melalui penguatan alokasi anggaran Pemerintah agar benar-benar difokuskan pada program promotif dan preventif kesehatan termasuk pengendalian prevalensi rokok, bukan pada kegiatan administratif dan investasi yang kurang relevan.

Intinya, kolaborasi lintas sektor—baik dari pihak Pemerintah, swasta, mitra pembangunan internasional, maupun masyarakat sipil—sangat dibutuhkan untuk memastikan keberlanjutan upaya pengendalian tembakau dan perlindungan kesehatan masyarakat secara luas. Komitmen masyarakat Indonesia juga diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih sehat, bebas dari paparan asap rokok, serta mendukung kebijakan yang berpihak pada generasi masa depan. Momentum ini adalah ujian, sekaligus peluang untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu menjaga kedaulatan kesehatan rakyatnya dengan atau tanpa bantuan dari luar.

 

 

Penulis: Risky Kusuma Hartono

Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI)

Bagikan:
Source: PKJS UI
Tags: opiniPKJS UIPusat Kajian Jaminan SosialPusat Kajian Jaminan Sosial Universitas IndonesiaRisky HartonoUniversitas IndonesiaWCTC 2025World Conference on Tobacco Control

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.