Jakarta, Prohealth.id – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta Suci Fitria Tanjung dalam wawancara khusus bersama Prohealth.id, mengupas tuntas krisis iklim yang bersinggungan dengan kerentanan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ada di Jakarta.
Menurutnya, bencana bukan semata akibat peristiwa alam. Melainkan merupakan pertemuan antara bahaya atau hazard dan kerentanan.
Berikut ini petikan wawancaranya.
Bagaimana dampak krisis iklim terhadap frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi di Jakarta?
Hidrometerologi itu menurut kami merupakan bahaya yang memicu terjadinya bencana. Tetapi bencana itu sendiri faktornya banyak. Jadi hidrometerologi sebagai sebuah hazard akan bertemu dengan kerentanan.
Kami melihat sejauh mana kerentanan wilayah, kerentanan sosial, kerentanan ekonomi itu menjadi faktor lain yang menimbulkan terjadinya bencana.
Bagaimana caranya melihat perubahan iklim kemudian berkontribusi terhadap bencana?
Perubahan iklim itu ‘kan dalam artian konteks hidrometerologinya berkontribusi terhadap bencana yang terjadi. Maka kami bisa sebut bahwa itu terjadi akibat kerentanan wilayah, kerentanan lingkungan, termasuk di dalamnya kerentanan masyarakat. Itu menjadi faktor kalau di dalam teori kebencanaan. Menjadi pemicu yang harus dilihat menjadi fokus utama.
Lantas, apa mitigasi awal yang bisa dilakukan?
Ya, bahwa hidrometerologi dalam konteks perubahan iklim, itu juga harus ada mitigasinya. Tetapi kerentanan masyarakat dalam aspek adaptasi iklim itu menjadi penting juga untuk menjadi fokus, menjadi hal utama yang perlu dilihat. Sejauh mana kemampuan warga untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim itu yang mempengaruhi faktor bencana.
Ada bahaya alam yang dipicu perubahan iklim seperti hujan, angin kencang, atau anomali cuaca. Kemudian ada sesuatu yang tidak biasa. Harusnya musim-musim tertentu itu musim panas tiba-tiba jadi hujan. Harusnya badai tidak hadir di negara-negara tropis terus tiba-tiba jadi badai tropis. Nah itu ‘kan salah satu yang perlu dilihat bagaimana masyarakat bisa menghadapinya?
Apa saja fokus mitigasi bencana di wilayah Jakarta?
Fokus dari situ misalnya dalam konteks Jakarta di Kepulauan Seribu. Kami melihat 25 persen konsentrasi warga miskin Jakarta. Bisa kita katakan ekonominya di bawah garis kemiskinan.
Nah, itulah kenapa ketika ada gelombang tinggi, kenaikan muka air laut. Kemudian anomali cuaca akibat perubahan iklim maka masyarakat di Kepulauan Seribu dengan tingkat kemiskinan yang besar akan bisa mengalami bencana.
Ujungnya dampaknya itu akan ada bencana ditambah lagi memang ada juga kerentanan lingkungannya. Terus kemudian kami melihat dari aspek tata ruang. Tata ruang di Jakarta itu sangat buruk pengelolaannya. Aspek lain misalnya di bagian utara Jakarta. Itu sudah empat meter di bawah permukaan air laut.
Jadi bencana hidrometeorologi punya banyak aspek kaitan?
Intinya itu, saya mau menegaskan bahwa bencana hidrometereologi itu harus dilihat sebagai sebuah yang terpisah. Hidrometereologi sebagai hazard. Pemicunya adalah perubahan iklim. Tetapi bencananya sendiri itu akibat dari bahaya yang bertemu dengan kerentanan. Itu teori dasar kebencanaan.
Jadi kalau mau lihat Jakarta hari ini ada hazard. Ada hidrometereologi yang dipicu perubahan iklim tadi. Tetapi perlu melihat apa kerentanan lingkungannya, apa kerentanan masyarakatnya, kerentanan ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Nah, itu menjadi bencana, menimbulkan banyak korban, dan menimbulkan kesengsaraan ekonomi.
Bagaimana Anda melihat kesiapan warga Jakarta terhadap bencana?
Warga sendiri tidak punya kemampuan adaptasi yang cukup untuk menghadapi berbagai bahaya yang ada. Itu kemudian menjadi bencana. Salah satu pemicunya tadi konteks hidrometerologinya.
Di utara Jakarta dan Kepulauan Seribu itu ‘kan kerentanannya sangat tinggi. Angka kemiskinannya tinggi. Kerentanan lingkungannya juga.
Kita bisa lihat permukaan tanahnya itu sudah 4 meter di bawah permukaan air laut dipicu penurunan muka tanah yang sangat-sangat tinggi akibat beban bangunan di atas tanah dan ekstraksi air tanah yang berlebih sampai hari ini.
Karena memang masyarakat di sana tidak punya alternatif. Masyarakat di Jakarta pada umumnya tidak punya alternatif sumber air. Karena cakupan pelayanan PAM Jaya sendiri itu ‘kan baru sekitar 40 sampai 50 persen. Sementara air muka tanah kita, sungai, waduk, dan lain sebagainya itu 75 persen sudah dalam keadaan tercemar sedang hingga berat. Jadi faktor pemicunya itu bukan hanya hidrometerologi tadi.
Apakah ada aspek positif atau optimisme yang selama ini sudah dilakukan dalam menangani masalah bencana?
Tetapi kami melihat ternyata ada aspek pengelolaan air, aspek pengelolaan lingkungan, tata ruang, dan sebagainya yang menjadi faktor pemicu kerentanan masyarakat. Ketika perubahan iklim terjadi, hidrometerologi terjadi, bertemulah dia menjadi yang kita sebut sebagai bencana hari ini.
Warga mengaitkan banjir dengan cuaca ekstrem. Sebenarnya berapa besar cuaca ekstrem atau krisis iklim itu berkontribusi pada banjir dan rob?
Kalau itu siklus alam maka secara alamiahnya seperti apa? Ketika BMKG mengatakan itu siklus, setiap bulan begitu. Memang ketika ada purnama maka ada gravitasi. Iya, siklusnya memang begitu.
Tetapi kami melihat lagi ketika rob itu datang karena tanah di Jakarta itu memang sudah turun seperti tadi saya katakan. Tidak salah ketika mau mengaitkan itu dengan siklus alam atau dengan fenomena alam.
Adakah faktor lain yang bisa saja menambah kerentanan bencana hidrometeorologi?
Jangan lupa bahwa ternyata yang membuat banjir itu faktornya bukan hanya hidrometeorologinya. Atau bukan hanya perubahan iklimnya saja.
Tetapi ternyata bendungan yang dibangun pemerintah atau yang kita lihat sea wall hari ini ternyata tidak cukup bisa menampung. Perlu ada up scaling lagi. Artinya ya itu ‘kan akan masuk ke konstruksi-konstruksi. Karena itu solusi teknis yang memang ditawarkan oleh pemerintah.
Nah, kami justru memperhatikan aspek tata ruangnya. Kami pernah berdiskusi ya dengan salah satu ilmuwan dari ITB. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya di utara Jakarta itu dengan penurunan muka tanah harusnya tidak boleh ada bangunan tinggi.
Tetapi ‘kan sekarang pemerintah justru memberikan banyak izin atau persetujuan mendirikan bangunan justru di area-area yang rentan.
Itu sudah eksis hari ini maka ya tidak heran rob itu terjadi dan sayangnya frekuensinya semakin sering, intensitasnya semakin sering.
Apakah artinya, ada kondisi yang membuat wilayah Jakarta Utara sebenarnya tidak cocok untuk penataan dan pengembangan tertentu?
Intensitas dan frekuensinya [bencana] semakin sering, sehingga kita bisa bertanya sebenarnya apa bencana yang terjadi di utara Jakarta itu murni akibat siklus bulanan, siklus purnama tadi, gravitasi bulan, atau memang justru ada faktor pemicu yang lain?
Kalau dari analisis kami mengatakan bahwa itu bukan cuma urusan gravitasi bulan. Tetapi ada faktor lingkungan atau faktor tata ruang yang justru memperbesar kemungkinan untuk terjadinya bencana.
Begitu bahayanya datang, kita ternyata tidak siap. Tata ruangnya bermasalah, lingkungannya bermasalah. Kemudian akhirnya yang terdampak adalah masyarakat yang tidak punya kemampuan yang cukup begitu termasuk dalam konteks ekonomi.
Jadi, bisa dibilang bukan hanya dampak rob?
Kalau melihat bencana di utara Jakarta, okelah kita bisa bilang semua orang hari ini terdampak rob. Tetapi ketika masyarakat miskin berhadapan dengan rob maka situasinya akan jadi berbeda tentu saja. Jadi tidak bisa dipukul rata akibat gravitasi bulan. Oh, ini karena siklus.
Oke, kita bisa bersepakat dengan itu secara ilmiah. Tetapi kami melihat lagi sejauh mana kerentanan yang ada di masyarakat. Termasuk aspek kebijakan tata ruangnya, penegakan hukum, pengawasan, dan lain sebagainya itu menjadi juga faktor yang harus dilihat.
Berarti problem seperti tata ruang dan lain-lain makin memperburuk hazard atau bencana kaya banjir di Jakarta?
Betul. Kami memberikan solusi kepada pemerintah tidak hanya bicara konteks bencana hanya dari faktor alamnya saja. Tetapi melihat aspek sosial, politik, maupun ekonomi. Ketika aspek ini tidak bisa menopang warga maka tidak heran bencana terjadi.
Karena ternyata kita sendiri tidak siap untuk menghadapi bahaya yang terus datang. Apalagi kalau ada perubahan iklim ini ‘kan berarti bahayanya akan semakin besar.
Apa anjuran bagi masyarakat yang saat ini tinggal di wilayah rentan?
Jadi dorongan kami sebenarnya untuk menghadapi perubahan iklim tidak hanya pemerintah menanam pohon untuk mengurangi atau menyerap karbon supaya laju perubahan iklimnya bisa melambat.
Tetapi mari bersama-sama kita meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berhadapan dengan perubahan iklim. Itulah yang disebut sebagai meningkatkan kemampuan adaptasi dari masyarakat untuk bisa berhadapan dengan perubahan iklim.
Nah, itu semua harus ditunjang oleh aspek politik, kebijakan, yang itu keluar dari pemerintah. Termasuk tata tata ruang Jakarta yang hari ini kami lihat sangat semrawut.
Di Jakarta itu ‘kan ada titik-titik daerah langganan banjir atau rob. Warga di daerah itu ‘kan sering langganan banjir dan tidak punya pilihan tempat tinggal selain hidup dengan banjir. Kira-kira apa yang bisa diimplementasikan?
Kami mau menjawab dulu begini. Pemerintah itu biasanya solusinya adalah relokasi. Warga digusur, dipindahkan ke rusun. Kami tentu saja menolak solusi semacam itu.
Tadi kami sudah mengatakan harus ada peningkatan kemampuan adaptasi dari warga sendiri. Baik itu disabilitas, perempuan, lansia, dan kelompok rentan lainnya.
Kemampuan beradaptasi ini bisa dimulai kalau warga bersahabat dulu dengan risiko, bersahabat dulu dengan bencana. Karena ‘kan situasinya di tempat mereka tinggal itu situasi sudah ada. Kalaupun mau relokasi itu sifatnya sukarela yang harus difasilitasi pemerintah.
Ketika warga tidak mau pindah maka harus dibangun kemampuan adaptasinya. Salah satunya dengan menyiapkan hunian-hunian yang adaptif.
Ya, Jakarta itu kita sudah tahu secara natural itu kota air. Sungainya banyak, daerah aliran sungainya juga besar. Kemudian rawa-rawanya juga kita tahu. Secara penamaan wilayah-wilayah di Jakarta itu ‘kan banyak rawanya.
Artinya masyarakat sebenarnya sudah mendokumentasikan bagaimana sebenarnya karakteristik hidup di Jakarta. Yaitu harus bersahabat dengan air sehingga harus disediakan atau ditopang hunian-hunian yang sesuai kondisi wilayahnya, kondisi kerentanannya, atau hazard tadi, bahayanya tadi. Jadi bisa dimulai dengan misalnya membangun rumah-rumah panggung untuk setidaknya mengurangi risiko. Dibuatkan rumah panggung.
Kemudian bagaimana ketika banjir terjadi? Apa yang harus dilakukan secara teknis?
Kita persiapkan masyarakat untuk paling tidak punya semacam persediaan atau tas darurat. Kemudian mendukung kelompok disabilitas agar kualitas hidupnya baik di tengah ancaman yang ada. Jadi saya pikir ini salah satu cara meningkatkan kemampuan kapasitas adaptasi masyarakat untuk bisa berhadapan dengan bencana.
Saat ini kami melihat pemerintah dalam konteks banjir, baik itu banjir sungai maupun banjir dari laut, sistem peringatan dininya bisa kami katakan sangat mutakhir.
Pemantauan banjir di Sungai Ciliwung misalnya, kalau Katulampa itu sudah naik, semua sudah siap siaga memberikan sistem peringatan dini. Begitu juga dengan rob.
BMKG itu sangat aktif memberikan sistem peringatan dini. Nah kami merasa sistem peringatan dini itu tidak mampu diterjemahkan dalam konteks operasional.
Sistem peringatan dini ini ‘kan selalu melibatkan teknologi ya?
Teknologi itu hanya bisa diterjemahkan oleh para ahli, katakanlah BMKG, dalam konteks mereka punya keahlian untuk bisa menerjemahkan teknologi.
Ketika itu sudah urgen disampaikanlah kepada warga bahwa tanggal sekian akan ada banjir rob. Tetapi dalam tingkat operasional, urgensi terhadap bahayanya, itu tidak bisa ditangkap oleh masyarakat. Ditambah lagi upaya yang dilakukan oleh pemerintah itu tidak tanggap terhadap sistem peringatan dini.
Ketika pemerintah, ketika BMKG sudah mengeluarkan sistem peringatan dini, apa yang kemudian dilakukan supaya warga siap?
Dalam konteks kesiapsiagaan pemerintah menopang, mendukung, warga untuk bisa berhadapan dengan banjir rob.
Warga dibiarkan sendiri. Banjir datang, datang saja begitu. Rumah kebanjiran, barang-barang harus kena air laut, dan lain sebagainya itu dihadapi sendiri.
Nah, pemerintah hadirnya di mana?
Hadirnya justru pada konteks humanitarian. Boleh saja itu diambil oleh pemerintah. Tetapi harusnya tidak cuma di situ.
Pemerintah harus mempersiapkan konteks kesiapsiagaan. Menerjemahkan sistem peringatan dini tadi sebagai sebuah informasi yang urgen dan ditangkap urgensitasnya. Nah ini ‘kan tidak ada.
Apakah pemerintah artinya hanya sekadar memberikan informasi. Lalu apa hal lain yang dilakukan?
Tidak ada sesuatu yang dipersiapkan. Akhirnya dampaknya menjadi sangat luar biasa. Sementara dalam konteks bencana harusnya yang dilakukan itu ‘kan pencegahan.
Katakanlah dalam waktu yang cepat belum bisa nih menyiapkan hunian yang adaptif. Kemudian infrastrukturnya masih bermasalah. Yang bisa cepat dilakukan ‘kan adalah menyiapkan warga menghadapi banjir. Dalam tingkat operasional itu tidak terjadi.
Jadi masyarakat dibiarkan sendiri untuk berhadapan dengan rob. Akhirnya dampaknya menjadi meluas dan berdampaknya jauh lebih panjang.
Ekonominya terkendala, warga juga jadi tidak bisa kerja. Akhirnya yang ditanggung oleh pemerintah sementara. Kemampuan pemerintah untuk memulihkan itu juga tidak cukup baik.
Kalau warga tidak bisa bekerja maka ini bisa menimbulkan risiko kemiskinan yang dalam. Itu yang dalam pengamatan kami. Tetapi pemerintah koq tidak bisa sampai menyentuh ranah itu.
Berarti ini perlunya integrasi kebijakan sementara kelompok rentannya itu ‘kan sering diabaikan dan tidak diajak terlibat dalam penyusunan kebijakan. Bagaimana mendekatkan solusi mitigasinya?
Sebenarnya itu mandatnya di undang-undang penataan ruang. Salah satu aspek yang harus dilihat itu ‘kan bagaimana kerentanan bencana di sebuah wilayah.
Harusnya setiap izin yang mau diberikan itu bukan hanya melihat secara lokasi cocok atau tidak? Apa itu ruang terbuka hijau atau tidak?
Bukan hanya sebatas itu. Tetapi juga perencanaan terhadap bencana itu harus diukur. Nah di Jakarta, saya tidak melihat itu terimplementasikan dengan baik. Izin-izin, katakanlah persetujuan untuk mendirikan bangunan dan sebagainya itu tidak melihat aspek itu.
Karena di Jakarta itu ‘kan secara alamiah sudah terbentuk geologinya. Susunan geologinya itu ‘kan tanah aluvial. Jadi naturalnya saja pasti akan ada penurunan. Tidak usah diapa-apain saja sudah punya kerentanan yang tinggi.
Tetapi itu ‘kan bukan sebuah aspek yang dilihat kalau kita mau merujuk pada kerentanan tadi. Yaitu sudah disebutkan dalam kajian lingkungan hidup strategis di Jakarta.
Lantas kenapa kok bangunan mall-mall besar itu bisa diberikan izin untuk berdiri di utara Jakarta?
Itu aneh buat kita kalau kita mau betul-betul ketat ada perlindungan buat masyarakat, mau ketat menyadari lingkungan hidup di Jakarta. Baik dalam aspek geologi maupun tata ruangnya itu harusnya tidak terjadi.
Akhirnya kami melihat ini ada intrik yang dilakukan. Kami katakan hari ini Jakarta masih sebagai ibukota. Pembangunan itu ‘kan kaya menjadi sesuatu hal yang dianggap harus tinggi. Karena ibukota atau sebagai Kota Metropolitan, Megapolitan, dia harus direpresentasikan lewat pembangunan yang begitu masif.
Kami sering juga menawarkan kepada Pemerintah termasuk Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kami bilang bahwa solusi yang sifatnya konsep harus dimulai dari menurunkan dulu laju pembangunan di Jakarta.
Ini sudah sangat cepat. Saking cepatnya sampai meminggirkan hal-hal penting. Kualitas hidup masyarakatnya, aspek kerentanannya, dan lain sebagainya yang itu harusnya bisa menopang kehidupan kita sebagai manusia di Jakarta.
Laju pembangunan ini harus direfleksikan lagi, dievaluasi lagi. Hitung valuasi eksternalitas negatif yang harus dikeluarkan nanti ketika terjadi bencana. Itu ‘kan jauh lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh dari pembangunan.
Pemerintah ‘kan kasih izin membangun. Ya itu yang dipikirkan hanya untungnya sajakah? Apakah artinya, aspek rugi ini tidak pernah terbayangkan?
Ketika ada bencana maka Pemerintah itu mengeluarkan APBD dan APBN itu akan jauh lebih besar ketimbang apa yang didapatkan dan jangka panjang pula. Karena memulihkan kehidupan orang pasca bencana itu sangat tidak mudah. Di manapun terjadi hal-hal seperti itu.
Kadi kalau kita tidak punya persiapan hari ini untuk melakukan pencegahan maka saya pikir Jakarta ini akan menjadi lebih buruk di kemudian hari. Apalagi ditambah ketika ada bencana dan perubahan iklim ya? Itu tidak lagi mengherankan.
Apa ada model perkotaan yang berhasil mengurangi atau mengatasi dampak bencana melalui kebijakan lingkungan yang efektif?
Perlu lihat karakteristik masing-masing. Jadi tidak ada teori baku untuk melihat tata kelola perkotaan yang bisa adaptif dengan bencana atau misalnya melakukan pencegahan terhadap bencana.
Di dunia ini yang banyak adalah konteks pemulihan. Setelah bencana terjadi ada pemulihan lalu perbaikan sistem. Seperti di Tiongkok dan Pakistan.
Pakistan sama kaya di Jakarta polanya. Ada sistem peringatan dini. Tetapi kemudian urgensi dari bahayanya tidak tertangkap oleh pemerintah dan oleh masyarakat. Akhirnya korbannya menjadi sangat tinggi. Ketika itu dijadikan pembelajaran yang baik maka pemulihannya dilakukan sehingga ada perubahan kebijakan.
Ketika bencana terjadi lagi itu ukuran yang paling penting adalah reduksi korban. Ternyata korbannya bisa nol. Sebelumnya korbannya ribuan dan kerugian ekonominya sangat tinggi.
Tetapi pembelajaran yang didapat dari proses bencana itu menghasilkan perubahan kebijakan. Semua diintegrasikan dengan baik. Korbannya bisa nol. Walaupun kerugian ekonominya tentu saja tidak bisa nol.
Ada beberapa yang bisa ditopang. Kerugian ekonomi tetap terjadi. Tetapi paling tidak bisa lebih direduksi begitu dibandingkan bencana yang terjadi sebelumnya.
Nah, bencana di Jakarta ini sudah di depan mata. Data-data sudah membuktikan itu semua. Sayangnya, kultur pemerintahan kita itu tidak belajar dari itu. Selalu yang digaungkan itu harus pembangunan infrastruktur yang masif.
Kemudian harus mendatangkan pendapatan daerah yang tinggi dan sebagainya. Akhirnya mengesampingkan banyak persoalan yang terjadi dan masyarakat menjadi korbannya.
Ambil contoh dari Pakistan, apa yang bisa masyarakat Jakarta bisa pelajari lebih dalam?
Kalau mau belajar dari Pakistan, kita paling tidak bisa melihat bagaimana peta bencana di Jakarta. Peta bencana di Jakarta kemudian juga kajian lingkungan hidup strategis yang sudah keluar.
Pemerintah dalam membuat rencana tata ruang itu ‘kan acuannya harus kajian lingkungan hidup strategis. Tetapi kadang-kadang kajian lingkungan hidup dengan kebijakannya itu jauh berbeda. Jadi akademisinya ngomong-nya harus begini yang diimplementasikan karena lewat prosedur politiknya kemudian output-nya menjadi berbeda.
Kita coba dulu untuk mengambil pembelajaran bahwa kita punya karakteristik khusus. Karakteristik khusus itu harus diimplementasikan. Harus tergambar dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Saya pikir kita tidak bisa juga mencontoh Pakistan tadi. Karena Pakistan itu harus ada dulu bencananya baru kemudian itu menjadi pembelajaran.
Kita tidak mau dulu harus kehilangan ribuan orang dulu baru kemudian mengambil pembelajaran dan mengintegrasikan ke dalam kebijakan.
Kalau di Jakarta mungkin ya syukur-syukur itu bisa jadi pembelajaran. Kalau itu hanya dilewati begitu saja itu akan lebih parah mungkin di kemudian hari.
Kita juga bukan tidak mengalami bencana. Kaya banjir itu pasti akan siklusnya akan begitu terus dan tidak ada juga yang bisa dilakukan hari ini sebagai sebuah terobosan untuk bisa membangkitkankemampuan warga beradaptasi ataupun untuk melakukan pencegahan.
Begitu juga di Tiongkok. Ada dulu bencananya. Tetapi kita bukan tidak bisa mengambil pembelajaran. Tidak usah menunggu dulu bencananya kemudian baru berpikir perlu ada perbaikan.
Dari dasar kajian akademik itu sebenarnya kita bisa melakukan perbaikan. Termasuk pengintegrasian kebijakan dari seluruh aspek.
Bencana sering menimpa warga akibat negara atau pemerintah tidak siap atau mungkin abai. Apa bisa dituntut atas sikap abainya itu?
Kami sebenarnya punya pengalaman kaya di Sumatera Selatan. Pernah ada gugatan untuk banjir di Kota Palembang. Kemudian bencana asap di Kalimantan Tengah akibat kebakaran hutan dan lahan itu juga digugat.
Waktu itu warga menggugat. Akhirnya pemerintah dianggap melakukan tindakan melawan hukum dan diminta membangun rumah sakit khusus paru untuk di Kalimantan Tengah. Implementasinya tidak berjalan mulus sampai hari ini. Kebakaran masih sering terjadi. Banjir juga sering.
Kami justru mendorong semacam kebijakan forensik dalam setiap gugatan. Jadi kebijakan yang dikeluarkan harus ada penelusuran yang mengaitkan dengan bencana.
Sifatnya forensik ya? Menggali sedetail mungkin apa sih penyebab dari bencana itu?
Saya belum juga mengkaji secara dalam apa itu memungkinkan digunakan untuk bisa menyatakan pemerintah betul-betul bersalah atau tidak. Intinya kita mau secara mendalam itu bukan hanya pemerintah dianggap melawan hukum lalu lewat putusan pengadilan itu bersalah tanpa diberikan kewajiban atau dimandatkan.
Oke itu bersalah dan harus ada kewajiban dalam konteks kebijakan. Itu ‘kan biasanya ada di mekanisme gugatan warga ya?
Sampai hari ini setahu saya itu belum ada yang menyatakan bahwa pemerintah bersalah dan kemudian siapa yang bisa dipidana.
Hasil kajian saya dengan beberapa profesor sepertinya itu bisa dimasukkan ke dalam mekanisme hukum pidana lingkungan agar kebijakan forensik mengaitkan antara bencana dengan kebijakan itu harus betul-betul ditunjuk siapa yang bertanggung jawab terhadap keluarnya kebijakan.
Bisa dipidana supaya ada daya ikat, daya tagih. Ketika pemerintah tidak melakukan maka dianggap bersalah dan harus mendapatkan sanksi.
Sementara kaya polusi udara di Jakarta itu pemerintah, dari mulai pemerintah daerah sampai pemerintah pusat, sudah dinyatakan bersalah pengadilan. Tetapi sama sekali tidak ada daya ikat.
Jadi pemerintah mau melakukan atau tidak melakukan, apa yang diputuskan oleh pemerintah tidak ada sanksi atau tidak ada yang mengikat pemerintah untuk harus melakukan itu.
Paling hanya jadi catatan-catatan buruk saja dalam sejarah pemerintahan tertentu di Jakarta. Hanya sebatas itu. Tidak ada sanksi yang tegas.
Tetapi itu memang masih membutuhkan kajian mendalam dan kontribusi kepakaran hukum untuk berbicara soal itu.
Pewawancara: Ignatius Dwiana
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post