Jakarta, Prohealth.id – Dalam kerja pengendalian tembakau, Kementerian Kesehatan berencana mengatur standardisasi kemasan rokok.
Sayangnya, berbagai pihak malah mengklaim rencana ini sebagai meningkatkan peredaran rokok ilegal. Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) merespon klaim-klaim tersebut sebagai penghalang untuk pengendalian konsumsi rokok.
Manik Marganamahendra selaku Ketua IYCTC menyebut daya tarik produk tembakau selama ini menarik minat karena kemasan yang unik. Manik bilang, standaridisasi kemasan polos bertujuan untuk menghapus elemen desain seperti warna, citra merek, dan logo. Jika rencana ini berhasil, kemasan rokok polos dan seragam dengan tambahan peringatan kesehatan yang lebih mencolok.
“Kalau kita bicara data negara maju seperti Australia, Prancis, dan Inggris sudah lebih dulu menerapkan kebijakan ini. Tidak ada bukti peningkatan rokok ilegal akibat kemasan polo,” katanya, Minggu (13/7/2025).
Manik mengklaim pernyataan bahwa standarisasi akan memicu rokok ilegal tidak terbukti benar. Pasalnya di negara lain sudah melihat itu jadi barang efektif mencegah orang untuk tidak merokok.
Manik mengutip dalam sebuah studi di Inggris dari kebijakan yang sudah berjalan, sejumlah orang mengakui penawaran rokok ilegal justru menurun.
“Di Australia, peredaran rokok ilegal tetap terkendali bahkan menurun beberapa pekan pasca kebijakan berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas kebijakan adalah karena sistem pelaksanaannya. Bukan bentuk kemasannya,” ungkapnya.
IYCTC sebagai organisasi anak muda mengakui kelompok anak muda rentan sebagai target industri rokok. Karena itu, penting bagi semua anak muda mendapatkan informasi jernih dan berbasis bukti. Bukan hanya kepentingan industri.
Seperti yang baru-baru ini dalam sebuah akun Youtube berdurasi sepuluh menit oleh tokoh publik muda. Dengan subscriber menyentuh 1,63 juta sebaran informasi kekhawatiran rencana standarisasi kemasan akan membawa peredaran rokok ilegal. Untuk itu, ia mengapresiasi komitmen untuk tidak lagi merokok di depan kamera. Itu bentuk tanggung jawab yang patut mendapat penghargaan.
“Apalagi audiensnya banyak dari kalangan muda. Tapi kami merasa penting untuk meluruskan informasi yang bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat,” lanjut Manik.
Dalam Center for Indonesias Strategic Development Initiatives (CISDI), menunjukan rokok ilegal paling tinggi di kota seperti Surabaya (20,6), dan Makassar (21,4). Ini adalah wilayah yang secara geografis dekat dengan pelabuhan besar dan pusat produksi tembakau. Angka di kota lain tidak sebesar dua kota tersebut. Sebab menurut Malik kota lain hanya jadi wilayah produksi, tidak menjadi jalur distribusi utama.
Kata Manik, IYCTC menyoroti lemahnya pengawasan terhadap produsen mikro dan kecil. Terutama karena tidak adanya kepemilikan mesin pelinting.
“Survei CISDI menemukan bahwa rokok ilegal sudah mencetak peringatan kesehatan yang menyerupai rokok legal,” lanjutnya.
Hal ini menunjukkan bahwa sudah ada skala produksi yang besar dan permasalahan pada rantai pasok. Kondisi ini harus segera mendapat solusi dengan tegas.
Sedangkan, Ni Made Shellasih Program Manager IYCTC menyatakan ini adalah cara lama untuk mengganggu strategi pengendalian tembakau. Khususnya menjadi kampanye yang sering dijadikan cara untuk menolak regulasi.
Shella menyatakan, pertama, soal ekonomi di industri rokok sering menjadi tameng agar menghambat regulasi bertujuan pengurangan rokok. Hal kedua, soal seperti lapangan kerja dan perputaran ekonomi di sektor tembakau selalu ke depan.
“Padahal kita harus melihat lebih jernih. Khususnya kontribusi ekonomi industri ini tidak sebanding dengan beban sosial dan biaya kesehatan yang ada. Sehingga harus ditanggung negara,” katanya.
Shella membeberkan data BPJS Kesehatan dengan beban pembiayaan untuk penyakit akibat rokok terus mencatat naik setiap tahun. Kondisi ini menjadi salah satu beban terbesar bagi sistem kesehatan nasional.
Shella mengutip riset CISDI (2021) bahwa konsumsi rokok membebani sistem kesehatan dengan biaya yang menyentuh Rp17,8 triliun, hingga Rp27,7 triliun pada tahun 2019. Jumah ini angka yang menyentuh deficit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebesar 92 persen pada tahun tersebut.
Baik Shella, Manik dan IYCTC mengajak media, publik, dan pemangku kebijakan tidak terjebak pada narasi industri yang menyalahkan kebijakan. Menyalahkan kebijakan menurut IYCTC tidak menyentuh akar masalah sebenarnya.
Fokus seharusnya ada pada penguatan pengawasan, penindakan terhadap produsen illegal. Selain itu juga penerapan sistem pelacakan atau track and trace yang menyeluruh untuk menutup celah distribusi rokok gelap.
Shella menyatakan, IYCTC mendorong agar kebijakan standardisasi kemasan tetap berjalan serius. Karena dampaknya bukan cuma soal kesehatan masyarakat, tapi juga menyangkut keberlanjutan sistem jaminan sosial negara.
“Pemerintah daerah juga harus memaksimalkan dana bagi hasil cukai (DBH-CHT). Utamanya untuk pengawasan dan edukasi agar kebijakan ini tidak berhenti di atas kertas,” tutup Shella.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post