Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis
No Result
View All Result
Prohealth
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

KESEHATAN MENTAL: Anak Muda dan Pendekatan Psikospiritual

Menyelami krisis mental orang muda dengan pendekatan psikospiritual.

by Ignatius Dwiana
Sunday, 13 July 2025
A A
KESEHATAN MENTAL: Anak Muda dan Pendekatan Psikospiritual

Ilustrasi krisis mental (Sumber foto: Pexels/Rhaisa Pezzi)

Masalah kesehatan mental di kalangan orang muda menjadi isu yang semakin mendesak. Dalam kunjungan ke sekolah menengah di salah satu wilayah Sulawesi, Frater Blasius Perang CMM mendapati 75 persen siswa pernah berpikir untuk bunuh diri. Bahkan, beberapa kasus nyata terjadi di sekolah tersebut.

“Keadaan ini menunjukkan persoalan yang sangat serius,” ucapnya dengan penuh keprihatinan dalam diskusi ‘Mental Health Kaum Muda’, secara daring pada Juni 2025.

BacaJuga

Perempuan dalam Jebakan Rokok Elektrik

Awali Self Love, Sadar Kesehatan Saat Red Days

Dia pun menyoroti lonjakan gangguan jiwa di kalangan orang muda dan sejumlah faktor yang mampu memicunya. Beban akademik, gaya hidup tidak sehat, hingga pola asuh orang tua kurang adaptif terhadap zaman berkontribusi.

Peristiwa ‘alone together’ atau “bersama dalam kesendirian” kerap menghinggapi keluarga masa kini. Secara fisik mereka bersama tetapi secara emosional atau mental terpisah. Hal ini akibat perhatian teralihkan oleh teknologi digital seperti ponsel atau tablet.

Kemudian fenomena takut merasa tertinggal atau Fear of Missing Out (FOMO) dan ketakutan berlebihan terhadap penilaian orang lain. Ada juga Fear of People’s Opinion (FOPO) pun menyumbang tingkat kecemasan yang tinggi.

 

Menyelami Keberadaan Manusia

Kelompok biarawan ini menyinggung tantangan kesehatan mental secara holistik. Biarawan yang akrab disapa Frater Blazz menilai hal ini penting dibahas dalam kacamata sebagai orang Katolik, maupun masyarakat umum.

Ia menjelaskan, kalau kembali ke dasar Biblis, dasar Kitab Suci, manusia  adalah ‘Imago Dei’, sebagai citra Allah. Selain itu sebagai makhluk, di dalam eksistensi manusia itu ada tubuh, pikiran, dan jiwa. Ketiganya itu saling terkait satu sama lain.

“Jadi ketika berbicara tentang kesehatan mental itu bukan hanya jasmani. Melainkan juga mental spiritual yang berpengaruh pada kesehatan fisik,” imbuh Frater.

Setidaknya ada enam faktor sederhana yang sangat berdampak untuk menjaga kesehatan mental. Mereka adalah; keluarga, sahabat, istirahat, olahraga, makanan, dan sukacita.

Keluarga merupakan tempat utama sebab menjadi sistem yang menopang seseorang lalu sahabat. Selain itu istirahat sebagai penyeimbang. Butuh olah raga selama setengah jam dan konsumsi makanan yang sehat. Sukacita sangat penting karena tanpanya kehidupan akan terasa getir.

Periode krusial dalam membentuk jati diri dan kepribadian manusia terjadi ketika remaja. Psikolog Erik Erikson dalam teorinya menyebut ini sebagai fase kebingungan identitas.

Masa transisi dari anak-anak ke dewasa ini paling rentan. Adanya tekanan sosial, tuntutan keluarga, dan ekspektasi akademis menghimpit. Saking sibuknya mereka mengisi kognisi jadinya tidak punya sahabat. Larinya pun ke media sosial yang belum tentu aman dan nyaman.

 

Orang Muda dan Kesehatan Mental

Hasil survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) yang rilis pada Oktober 2022 mengungkapkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia berusia 10 – 17 tahun mengalami masalah kesehatan mental. Lalu satu dari dua puluh remaja mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan sekitar 15,5 juta remaja yang mengalami masalah, dan 2,45 juta yang terdiagnosis gangguan mental, sesuai kriteria DSM-5.

Gangguan mental paling umum adalah gangguan kecemasan 3,7 persen. Lalu gangguan depresi mayor 1,0 persen. Selanjutnya, gangguan perilaku 0,9 persen, gangguan stres pascatrauma (PTSD), serta gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing 0,5 persen. Kondisi ini menunjukkan krisis kesehatan mental remaja yang terjadi di Indonesia.

Gangguan mood terutama pada usia 15 – 24 tahun tercatat paling tinggi menurut data Kementerian Kesehatan pada 2023. Namun hanya 10,4 persen mencari pertolongan profesional. Rendahnya angka ini menambah daftar panjang urgensi untuk edukasi dan intervensi dini.

Sementara data pada Desember 2024 menyebutkan Gen Z mengalami gangguan mood. Gejalanya; gangguan tidur, impulsivitas, kecemasan, trauma, PTSD, dan gangguan obsesif kompulsif (OCD).

Jika risiko dari gangguan mental yang tidak tertangani dengan baik dapat mengakibatkan gangguan sosial, emosional. Bahkan bisa penyalahgunaan zat, hingga tindakan bunuh diri

Kesehatan mental tak lepas dari dampak tekanan global. Milenial dan Gen Z mengkhawatirkan masalah ketidakstabilan ekonomi, ketidakpastian ekonomi, ketidakadilan sosial, perubahan iklim, tekanan pekerjaan, dan kesulitan mencari kerja pasca pandemi.

Masalah finansial menjadi faktor tertinggi yang mempengaruhi kesehatan mental. Ada juga faktor hubungan sosial dan trauma masa lalu. Kemudian kurang tidur, kesehatan fisik, dan beban kerja atau studi. Penggunaan media sosial dan kondisi biologis atau genetika tercatat berkontribusi atas kesehatan mental. Meskipun tidak sebesar tekanan ekonomi dan relasi sosial.

Ada sejumlah tanda umum gangguan mental pada orang muda. Seperti perubahan emosi drastis, menarik diri dari lingkungan sosial. Bahkan ada juga; penurunan prestasi akademik, perilaku impulsif, gangguan tidur dan makan, serta pikiran menyakiti diri.

Kategori utama gangguan mental meliputi gangguan perilaku, emosi, hingga depresi. Impulsivitas, kecanduan teknologi, insomnia, gangguan perilaku konduktif, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Selain itu ada gangguan perilaku menentang dan membangkang (ODD) merupakan gangguan perilaku. Gangguan emosi mencakup kecemasan sosial, serangan panik, fobia, dan gangguan kecemasan umum. Sedangkan kehilangan motivasi, menarik diri, hingga pikiran untuk bunuh diri termasuk dalam depresi.

Di balik upaya saat ini, masih ada tantangan besar yang menghambat penanganan kesehatan mental secara menyeluruh. Seperti stigma sosial, penambahan kasus, akses layanan dan tenaga kesehatan yang terbatas, juga minimnya dukungan pemerintah.

“Contohnya di Makassar. Hanya ada satu rumah sakit yang menangani kasus kesehatan mental. Itu pun kerap melebihi kapasitas dengan keterbatasan tenaga,” tutur Pengajar Universitas Atma Jaya Makassar ini.

 

Harapan Indah Melalui Psikospiritualitas

Penanganan kesehatan mental belum sepenuhnya bebas dari kendala. Namun harapan dan momentum perbaikan terus berjalan. Paparan informasi yang kuat bisa menumbuhkan kesadaran tersebut sehingga warga semakin banyak yang berani terbuka dan mencari bantuan.

Edukasi publik dan perluasan akses layanan dengan melibatkan pemerintah, sekolah, maupun komunitas. Pemerintah perlu memperkuat penanganan kesehatan mental baik dalam program dan anggaran. Lalu kampanye anti stigma, pelatihan manajemen stres, hingga pembangunan lingkungan yang aman dan nyaman.

Sedangkan di ranah iman dan komunitas penting untuk menjadikan Gereja bukan sekadar tempat ibadah. Tetapi menciptakan Gereja sebagai pusat psikospiritual. Orang muda bisa curhat, bersuka cita, dan mendapat pendampingan di sana.

“Ini sangat Biblis. Karena semua manusia apa pun kondisi kesehatannya diciptakan menurut Rupa Allah,” tuturnya.

Hal ini butuh pembangunan jejaring dan melibatkan tenaga kesehatan dalam reksa pastoral. Misalnya, Gereja membentuk tim sahabat sebaya.

Pendekatan dengan istilah ‘psikospiritual’, ini menggabungkan pendekatan psikologi dan spiritualitas. Langkah inovatif yang dinilai dapat membantu memperkuat ketahanan mental.

Biarawan dari Kongregasi Bunda Maria Ratu Belas Kasih ini menjelaskan, bahwa psikologi dan spiritualitas menjadi sesuatu yang indah untuk memberikan makna terdalam dalam hidup ini. Maka batin itu perlu ada penguatan dan mengurangi isolasi. Artinya, mengurangi keterasingan diri sendiri dengan orang lain dan diri sendiri.

“Kemudian membangun hubungan baik diri saya dengan Tuhan, saya dengan orang lain, dan saya dengan ekologi,” pungkasnya.

 

 

Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi

Bagikan:
Source: kesehatan mental
Tags: bulan kesehatan mentalgangguan psikologiskesehatan mentalmental healthpsikologipsikospiritual

Discussion about this post

https://www.youtube.com/watch?v=ZF-vfVos47A
  • Tentang Kami
  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.

No Result
View All Result
  • Kesehatan
  • Ekonomi
  • Perempuan dan Anak
  • Profil
  • Regulasi
  • Lingkungan
  • Cek Fakta
  • Opini
  • Infografis

© 2024 Prohealth.id | Sajian Informasi yang Bergizi dan Peduli.