Jakarta, Prohealth.id – Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia. Terdata sebanyak 15.130 kasus baru, dengan angka kematian 9.673 setiap tahunnya.
Gejalabya tidak spesifik seperti; kembung atau nyeri perut ringan. Gejala ini sering diabaikan, menyebabkan kanker ovarium baru terdeteksi di stadium lanjut. Alhasil, terapi sudah lebih sulit dan peluang sembuh menurun.
Sebagai perusahaan biofarmasi global, AstraZeneca memiliki ambisi untuk mengeliminasi kanker sebagai penyebab utama kematian. Caranya dengan turut aktif mendorong peningkatan kesadaran dan akses terhadap terapi kanker, termasuk kanker ovarium.
Dalam sesi edukasi bertajuk “Kanker Ovarium: Bahaya Tersembunyi yang Harus Diwaspadai” acara ini bertujuan meningkatkan kesadaran terhadap bahaya kanker ovarium. Selain itu juga menekankan pentingnya pemeriksaan dan penanganan yang tepat sebagai upaya mendukung kualitas hidup yang lebih baik. Khususnya bagi perempuan dan pasien kanker ovarium di Indonesia.
Kesadaran ini penting mengingat Data Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2022 menunjukkan bahwa kanker ovarium menempati peringkat ketiga sebagai kanker terbanyak pada perempuan di Indonesia.
Kanker ovarium epitelial menjadi jenis kanker ovarium paling umum terjadi yang berkembang pada jaringan epitel. Ini adalah lapisan tipis yang menutupi bagian luar ovarium.
Menurut dr. Muhammad Yusuf, Sp.OG (K) Onk, Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi, Konsultan Onkologi, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan jumlah kasus kanker ovarium tertinggi di dunia. Angka ini mencerminkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat mengenai kanker ovarium, serta terbatasnya edukasi seputar faktor risikonya.
Melihat kondisi tersebut, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran akan kanker ovarium. Termasuk pemahaman terhadap ancamannya dan edukasi kepada masyarakat, terutama perempuan, mengenai pentingnya deteksi dini kesehatan reproduksi.
“Edukasi yang berkelanjutan kepada masyarakat, khususnya perempuan, sangat penting guna menekan laju pertumbuhan kasus dan meningkatkan kualitas penanganan secara menyeluruh,” katanya melalui siaran pers, Sabtu (26/7/2025).
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan seorang perempuan terkena kanker ovarium adalah riwayat keluarga. Khususnya jika ada kerabat tingkat pertama seperti ibu atau saudara kandung yang pernah menderita kanker ovarium.
Kedua, riwayat reproduksi seperti menstruasi yang terlalu dini, tidak pernah hamil, atau menopause yang terjadi pada usia lebih tua dari rata-rata. Ada juga dari faktor genetik termasuk mutasi pada gen BRCA1/BRCA2 (Breast Cancer Gene), serta kelainan pada mekanisme perbaikan DNA seperti Homologous Recombination Deficiency (HRD). Factor lain juga ada obesitas, serta risiko yang meningkat seiring bertambahnya usia.
Menjalani gaya hidup sehat memiliki peran penting dalam menurunkan risiko kanker ovarium. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan antara lain, menjaga berat badan ideal, menjalankan pola makan yang seimbang dan sehat, memilih kontrasepsi oral atau Pil KB.
Upaya lain yang sangat penting adalah berhenti merokok, hingga menghindari terapi hormon. Kebiasaan ini bisa mendukung kesehatan reproduksi perempuan secara menyeluruh.
Berbeda dengan jenis kanker lainnya, hingga saat ini belum tersedia metode skrining yang benar-benar akurat dan dapat diandalkan untuk mendeteksi kanker ovarium sejak dini. Meski begitu, pemeriksaan seperti transvaginal ultrasound dan tes darah CA-125 dapat menjadi opsi pendukung dalam upaya deteksi dini.
Data dari American Cancer Society dan National Cancer Institute menunjukkan bahwa sebagian besar kasus kanker ovarium baru terdeteksi ketika sudah memasuki stadium lanjut. Hal ini karena gejala awal yang cenderung ringan, tidak spesifik, dan sering diabaikan. Contoh umum perut kembung, nyeri panggul, serta gangguan pencernaan.
Kata dr. Muhammad Yusuf, kanker ovarium merupakan penyebab kematian tertinggi dari seluruh kanker ginekologi dengan mayoritas pasien kanker ovarium baru terdiagnosis pada stadium 3 atau 4. Hal ini akibat gejala awal yang tidak spesifik. Sehingga, penanganan medis umumnya sudah memerlukan tindakan operasi atau kemoterapi.
“Terlebih, risiko kekambuhan setelah kemoterapi awal pun sangat tinggi. Yaitu mencapai 70 persen dalam tiga tahun pertama,” tambah dr. Muhammad Yusuf.
Pada kanker ovarium stadium lanjut, pasien umumnya harus menjalani operasi besar untuk mengangkat satu atau kedua ovarium, tuba falopi, rahim, serta semua jaringan kanker yang terlihat. Pasca operasi, pasien perlu menjalankan kemoterapi untuk membunuh sel kanker yang tersisa.
Setelah menyelesaikan kemoterapi awal dan memasuki fase remisi, menjaga pasien agar terhindar dari kekambuhan sangat penting untuk mempertahankan kualitas hidup. Namun, pada kanker ovarium stadium lanjut, tingkat kekambuhan tetap tinggi setelah pengobatan lini pertama. Akibatnya, banyak pasien harus menjalani kemoterapi ulang. Hal ini sering kali disertai dengan periode remisi (masa bebas kanker) yang lebih singkat dan peningkatan risiko kematian.
Dalam beberapa kasus, terapi target dapat diberikan setelah kemoterapi, bergantung pada hasil pemeriksaan molekuler seperti BRCA (Breast Cancer gene) atau HRD (Homologous Recombination Deficiency). Pasien dengan status HRD-positif memiliki biomarker genetik yang menunjukkan bahwa mereka memenuhi syarat untuk menjalani maintenance therapy berbasis PARP (Poly ADP-Ribose Polymerase) inhibitor, seperti Olaparib.
Terapi ini bekerja dengan mengeksploitasi kelemahan genetik akibat HRD untuk menghentikan pertumbuhan sel kanker. Oleh karenanya bisa membantu menurunkan risiko kekambuhan, memperpanjang harapan hidup, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Maka itu, penting untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan agar mendapatkan evaluasi menyeluruh dan rekomendasi terapi yang sesuai berdasarkan kondisi masing-masing pasien.
Menurut dr. Feddy, Medical Director AstraZeneca Indonesia, menjalani perawatan yang terpersonalisasi usai menjalani operasi dan kemoterapi merupakan langkah yang tepat. Antisipasi terhadap kekambuhan memberikan peluang hidup yang lebih baik bagi pasien.
“Dalam mendukung hal ini, AstraZeneca Indonesia terus aktif memberikan edukasi pada publik. Tujuannya untuk memberikan perawatan yang tepat untuk kondisi pasien kanker ovarium,” ungkapnya.
Penanganan kanker ovarium khususnya stadium lanjut membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif. Melalui kerja sama yang erat antara tenaga medis dan penyedia terapi lanjutan. Harapannya, semakin banyak pasien yang dapat merasakan manfaat dari terapi inovatif seperti maintenance therapy. Setiap pasien kanker ovarium berhak mendapatkan peluang terbaik untuk hidup lebih lama, dengan kualitas hidup yang lebih baik.
Esra Erkomay, President Director AstraZeneca Indonesia menambahkan, di AstraZeneca, inovasi tidak berhenti pada penemuan terapi. Komitmen perusahaan juga mencakup peningkatan kesadaran dan perluasan akses pengobatan bagi pasien kanker ovarium.
“Edukasi mengenai pentingnya penanganan yang tepat akses terhadap pilihan perawatan merupakan langkah awal dalam membangun sistem kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasien kanker ovarium di Indonesia,” ujarnya.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post