Di balik sebatang rokok yang terselip di jari anak, bisa tersembunyi krisis identitas atau beban emosional.
Bukan hanya “siapa yang mengajari?” yang perlu ditanyakan ketika anak mulai merokok. Tetapi juga “apa yang sedang dia coba pelajari dari lingkungannya?”
Dalam wawancara bersama psikolog klinis Anette Isabella Ginting terungkap kebiasaan merokok pada anak lebih dari sekadar imitasi. Ada proses belajar yang diam-diam berlangsung. Baik dari rumah, dari lingkungan, dari budaya yang memberi makna ‘keren’ pada rokok.
Anak-anak tiba-tiba tahu merek rokok, cara membelinya, atau sensasi ‘lega’ yang muncul setelah menghisapnya. Mereka pun menyerapnya, sedikit demi sedikit, dari dunia yang mengajarkan bahwa merokok adalah cara menjadi ‘dewasa’ atau cara melarikan diri dari tekanan hidup yang belum semestinya mereka tanggung.
Melarang anak merokok harus memahami dulu akar perilakunya agar dapat memahami gejala psikologis yang lebih dalam. Seperti komunikasi di rumah yang tidak berjalan, tekanan sekolah yang menghimpit, atau anak tak punya tempat aman untuk menjadi dirinya sendiri.
Perlu intervensi bukan hanya soal membatasi akses rokok. Tetapi juga membangun kembali lingkungan yang sehat, suportif, dan penuh pengertian. Sebab pada akhirnya yang mereka butuhkan bukan rokok melainkan pendampingan, perhatian, dan ruang untuk tumbuh.
Demikian petikan wawancara dengan penulis buku “Psychologist for Everyone” di sela-sela acara Festival Berani Sehat pada akhir Juli 2025.
Fenomena merokok pada anak itu kalau dari sisi psikologi apa ya?
Jelas kalau kita lihat dari sisi psikologi kenapa kemudian anak merokok pasti dari proses belajar. Mungkin belajar dari orang tuanya. Atau belajar dari lingkungannya dulu. Itu yang pertama.
Kemudian ada konsep yang keliru mungkin ya Mas ya dari anak. kenapa kemudian anak merasa aku nih merokok ah.
Jadi mungkin ada budaya-budaya yang kaya kalau kamu merokok, kamu keren. Kalau kamu merokok, kamu berarti sudah dewasa. Atau kalau kamu merokok kamu sudah dianggap jadi ketua kita deh. Kaya itu.
Nah, itu yang kemudian mungkin membuat anak jadinya melakukan perilaku merokok.

Selain ingin merasa dianggap dewasa dan pertemanan. Kalau faktor lain seperti beban pelajaran di sekolah yang berat? Bagaimana kebiasaan itu muncul akibat ingin merilis sesuatu?
Oke. Balik lagi ya. Mengapa anak itu bisa mengetahui bahwa merokok bisa merilis sesuatu? Mungkin ayahnya seperti itu. Mungkin ya? Jadi ayahnya itu mumet dengan pekerjaan. Jadinya merokok biar lega.
Itu yang kemudian dipelajari anak. Kurangnya komunikasi, kurangnya pendampingan orang tua, ditambah lagi mungkin beban yang mereka miliki kemudian membuat mereka jadi kayanya aku merokok saja supaya lebih enak. Supaya lebih enteng.
Itu mungkin ada faktornya juga, ada pengaruhnya. Cuma memang yang paling utama jelas adalah dari proses belajar.
Kenapa kemudian anak bisa paham konsep itu? Kenapa kemudian anak tahu bagaimana cara merokok? Bagaimana anak cara membeli rokok? Bagaimana anak tahu rokok yang enak? Itu ‘kan pasti dari proses belajar dari orang tuanya.
Ada orang tua yang tidak merokok tetapi anaknya merokok. Lalu anaknya dihukum usai orang tuanya mengetahui. Tetapi itu tidak mengubah kebiasaan anak untuk merokok. Bagaimana menilai kejadian itu?
Baiklah. Mengubah kebiasaan itu memang sangat sulit. Orang dewasa saja sangat sulit apalagi anak-anak. Anak-anak memang membutuhkan pendampingan. Mungkin pendampingan profesional atau psikolog.
Karena ini bukan saja soal perilaku merokok. Tetapi mungkin ada beban emosional. Ada beban psikologis yang tersembunyi di balik perilaku merokok itu.
Itu tidak akan selesai hanya dengan berhenti merokok. Tetapi isunya yang harus diselesaikan supaya anak tidak merokok.
Berarti perlu ada satu intervensi yang bisa mempengaruhi keputusan anak supaya tidak lagi merokok?
Betul. Jelas.

Apa dampak psikologisnya ketika kebiasaan merokok itu justru terbentuk sejak sejak dini?
Kebiasaan merokok ini ‘kan tergantung alasannya juga. Jika ini untuk pencarian jati diri atau untuk merilis stress jelas saja itu kurang baik.
Cara melepaskan stress yang kurang baik kalau dipertahankan terus mungkin akan berujung dengan perilaku yang lebih buruk lagi. Bisa berujung pada minum-minum atau melakukan hal-hal kriminal.
Karena pemahaman normanya tidak terbentuk. Pemahaman soal oh seharusnya aku tidak melakukan itu sedari kecil.
Kalau kemudian pengaruh harga yang murah dan rokoknya mudah diakses itu bisa tidak menjadi pemicu fenomena anak merokok?
Jelas. Kalau mungkin di luar itu ada beberapa. Kalau membeli alkohol saja itu harus ada KTP atau segala macam. Mungkin itu juga adalah intervensi atau kebijakan yang perlu diadaptasi juga.
Jadi kalau anak membeli rokok itu harus dilihat KTP atau identitasnya dulu. Menjadi PR untuk orang tua juga, jangan meminta lagi anak untuk membelikan rokok.
Kadang ‘kan begitu ya? Belikan Bapak rokok dulu ke warung. Jadi mungkin itu sesuatu yang bisa diubah supaya akses anak terhadap rokok jadi semakin jauh atau semakin sulit.
Itu menjadi pemicu anak mengenal rokok?
Iya, jadi tahu merek. Jadi tahu cara beli. Tahu harga. Tahu mana yang enak.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post