Jakarta, Prohealth.id – Peristiwa anak Indonesia mengalami keracunan makanan dalam program MBG, seperti sudah tidak bisa mendapat toleransi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menegaskan, temuan keracunan ini banyak terjadi pada anak anak di umur sangat belia usia PAUD.
Jasra Putra, Wakil Ketua KPAI mengatakan daya tahan tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Apalagi kebijakan negara belum berhasil mengetahui kondisi dari dalam keluarga.
“Padahal kita tahu kondisi anak tidak mudah mendeskripsikan kondisi kesehatannya. Apalagi bila menghadapi keluarga yang kurang perhatian atau kurang peka kondisi anak,” ujarnya melalui pesan singkat, Sabtu (20/9/2025).
KPAI menyoroti berbagai peristiwa keracunan makanan yang terus meningkat. Padahal, temuan satu kasus anak yang mengalami keracunan bagi KPAI sudah cukup banyak. Hal ini menandakan pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh program MBG.
“KPAI usul hentikan sementara, sampai benar benar instrumen panduan dan pengawasan yang sudah di buat BGN benar benar di laksanakan dengan baik,” tegasnya.
Dari jumlah korban, data, dan peristiwa ada yang gagal terkontrol dengan baik dalam program MBG. Jasra mengibaratkan seperti mobil, punya target tujuan untuk cepat sampai. Namun kadang, pandangan sopir ke kaca depan mobil membuat tidak bisa mengawasi apa yang ada di depan. Misalnya karena kecepatan yang terlalu tinggi.
Untuk itu penting penjangkauan program MBG. Artinya, perlu melihat kondisi, antisipasi, dan pengawasan. Terutama jika program ini ingin ngebut sampai akhir tahun demi memenuhi target nasional.
Hal yang luput dari program MBG menurut Jasra adalah kesadaran dan kepekaan masalah kesehatan anak. Untuk itu, perlu petugas khusus yang meninjau kualitas makanan. Dengan demikian, penanganaan keracunan makanan anak-anak di umur PAUD terjadi secara preventif, bukan kuratif.
Sebelumnya KPAI, CISDI, WVI melaksanakan Survei Suara Anak Untuk Program Makan Bergizi Gratis. Survei berlangsung di 12 propinsi dengan 1.624 responden anak dan anak disabilitas yang berproses sejak 14 April hingga 23 Agustus 2025.
Dari 5 temuan yang terjadi di lapangan, kesimpulannya adalah sangat penting mendengar temuan dari penerima manfat program yaitu anak. “Kami ingin mendengar langsung suara anak yang telah sering mengkonsumsi MBG.”
Temuan pesan kunci antara lain; pesan responden anak tentang kewaspadaan mereka melihat kualitas makanan MBG. Hal tersebut menjadi pesan kunci anak, agar makanan yang tersedia tidak bau/basi.
Dari 1624 responden anak ada 583 anak menerima makanan MBG sudah rusak, bau dan basi. Bahkan 11 responden menyatakan meski sudah rusak, bau dan basi mereka tetap mengkonsumsinya karena berbagai sebab. Kemudian responden anak meminta adanya penyesuaian MBG.
“Beberapa ungkapan anak, saya kira penting diperhatikan petugas MBG, pertama permintaan mereka agar tim pelaksana perlu lebih sering mengajak diskusi atau mendengarkan pendapat dari siswa,” kata Jasra.
Dengan begitu, kualitas makanan dan programnya sesuai kebutuhan. Selain itu, makanan juga terjaga kualitasnya sesuai waktu pemberian agar tetap enak dan sehat.
Kedua, ada responden anak yang menulis, ‘Tolong perbaiki kualitas makanan dan tempat makan MBG-nya karena terkadang saya merasakan bau tidak sedap dari tempat makan MBG dan saya pernah beberapa kali mendapatkan buah/sayur yang ada ulatnya, terimakasih.’
Ketiga, anak meminta agar penyedia makanan bisa menjaga kualitas makanan tetap fresh/tidak basi saat mau di makan. Anak menyebut makanan yang sudah tidak fresh membuat mereka malas untuk menyantapnya.
Keempat, penting ada edukasi kepada penyedia MBG, siswa, dan wali siswa bahwa memakan makanan bergizi itu sangat penting. Mislanya soal banyak manfaat yang akan didapatkan dari MBG.
Ada empat Kesimpulan penting dari lima temuan itu. Pertama, harus ada peningkatan pemahaman MBG yang masih berkutat pada dampak ekonomi. Karena ternyata unsur higienitas, pilihan bahan makanan dasar, proses memasak, penyajian menjadi faktor yang lebih penting. Agar siswa, orang tua tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, dengan alasan hemat, mengurangi uang jajan dan lain lain.
Kedua, dari sisi responden anak, sangat senang dengan adanya budaya makan bersama. Namun, jika melihat aspek kualitas makanan, ketepatan waktu, serta penyajian makanan, anak-anak sangat menyayangkan buruknya standar MBG.
Ketiga, aspek keamanan pangan. Misalnya, aspek penyajian yang memenuhi kebersihan masih menjadi persoalan serius. Temuan ini sejalan dengan temuan KPAI tentang maraknya keracunan makanan dalam MBG.
Keempat, berharap MBG tidak hanya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi hemat dan alternatif makanan. Sebaliknya, aspek gizi harus menjadi prioritas. Karena, edukasi soal gizi menjadi penentu keberhasilan program ini, di tengah berbagai gempuran industri makanan, jajanan dan konsumsi kepada anak.
“Hendaknya, edukasi gizi tidak hanya seruan, spontanitas, dan hanya memenuhi unsur formalitas,” ungkap Jasra.
Kelima, prinsip-prinsip perlindungan anak harus menjadi pedoman dalam semua aspek pengambilan kebijakan dan program MBG. Yaitu; prinsip non diskriminasi, prinsip kepentingan terbaik bagi anak, prinsip kelangsungan hidup dan perkembangan anak, serta prinsip penghargaan terhadap pendapat anak.
Oleh sebab itu, pemerintah harus memastikan pemenuhan hak anak untuk memperoleh makan bergizi gratis yang aman dan berkualitas. Caranya dengan mendorong mekanisme standar keamanan pangan dan pemenuhan gizi, pelaporan dan akuntabilitasnya. Penting juga menjamin pemulihan atas kerugian dari kasus keracunan dan makanan yang tidak layak.
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post