Jakarta, Prohealth.ID – Analis Kebijakan Ahli Madya, Koordinator Pengendalian Penyakit Kemenko PMK Rama P.S Fauzi mengatakan target pembangunan SDM Indonesia terancam terwujud, karena rokok telah membelenggu 3.302.208 anak dan remaja pada usia 10-18 tahun.
“Anak-anak kita telah merokok sejak usia muda”, ujar Rama pada sesi diskusi daring bertema “Dinamika Revisi PP Pengamanan Zat Adiktif: Prioritas Kesehatan vs Dalih Ekonomi” pada Selasa, (15/6/2021).
Menurut Rama, prevalensi merokok pada usia 10-18 tahun terus meningkat sebesar 9,1 persen, mengacu pada Riskesdas 2018. Sementara itu, BAPPENAS memproyeksikan apabila tidak ada upaya signifikan, prevalensi mencapai 16 persen atau setara dengan 5,5 juta anak merokok pada 2024.
“Ini artinya kondisi sudah gawat,” katanya.
Untuk mencegah pertambahan perokok anak, Rama mengatakan, pemerintah perlu merehabilitasi sedikitnya 70 ribuan anak dan remaja yang terlanjur merokok. Ini penting dilakukan, agar generasi selanjutnya tidak terpapar produk tembakau.
Data BPS Maret 2018 menyebutkan pengeluaran per-kapita sebulan masyarakat untuk rokok dan tembakau menempati daftar urutan lebih tinggi dibandingkan konsumsi protein hewani, sayur, dan buah.
“Mengkhawatirkan, ketika uang dihabiskan untuk rokok ketimbang mencukupi kebutuhan pokok”, kata Rama.
Belum lagi, konsumsi rokok berlebihan memberikan dampak serius bagi anak dan remaja. Gangguan itu meliputi terganggunya perkembangan otak (prefrontal cortex) yang seharusnya memiliki 9 fungsi, mulai dari; empati, pemahaman, respon fleksibilitas, pengaturan emosi, fungsi tubuh, moralitas, intuisi, komunikasi, dan respon tubuh terhadap kecemasan dan ketakutan.
Jika dibiarkan, konsumsi rokok berlebihan akan menggangu fungsi kognitif tubuh dan kejiwaan saat dewasa, merujuk penelitian Roy, E. (2013) berjudul Cognitive Function.
BEBAN KESEHATAN DAN UPAYA PENGENDALIAN
Masih menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rokok masyarakat perkotaan jumlahnya sebesar 10,41 persen, sementara konsumsi di pedesaan mencapai 13,84 persen.
“Ini menunjukkan jika proporsi konsumsi rokok di desa ternyata jauh lebih besar,” kata Rama.
Sementara itu, data Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebutkan beban kesehatan dan upaya pengendalian masih masih tercipta jurang yang lebar. Buktinya, total alokasi maksimum penerimaan cukai untuk pembiayaan JKN di tahun 2019 hanya sebesar Rp7,4 triliun.
“Angka itu berasal dari Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBHCHT) ditambah Pajak Rokok Daerah,” kata Rama.
Sementara itu, total biaya pengobatan penyakit terkait rokok di tahun 2019 jumlahnya mencapai Rp27,6 triliun.
“Besarannya didasarkan estimasi tertinggi dengan risiko relatif (RR) Amerika Serikat,” katanya.
Sedangkan, total biaya pengobatan penyakit terkait rokok di tahun 2019, jumlahnya mencapai Rp17,9 triliun, sesuai estimasi tertinggi dengan risiko relatif (RR) India.
“Ini membuktikan, besarnya biaya kesehatan untuk penyakit akibat rokok jauh melampaui alokasi Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBHCHT) dan pajak rokok daerah untuk pembiayaan kesehatan,” ungkap Rama.
Hal lain yang juga menarik adalah komposisi harga, dimana pengenaan cukai berdasarkan harga jual eceran (HJE) ditambah pajak rokok (10 persen cukai) dan PPN (9,1 persen HJE) besarannya mencapai 34,03 persen harga rokok.
“Angka komposisi harga rokok juga sebesar 65,07 persen dari cukai dan pajak rokok,” kata Rama.
Jika dikaitkan dengan layanan kesehatan, Rama mengatakan, ditemukan hanya 253 puskesmas aktif atau sebesar 2,5 persen yang melaksanakan layanan berhenti merokok dari total 10.166 unit puskesmas di seluruh Indonesia.
“Padahal target RPJMN 40 persen Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus memberikan layanan itu di 350 kabupaten atau kota,” ujar Rama.
Fasilitas layanan itu menurut Rama seharusnya diperlukan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan anak yang mengalami disfungsi sosial.
“Hal lainnya terkait rehabilitasi sosial, dengan membuat hotline service atau call center selama 24 jam”, kata Rama.
Selain itu, larangan akses rokok untuk anak usia di bawah 18 tahun dan ibu hamil, menurut Rama, harus tetap digencarkan. Juga terkait peringatan kesehatan (tertulis dan bergambar), kawasan tanpa rokok hingga iklan layanan masyarakat.
Khusus terkait pengendalian iklan di berbagai media, Rama menyarankan agar penyiaran dibatasi jamnya mulai 21.30-05.00. Teknologi informasi juga diperlukan, sehingga verifikasi usia diatas18 tahun dapat dilakukan.
“Khusus dimensi cetak di media harus dibatasi, kaitannya dengan peletakan, ukuran dan sasaran media, serta iklan luar ruang juga dibatasi ukuran dan cara peletakannya,” ungkap Rama.
Hal lain terkait promosi dan sponsorship dari produk tembakau juga perlu dibatasi. Rama menyebutnya sebagai larangan promosi di area KTR dengan tidak menggunakan merk dan logo produk tembakau.
Juga melarang pemberian secara gratis, hadiah produk tembakau. Termasuk larangan sponsorship di kegiatan yang melibatkan anak, dan melarang menggunakan merk, logo dan brand image.
VARIABEL BERPENGARUH
Selama ini PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif menurut Rama Fauzi menimbulkan kesenjangan, utamanya dalam hal penegakkan atas pengawasan.
“Hal-hal terkait pembatasan produk dan aksesnya, ketertiban merokok hingga penggunaan teknologi informasi dalam penjualan produk tembakau ternyata tidak mampu dikendalikan,” kata Rama.
Persoalan lainnya, menurut Rama, terkait upaya mengendalikan konsumsi berbagai jenis rokok baru (baca: elektrik/pemanasan) hingga membedakan produk tembakau sebagai rokok dengan penggunaan nikotin sebagai zat adiktif, belum juga tuntas.
Oleh karena itu, Rama mendukung agar revisi PP 109/2012 segera dilakukan. Pasalnya, perokok pemula, yakni anak usia 10-18 tahun jumlahnya terus meningkat. Biaya kesehatan akibat rokok juga semakin besar.
“Estimasinya lebih dari Rp25 triliun, bahkan sudah lebih besar hampir 10 kali lipat dari total earmarking cukai,” papar Rama.
Besarnya pengaruh iklan, promosi dan sponsorship dari industri rokok, menjadi hal lain yang tidak bisa dianggap enteng, karena semua menyasar ke anak/remaja.
“Selama ini, tidak ada pengawasan terhadap larangan akses rokok pada anak dan ibu hamil,” ungkap Rama.
Di sisi lain, yang juga perlu diperhatikan, menurut Rama terkait kekosongan regulasi dalam pengendalian konsumsi rokok non konvensional, seperti Vape dan rokok dengan pemanasan.
“Terakhir, terkait penayangan iklan melalui internet yang masif dalam 7×24 Jam, harus juga dipikirkan,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post