Jakarta, Prohealth.id — Peneliti DPR RI Rohani Budi Prihatin menyayangkan ketidaktegasan pemerintah dalam mengatur produk rokok. Akibatnya prevalensi merokok anak meningkat mencapai 9,1 persen.
“Ini karena tidak ada regulasi yang tegas soal iklan, promosi dan sponsorhip industri tembakau,” ujar Budi pada dikusi terbatas bertajuk ‘Denormalisasi Industri Tembakau di BUMN’, Selasa (22/6/2021).
Budi mengingatkan, perlu komitmen kuat terhadap para pemangku kebijakan, khususnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang transportasi publik untuk menerapkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Rokok merupakan komoditas legal yang terbatas namun tidak normal. Karena itu dikenai cukai, seiring dampak buruknya terhadap kesehatan.
“Rokok berbahaya tidak hanya bagi penggunanya, namun juga bagi orang di sekeliling perokok. Karena itu ia harus dicukai,” papar Budi.
Undang-undang No 39 Tahun 2007 tentang cukai Pasal 2 ayat 1 menyebutkan barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik; konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan, dan keseimbangan.
“Itulah mengapa, proses produksi hingga konsumsinya perlu diatur secara ketat oleh pemerintah dan dilakukan pengawasan,” terang Budi.
Pengendalian menjadi penting, karena faktanya, Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk perokok terbesar di dunia, dimana persentasenya mencapai 39,9 persen.
“Atau masuk pada peringkat ke tujuh di dunia,” kata Budi.
Dari jumlah itu, dapat diartikan sejumlah 57 juta orang di Indonesia merupakan pengonsumsi rokok aktif dan menjadi salah satu yang terbesar di dunia.
Ketika rokok dinyatakan sebagai barang tidak normal, layaknya produk alkohol, maka promosinya harus dibatasi. “Iklannya tidak di ruang terbuka yang dapat dilihat dengan mudah oleh publik,” kata Budi.
Begitu juga dengan proses pemasaran, tidak semua orang dapat mengaksesnya. Hal ini diperlukan agar peredarannya dapat terkendali. “Selain itu, anak-anak tidak mudahnya mendapatkan produk tersebut,” katanya.
Selanjutnya, Budi mengajak konsumen, utamanya generasi muda untuk berpikir kritis terhadap rokok. “Apakah rokok bisa disamakan dengan mendoan atau kripik? Tentu tidak,” ujar Budi.
Oleh karena itu, maraknya iklan promosi rokok di ruang terbuka harus di denormalisasi. “Denormaliasi artinya yang tadinya normal, kita buat menjadi tidak normal. Caranya melalui Kawasan Tanpa Rokok (KTR),” ungkap Budi.
Ketika menyadari iklan promosi rokok merupakan hal yang tidak normal, maka masyarakat perlu bersikap. Salah satunya dengan penerapan KTR, sebuah kawasan yang bebas dari asap rokok.
“Lebih dari hal tersebut, tidak adanya iklan, promosi, dan sponsorship di wilayah transportasi umum,” terang Budi.
Saat ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang anomali. Ketika di banyak negara, industri rokok telah sunset, di sini industri rokok malah sunrise bahkan kuat mencengkram kuat hingga di pemerintahan.
“Ada teman dari luar negeri datang ke Indonesia. Pertama kali yang dilihatnya adalah iklan rokok. Padahal tahun 1970 iklan rokok terakhir ada di negaranya,” ungkap Budi.
Karena itu, Budi menyebut kondisi saat ini, ibarat terlempar ke era 1970-an. Era yang jauh ketinggalan, jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai saat ini. “Bayangkan, kita masih berada di masa itu,” katanya.
Hal lain, menurut budi yang harus dicarikan solusinya adalah bagaimana memutus vektor atau agen perantara yang menyebabkan iklan promosi rokok masih marak dan menyasar generasi muda.
“Saya menyebut industri rokok sebagai vektor, karena itu harus diputus peredarannya,” kata Budi.
Caranya, menurut Budi dengan memperjuangkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan menaikkan cukai. KTR merupakan bagian penting dari kegiatan denormalisasi produk tembakau yang sempat bertebaran di ruang publik.
Untuk mengalahkan dominasi industri rokok, menurut Budi, tidak mudah. Perlu kerja keras, konsistensi, semangat dan ketekunan. Sebut saja salah satu contohnya Zumrotin dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang berjuang 15 tahun hanya untuk mendapatkan tulisan “dilarang merokok” pada bungkus rokok.
Atau, kita bisa menyimak perjuangan aktivis pengendalian tembakau yang menuntut gambar bahaya merokok di bungkus rokok. Dia menjelaskan, perjuangan itu dimulai di tahun 2005 dan baru terwujud di tahun 2014.
“Kurang lebih 14 tahun,” ujarnya.
Menurut Budi, gambar di bungkus rokok merupakan edukasi termurah dan terefisien yang pernah ada. Pemerintah tidak memerulukan buzzer dan biaya advokasinya gratis. Semua telah dicetak oleh industri rokok.
“Sejatinya, peringatan di bungkus rokok bukan untuk perokok, tapi untuk calon perokok,” ungkap Budi.
Di sisi lain, para perokok harus disadarkan, bahwa mereka yang sebenarnya menyumbang dan membayar cukai kepada pemerintah, bukan industri rokok. “Industri rokok hanya menyalurkan uang konsumen tersebut ke negara,” katanya.
Karena itu, Budi mengatakan, konsumen perlu menyadari, bahwa mereka telah membayar cukup besar untuk cukai, dimana jumlahnya bahkan lebih besar ketimbang pendapatan dari sektor mineral tambang.
Lalu, ketika rokok mengakibatkan adiksi (ketagihan) bagi penggunanya, maka keberadaannya harus dikendalikan, dikenai cukai dan tidak boleh dijual sembarangan.
“Iklan promosi dan sponsor, seperti kasus di bulutangkis anak, sudah tidak boleh ada lagi,” pinta Budi.
Termasuk ketika industri rokok menyasar BUMN, menurut Budi, harus ditolak. Mereka sengaja memilih BUMN, karena biasanya memiliki ruang yang luas dan mudah diakses publik.
“Contohnya di stasiun atau bandara yang punya space luas, pastinya bisa dititipin iklan produk rokok. Untungnya, BUMN seperti AP II menolak iklan rokok di bandara mereka,” pungkas Budi.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post