Jakarta, Prohealth.id – Aliansi Down to Zero didukung ECPAT Indonesia, Terre des Hommes, Plan International Indonesia, bersama 9 organisasi penggiat isu perlindungan anak dari 8 provinsi mengusung upaya penghapusan permasalahan eksploitasi seksual anak (ESA).
Adapun bentuk ESA yang terjadi antara lain; anak-anak yang dilacurkan, anak dijadikan objek pornografi, perdagangan anak untuk tujuan seksual dan juga eksploitasi seksual anak online.
Koordinator Aliansi Down to Zero Khusnul Aflah mengatakan kegiatan advokasi diperlukan agar suara anak dan orang muda didengar langsung oleh para pemangku kebijakan, dalam suasana yang setara, aman dan kondusif sesuai prinsip-prinsip hak dan perlindungan terbaik bagi anak.
“Dengan begitu, anak dan orang muda di Indonesia akan memiliki kekuatan yang setara dengan orang dewasa untuk menentang ketidakadilan atas hak-hak mereka,” kata Khusnul Aflah.
Urgensi ini mencuat pasca merebaknya kasus ESA di tingkat nasional maupun global. Kondisi itu juga disertai tren-tren baru, termasuk eksploitasi seksual komersial anak yang kian masif di masa pandemi ini.
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, yang juga perwakilan Aliansi Down to Zero, Ahmad Sofian menyampaikan bahwa suara anak sebagai aspek penting bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan nasional.
“Pemerintah perlu mempertimbangkan suara anak sebagai hal penting dalam menentukan arah kebijakan nasional tentang perlindungan anak.” ujarnya.
Aliansi Down to Zero meyakini bahwa salah satu hal yang bisa dilakukan adalah melalui penguatan aturan-aturan terkait perlindungan anak.
“Kita perlu mendorong pemerintah melaksanakan kewajibannya dalam pemenuhan perlindungan anak, sebagaimana amanat UU 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan Konvensi Hak Anak PBB,” kata Ahmad.
Child Protection Advisor Yayasan Plan Internasional Indonesia (YPII), Sigit Wacono mengatakan eksploitasi seksual anak (ESA) menjadi salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian khusus.
“Anak-anak yang rentan ESA maupun para penyintas ESA membutuhkan dukungan untuk kembali ke sekolah, sehingga mereka bisa memiliki kesempatan untuk bangkit,” ujar Sigit
Lebih jauh, Sigit menjelaskan bahwa dalam upaya pencegahan ESA, ada beberapa hal yang harus dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap diri sendiri dan orang lain.
“Pertama cari tahu jenis kekerasan yang mungkin dialami. Ini penting agar diketahui cara penanganannya,” terang Sigit.
Kedua, menurut Sigit, utamakan keselamatan dan terlindungi dari kekerasan. Ketiga, waspada terhadap bahaya yang akan menimpa karena kondisi lingkungan sekitar, termasuk cari tahu bagaimana meresponsnya.
“Keempat, laporkan, kepada orang yang bisa dipercaya atau bisa menghubungi focal poin perlindungan YPII,” kata Sigit.
Sigit juga mengingatkan bahwa korban ESA berpotensi mengalami gangguan kesehatan mental atau jiwa. Akibatnya akan bengaruh terhadap fisik hingga mengganggu produktivitas.
“Kita tahu, kesehatan mental sangat penting untuk menunjang produktivitas dan kualitas kesehatan fisik seseorang,” katanya.
Undang Undang nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menjelaskan bahwa kesehatan mental atau jiwa merupakan kondisi dimana seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual dan sosial, sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Sebelumnya, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 6,1 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang.
“Pada usia remaja (15-24 tahun) memiliki persentase depresi sebesar 6,2 persen. Depresi berat akan mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri (self harm) hingga bunuh diri,” ungkap Sigit.
Dikutip dari laman Alodokter.com, diketahui depresi ditandai beberapa ciri khusus, yakni stres dan kecemasan berkepanjangan yang menyebabkan terhambatnya aktivitas dan menurunya kualitas fisik.
Pencegahan depresi dapat dilakukan dengan pengelolaan stres. Pengelolaan stres masing – masing individu berbeda, ada yang mengelolanya dengan melakukan kegiatan yang disukai seperti hobi, refreshing, mendekatkan diri dalam konteks spiritual keagamaan, hingga bercerita kepada orang lain untuk mengurangi beban stres.
Menurut Sigit, terlepas dari stigma masyarakat, keberanian korban ESA untuk terbuka dan berobat merupakan langkah yang tepat. Di era digital seperti sekarang banyak platfrorm yang meyediakan layanan konsultasi secara daring dengan biaya maupun gratis.
“Selain itu, beberapa puskesmas telah menyediakan layanan konsultasi psikologi dengan biaya gratis atau berbayar dengan harga terjangkau,” kata Sigit.
Manager ECPAT Indonesia, Maria Yohanista mengatakan, kesehatan mental anak korban ESA rusak dalam jangka panjang, setelah mengalami ESA. Mereka juga mengalami perasaan yang campur aduk, malu, marah, merasa kotor, tidak berharga.
“Atau sering muncul dalam bentuk sikap yang ekstrim dan mungkin tertangkap sebagai menjengkelkan oleh pihak lain seperti suka marah-marah, melawan aturan dalam shelter, suka berbicara berubah-ubah, tidak konsisten, atau diam membisu, atau malah menangis berteriak-teriak, atau keluar dalam bentuk yang dibaca sebagai penggoda lawan jenis,” terang Maria.
Namun, tak sedikit yang mengalami rasa takut, sehingga merahasiakan pengalaman buruk tersebut dan sering tertekan oleh stigma sosial di masyarakat.
Penyelesaian terbaik, menurut Maria, terhadap mereka yang mengalami ESA adalah adalah dengan konseling dan memberikan dukungan psiko sosial kepada korban dan juga keluarga korban oleh profesional.
“Dukungan psiko sosial akan memampukan korban untuk mengeluarkan segala perasaan dan pendapatnya, juga keinginan dan kebutuhannya, sehingga bisa ditindaklanjuti oleh pendamping, entah untuk proses hukum, maupun untuk pendampingan jangka panjang,” kata Maria.
Setelah korban pulih dari trauma, mampu menerima kenyataan dan memiliki keinginan kuat tentang masa depan yang lebih baik, menurut Maria, proses selanjutnya akan lebih mudah. “Termasuk dengan peran dari keluarga maupun lembaga pemerhati, sesuai kapasitasnya masing-masing,” katanya.
Sebelumnya, National Center for Missing and Exploited Children (NMEC), mencatat telah terjadi peningkatan angka kekerasan dan Eksploitasi Seksual Anak hingga 98,66 persen. Hal serupa juga terjadi di Indonesia.
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan 88 kasus perdagangan dan eksploitasi anak pada bulan Januari hingga Agustus 2020. Data tersebut ibarat fenomena gunung es yang mungkin saja angka pastinya jauh lebih besar dari itu.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post