Jakarta, Prohealth.id – Gagapnya pemerintah dalam mengatasi laju penyebaran Covid-19 membuat fasilitas kesehatan (faskes) dan tenaga kesehatan (nakes) kolaps.
Sejak 14 Juni hingga 30 Juni 2021, LaporCovid-19 menerima 101 laporan warga terkonfirmasi positif Covid-19 yang meminta bantuan untuk mencarikan rumah sakit (RS), ruang isolasi, dan ruang rawat intensif seperti Neonatal Intensive Care Unit (NICU), Intensive Care Unit (ICU), atau High Flow Nasal Cannula (HNFC). Sebagian di antaranya juga membutuhkan ventilator dan oksigen.
LaporCovid-19 mencatat, permintaan rumah sakit paling banyak tersebar dari wilayah Jabodetabek. Sebagian besar dari mereka mempunyai gejala sedang hingga berat, dan sebelumnya menjalani isolasi mandiri. Sebanyak 11 pasien meninggal saat menunggu perawatan karena penuhnya RS.
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Kamis (1/7/2021), LaporCovid-19 mengaku telah menemukan beberapa masalah sebagai akibat dari kondisi yang tak terkendali ini.
“Kami mendapat laporan 65 warga terkonfirmasi positif Covid-19, dengan gejala sedang hingga berat yang perlu bantuan kegawatdaruratan medis. Di salah satu RS umum pusat milik pemerintah di Jakarta, seorang pasien meninggal sesaat setelah tiba di sana,” tulis LaporCovid-19.
Sebelumnya si pasien ditolak beberapa RS dengan alasan tak ada stok tabung oksigen. Selain itu, keesokan harinya, terdapat laporan seorang pasien yang saturasi oksigennya di bawah 90 persen, terpaksa pulang dari IGD. Alasannya petugas menyampaikan; tak ada kursi roda, tempat tidur, stok oksigen, dan masih ada sekitar 65 pasien yang antre untuk dirawat.
Pada 29 Juni 2021, LaporCovid-19 juga mencatat temuan, seorang pasien berusia 26 tahun di Tangerang Selatan diusir dari indekos karena positif Covid-19. Dia disewakan ambulans oleh kantornya dan diantarkan ke Puskesmas Kunciran. Di sana dia hanya menunggu di kursi roda dan tak dilayani.
Saat meminta surat rujukan, di dipimpong ke dua puskesmas lainnya. Saat menuju Puskesmas Paku Alam, pasien muntah dan tak sadarkan diri. Kemudian pasien dirujuk ke RS Grha MM2100 dan baru mendapatkan infus empat jam setelah sampai. Lalu meski tanpa surat rujukan, pasien diantar ke tempat isolasi di Rusun Nagrak.
Sesampainya di sana, pasien justru diusir beberapa pasien lain dengan alasan: mereka akan sembuh dan tak mau berdekatan dengan pasien baru. Dalam kondisi belum makan sejak semalam, dia akhirnya mengantre kembali untuk mendapatkan kamar.
Pada 30 Juni pagi, terdapat laporan lain masuk dari 1 keluarga dengan 3 orang terkonfirmasi positif Covid-19. Mereka sudah mencoba ke RSUI pada hari Selasa namun dipulangkan karena sudah penuh. Meski memiliki surat rujukan, mereka tak bisa ke Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet karena sudah penuh juga.
Salah satu dari mereka yang berusia 65 tahun diarahkan ke IGD terdekat karena mengalami perburukan pernapasan. Sementara itu, tim LaporCovid-19 menghubungi Hotline Ambulan Depok namun tak bisa dilayani karena tanpa persetujuan RS rujukan.
Puskesmas memberikan opsi untuk menggunakan ambulans berbayar, namun keluarga tidak memiliki biaya. Pada siang hari, petugas puskesmas melakukan home visit, namun pasien tidak mendapatkan oksigen maupun obat-obatan.
Petugas puskesmas dan satgas setempat membantu mencarikan RS rujukan. Setelah menunggu sekitar empat jam, kondisi pasien memburuk. Saat akan dibawa ke IGD terdekat, tak ada ambulans yang bisa mengantarkannya. Akhirnya pasien meninggal di rumah.
Kasus lain yang juga mengenaskan, seorang pasien positif Covid-19 yang dirawat sejak 12 Juni di sebuah Puskesmas daerah Tangerang Selatan, pada 27 Juni membutuhkan tabung oksigen. Keluarga pasien beberapa kali menghubungi 112 namun gagal. Satu jam, kemudian pasien akhirnya mendapatkan ambulans untuk ke RSU Tangerang Selatan.
Meski saturasi oksigen pasien saat itu 82 persen, namun ia tak diperbolehkan masuk oleh satpam RSU Tangerang Selatan.
“Saat itu kami menghubungi Dinas Kesehatan Tangerang Selatan dan respons mereka: saat ini RS sudah penuh dan semua sedang membutuhkan oksigen,” sambungnya.
Keluarga kemudian mengantarkan pasien ke RSUP Fatmawati. Namun sesampainya di sana pasien tidak mendapatkan oksigen dan meninggal dunia saat mengantri di IGD.
Krisis pandemi Covid-19 membuat RS tidak dapat lagi menampung pasien, tenaga kesehatan kelelahan dan bahkan banyak di antara mereka yang terinfeksi Covid-19, serta stok oksigen yang semakin menipis.
Dengan kegentingan situasi di lapangan ini, LaporCovid-19 memberikan beberapa desakan.
Pertama, Presiden Joko Widodo harus memprioritaskan kesehatan masyarakat dan menimbang pendapat ahli kesehatan dalam membuat kebijakan berbasis data dan kemanusiaan.
Kedua, pemerintah segera mengambil langkah luar biasa darurat dengan memberlakukan lockdown di seluruh Jawa-Bali dan wilayah terdampak lainnya untuk menekan laju penularan Covid-19, disertai peningkatan 3T dan transparansi data agar pemahaman masyarakat terbangun dengan baik. Pemberlakuan lockdown juga disertai edukasi yang masif, dan pemberian bantuan kebutuhan dasar kepada masyarakat terdampak. Tanpa ada penghentian mobilitas, faskes tidak akan sanggup menampung lonjakan pasien.
Ketiga, pemerintah memberikan perlindungan kepada tenaga kesehatan, baik perlindungan kesehatan maupun insentif untuk mendukung tugas mereka merawat pasien Covid-19.
Keempat, realisasikan percepatan produksi dan distribusi oksigen untuk mencegah perburukan pada pasien Covid-19 yang mengalami sesak nafas atau penurunan saturasi oksigen.
Krisis pandemi Covid-19 memang harus ditangani dengan bantuan dari seluruh pihak. Namun perlu kepemimpinan yang tegas dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat luas untuk memimpin pengendalian krisis ini.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina
Discussion about this post