Jakarta, Prohealth.id — Baru-baru ini viral di media sosial, saat dr Lois Owien yang menjadi tamu di acara Hotman Paris Show mengatakan tidak percaya COVID-19.
Dia menyebut COVID-19 itu tidak ada, dan kematian pasien Covid adalah akibat interaksi obat.
“Interaksi antar obat. Kalau buka data di rumah sakit, itu pemberian obatnya lebih dari enam macam,” kata dr Lois beberapa waktu yang lalu.
Pernyataan dr Lois menimbulkan keresahan di masyarakat, karena hal itu bertentangan dengan fakta-fakta yang selama ini dipercaya.
Guru Besar Farmasi Univeritas Gadjah Mada (UGM), Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt menjelaskan apa itu interaksi obat dan benarkah kematian pasien COVID-19 akibat interaksi obat.
Prof Zullies Ikawati mengatakan, interaksi obat adalah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien.
Secara umum, interaksi itu dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain atau bersifat sinergis atau additif, atau mengurangi efek obat lain alias antagonis, atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan.
“Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual,” kata Prof Zullies Ikawati dalam keterangan tertulisnya pada Prohealth.id, Minggu (11/7/2021).
Lalu kapan interaksi obat dapat menguntungkan? Prof Zullies Ikawati mengatakan beberapa jenis penyakit membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu atau komorbid.
“Bahkan satu penyakitpun bisa membutuhkan lebih dari satu obat. Contohnya hipertensi,” terang Prof Zullies Ikawati.
Pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, menurut Prof Zullies dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bahkan bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi.
“Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu memiliki mekanisme yang berbeda, sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru,” papar Prof Zullies.
Dalam hal ini, obat tersebut memang berinteraksi, tetapi interaksinya saling menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah. Kendati demikian, Prof Zullies mengingatkan untuk penting memperhatikan risiko efek samping, karena semakin banyak obat tentunya risiko bisa meningkat.
Lalu kaitannya dengan terapi COVID-19, Prof Zullies menyebut COVID-19 sebagai penyakit yang unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain sangat berbeda.
Pada COVID-19 yang bergejala sedang sampai berat misalnya, sering terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain. Oleh karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin.
“Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian,” kata Prof Zullies Ikawati.
Terkait dengan Interaksi obat yang bisa merugikan, Prof Zullies mengatakan hal itu mungkin terjadi jika ada suatu obat yang bisa menyebabkan berkurangnya efek obat lain yang digunakan secara bersama. Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama.
“Maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya,” katanya.
Jika efek samping tersebut membahayakan, Prof Zullies menyebutnya sebagai hasil akhir yang membahayakan. Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi COVID-19, atau azitromisin dengan levofloksasin, mereka sama-sama memiliki efek samping yang mengganggu irama jantung.
“Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan,” kata Prof Zullies.
Interaksi obat juga dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga bisa berbahaya jika efek tersebut berlebihan.
“Misalnya efek penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya,” ungkapnya.
Menurut Prof Zullies, kadangkala dalam terapi tidak bisa dihindarkan untuk menggunakan kombinasi obat, bahkan bisa lebih dari 5 jenis obat. Untuk itu, perlu dipilih obat yang paling kecil risiko interaksinya.
Banyak buku-buku teks tentang Interaksi obat yang dapat digunakan sebagai panduan dalam memilih obat yang akan dikombinasikan untuk meminimalkan interaksi obat.
“Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis. Yang artinya aman-aman saja untuk digunakan bersama,” kata Prof Zullies.
Pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya. Mekanisme interaksi itu bisa melibatkan aspek farmakokinetik yakni mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain, atau farmakodinamik artinya ikatan dengan reseptor atau target aksinya.
Untuk obat yang interaksinya terjadi jika mereka bertemu secara fisik, seperti obat antibiotika golongan kuinolon dengan kalsium yang membentuk ikatan kelat misalnya, maka pemberian dengan jeda waktu yang lebar dapat menghindarkan interaksinya.
“Tetapi jika mekanismenya adalah mempengaruhi metabolisme obat sehingga menyebabkan kadar obat lain meningkat atau berkurang, maka solusinya dengan penyesuaian dosis obat,” kata Prof Zullies.
Sementara terkait kemungkinan interaksi obat menyebabkan kematian, Prof Zullies mengatakan tidak semudah itu. Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan.
“Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan, misal menghentikan atau mengganti obatnya,” terang Prof Zullies.
Selain itu, perlu adanya kerjasama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien yakni para dokter, perawat, apoteker, dan lainnya, sehingga dapat memantau secara lebih cermat, sehingga tidak membahayakan pasien.
“Jadi, jika ada yang menyebut bahwa kematian pasien Covid adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar, keliru dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post