Jakarta, Prohealth.id – Upaya menanggulangi jumlah perokok anak memang tak semudah membalik telapak tangan tanpa disertai keseriusan pemerintah pusat dan daerah mewujudkan komitmen menciptakan kota layak anak.
“Saya tuh paling nggak suka sama perokok. Asapnya nggak tahan banget, jadi bukannya saya mau diskriminasi, tidak berteman dan berdekatan dengan perokok, tapi nggak sehat buat saya. Apalagi buat anak-anak saya nanti,” ujar Mayang Diana, seorang pekerja perempuan di salah satu media massa Indonesia. Tak tanggung-tanggung, kecemasan terhadap rokok membuat Mayang memberikan kriteria suami masa depannya kelak bukan pria yang merokok. Perempuan asal Solo ini bercita-cita memiliki rumah yang bebas rokok dan layak untuk tumbuh kembang anak-anak.
“Iya, soalnya kalau bapaknya aja merokok, anak-anak sudah terpapar jadi perokok pasif sejak dini, aku nggak tahan, anak-anak saya juga akan tidak sehat,” ungkapnya.
Kecemasan Mayang bukanlah tanpa alasan. Dilansir dari Indonesia Drugs Report (2019), ada 5 dari 100 orang anggota rumah tangga memiliki kebiasaan merokok. Sementara menurut data ‘Profil Anak Indonesia 2019’ yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, ada sekitar 84,4 juta jiwa anak atau sekitar 31 persen populasi anak dari total populasi penduduk di Indonesia. Artinya, pemerintah memiliki tanggung jawab sosial memberikan jaminan hak kesehatan dan perlindungan anak.
Sebenarnya, hak-hak anak telah terakomodasi dalam Konvensi Hak Anak (KHA), Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Menurut Entos Zainal, Asdep Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA), salah satu instrumen hukum yang paling kuat dalam mengakomodasi hak kesehatan anak adalah Hak Konvensi Anak.
“Dalam konvensi tercantum; anak berhak untuk menikmati status kesehatan tertinggi yang dapat dicapai untuk memperoleh sarana-sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan,” ujar Entos pada workshop Kota Layak Anak beberapa waktu yang lalu.
Untuk mencapai tujuan kesehatan dan perlindungan, Entos menyebut perlu ada upaya ekstra mereduksi paparan rokok yang diterima anak selama ini. Upaya ini bisa dipelajari salah satunya dari kecemasan Mayang yang tak ingin punya anggota keluarga perokok. Menurut Global Youth Tobacco Survey (2019), 58 persen paparan asap rokok dari orang lain didapatkan anak-anak justru dari dalam rumah. Ada 66 persen lain paparan asap rokok bersumber dari ruang tertutup di tempat-tempat umum, dan 67% bersumber dari ruang terbuka di tempat umum.
Tak hanya dalam ruangan, anak juga sangat rentan mendapatkan paparan rokok yang bersumber dari iklan dan promosi sponsor rokok. Masih dilansir dari sumber data yang sama, ada 65 persen anak terpapar rokok justru dari tempat penjualan, 65 persen bersumber dari iklan rokok di TV, ada 61 persen terpapar dari iklan di luar gedung. Selain itu masih ada 36 persen anak juga ikut terpapar rokok dari iklan dan promosi di media sosial.
Entos memang tak menampik ada banyak faktor anak-anak menjadi target pasar bisnis rokok. Indonesia sebagai pasar terbesar di dunia dengan jumlah anak sepertiga dari total populasi menandakan anak-anak adalah konsumen masa depan yang menjanjikan bagi industri rokok. Kondisi ini semakin mudah karena anak-anak dan remaja punya kecenderungan lebih responsif dan gemar mengikuti tren apalagi jika hal itu menarik dan unik.
Oleh sebab itu, pemerintah dalam melalui Perpres No.18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024 sudah merumuskan ‘Pengembangan Kawasan Sehat’ tingkat kabupaten atau kota sehat yakni, lingkungan sehat, upaya kesehatan sekolah. Melalui RPJMN ini, regulasi bertujuan mendorong pemerintah pusat dan daerah mendorong hidup sehat. Beberapa cara yang dirumuskan adalah peningkatan cukai hasil tembakau secara bertahap dengan mitigasi dampak bagi petani tembakau dan pekerja industri hasil tembakau, pelarangan total iklan dan promosi rokok, perbesaran pencantuman peringatan bergambar bahaya merokok, perluasan pengenaan cukai pada produk pangan yang berisiko tinggi terhadap kesehatan.
“Untuk mengupayakan hal ini kita masih ada agenda yang belum selesai yakni revisi PP 109/2012,” pungkas Entos.
Oleh sebab itu, Entos menegaskan untuk memulai kota layak anak dimulai dari hal yang terkecil dengan mewujukan rumah atau tempat tinggal ramah anak. Pemerintah daerah perlu melakukan revisi PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dengan mengutamakan beberapa aspek utama.
Pertama, Penerapan KTR di satuan pendidikan yakni tingkat sekolah, madrasah. Kedua, perlu ada aturan pelarangan iklan rokok bagi anak dan ketentuan jam tayang iklan rokok. Ketiga, revisi PP ini harus memuat pula aturan untuk tidak melibatkan anak dalam iklan rokok. Keempat, harus berisikan aturan tidak memuat iklan rokok di media cetak untuk anak. Kelima, perlu ada aturan melarang menjual atau memberi rokok kepada anak. Keenam, pentingnya informasi, edukasi dan komunikasi kepada anak mengenai bahaya rokok.
“Implementasi kota layak ini dimulai dari kawasan tanpa rokok [KTR] yakni salah satu indikator yang harus terpenuhi dalam rumusan KTR ini adalah tdak ada iklan, promosi, dan sponsor serta kerjasama dengan CSR perusahaan rokok pada kegiatan yang melibatkan anak,” tegas Entos.
KTR pun tidak boleh sekadar ada hanya demi menggugurkan kewajiban undang-undang ataupun peraturan daerah. Entos menegaskan pentingnya kehadirna KTR sebagai prasyarat kota layak anak juga dilengkapi dengan lembaga pengawas KTR. Dengan demikian, cita-cita mewujudkan kota layak anak secara bertahap bisa terwujud lewat evaluasi implementasi kebijakan.
Discussion about this post