Jakarta, Prohealth.id — Ketua No Tobaco Community (NoTC) Bambang Priyono menyambut gembira terbitnya Perda Kota Bandung No 4 Tahun 2021 Tentang Kawasan Tanpa Rokok. Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang lahir di masa pandemi itu sangat dibutuhkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
“Kesehatan masyarakat akan meningkat jika mengurangi konsumsi rokok dengan diimplementasikannya Perda KTR,” kata Bambang dalam kegiatan yang diselenggarakan Forum Warga Kota (FAKTA) dan ProTC pada Kamis, (15/7/2021) lalu.
Bambang menegaskan perda KTR hadir dengan tujuan agar warga Kota Bandung dapat menikmati udara yang sehat dan segar. Hal ini penting agar warga yang tinggal di dalam ruangan tidak terpapar asap rokok, karena udara diluar telah tercemar.
“Jangan sampai di dalam ruangan ada polusi,” katanya.
Hal lain yang tak kalah penting dari per untuk melindungi anak-anak dan remaja dari pengaruh buruk iklan, promosi dan sponsor rokok dan menekan perokok pemula.
“Saat ini, anak dan remaja terpengaruh iklan promosi yang hanya beberapa meter dari rumah mereka,” terang Bambang.
Perda KTR juga melindungi ibu hamil dan anak dari paparan asap rokok orang lain, termasuk melindungi HAM. Sebelum KTR ditetapkan di Kota Bandung, banyak yang menyebut aturan tersebut melanggar HAM, karena identik dengan melarang orang merokok.
“Padahal justru tidak. Dengan KTR kita melindungi hak azasi semua orang, karena setiap orang berhak atas udara yang bersih bukan menghirup asap rokok,” kata Bambang.
Selain itu, Bambang menjelaskan, Perda KTR diperlukan untuk mengurangi risiko penularan Covid-19. Pasalnya, ketika merokok sembarangan, dipastikan mereka buka masker di tempat umum.
“Itu berisiko sekali. Perilaku merokok juga menyebabkan penyakit tidak menular yang akan menjadi penyakit penyerta (komorbid) yang memperparah gejala jika terpapar Covid-19,” terang Bambang.
MITOS DAN FAKTA KTR
Kawasan Tanpa Rokok yang selanjutnya disingkat KTR adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok, memproduksi, menjual, mengiklankan dan atau mempromosikan produk tembakau.
Menurut Bambang, perjuangan mereka mengusulkan Perda KTR tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang. Belum lagi, saat itu banyak yang beranggapan bahwa KTR akan melarang orang merokok.
“Ini sulit, karena beberapa anggota dewan juga perokok, sehingga dianggap Perda KTR akan melarang mereka merokok,” katanya.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) tidak melarang orang untuk merokok. Menurut Bambang, yang dilarang khusus di kawasan-kawasan tertentu saja. “Di KTR yang dilarang bukan kegiatan merokok saja, tetapi juga memproduksi, menjual dan mengiklankan, mempromosikan produk tembakau,” katanya.
WASPADA PEROKOK ANAK MASIH TINGGI
Bambang Priyono mengungkapkan, prevalensi merokok pada anak usia 10-18 tahun cukup tinggi. Awalnya pada 2013 hanya sebesar 7,3 persen dan pemerintah mencoba menurunkannya di dalam RPJMN di tahun 2019 menjadi 5,4 persen.
“Tetapi itu gagal karena hasil Riskesdas tahun 2018 itu prevalensinya sebesar 9,1 persen,” katanya
Otomatis di tahun 2019 target yang ditetapkan 5,4 persen itu gagal tercapai. Kemudian pemerintah berupaya memperbaikinya di RPJMN terbaru (2024) dengan menetapkan target prevalensi perokok anak sebesar 8,7 persen.
Menurut Bambang, target tersebut tidak akan tercapai tanpa kerjasama semua pihak. “Ini kan target pemerintah pusat, tanpa ada kerjasama dengan daerah ataupun masyarakat, ini tidak akan tercapai,” jelasnya.
Bambang menilai, saat ini ada dua kubu besar yang mendominasi, yakni kubu pemerintah dan kubu industri. Jika pemerintah ingin menurunkan prevalensi perokok anak, namun industri justru sebaliknya. Mereka ingin perokok anak tetap banyak.
“Nah ini, meskipun setuju dengan apa yang dicanangkan pemerintah, tapi tidak mudah. Karena itu, dibutuhkan kerjasama semua pihak,” kata Bambang.
Kondisi ini diperburuk dengan temuan prevalensi pengguna rokok elektronik di tahun 2018 pada usia 10-18 tahun sebesar 10,9 persen. Menurut Bambang, saat ini pengguna rokok elektrik justru lebih tinggi ketimbang rokok konvensional.
“Ini sangat mengkhawatirkan sekali,” katanya.
Bambang menambahkan, “Jadi sebenarnya kita perang dengan industri rokok yang ingin menaikkan perokok anak, sedangkan pemerintah ingin menurunkan jumlah perokok anak”.
KEBIJAKAN PENGENDALIAN TEMBAKAU
Bambang Priyono menegaskan jika pemerintah pusat telah melakukan sejumlah cara untuk mengendalikan produk tembakau. Cara-cara yang dipilih, diantaranya; menaikkan harga rokok, peringatan kesehatan pada bungkus rokok dan larangan iklan promosi sponsor (IPS) rokok.
Sementara itu, pemerintah daerah juga melakukan hal serupa, melalui kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Sejumlah hal dilakukan, mulai dari larangan iklan promosi sponsorship (IPS), larangan display penjualan rokok hingga layanan upaya berhenti merokok
“Ini menunjukkan pemda sangat serius memperhatikan kesehatan masyarakatnya,” kata Bambang.
Kendati demikian, pekerjaan rumah pemerintah Kota Bandung masih banyak. “Karena sekarang baru terbit Perda KTR, maka nanti dibutuhkan petunjuk teknis, menyusun satgas, dan lain-lain,” katanya.
Menurut Bambang, Perda yang khusus melarang IPS dan larangan display penjualan rokok juga harus segera diimplementasikan. Kota Bandung jangan ragu untuk melakukannya, karena sejauh ini telah ada dua kota yang berhasil menerapkan Perda KTR.
“Sejauh ini yang melarang IPS dan melarang display rokok baru Kota Bogor dan Depok, karena itu patut dicontoh,” katanya.
DELAPAN INDIKATOR KTR
Untuk mewujudkan Perda KTR, Kota Bandung menetapkan 8 lokasi sebagai kawasan bebas rokok. Daerah itu benar-benar steril dari produk tembakau. Bagi yang ingin merokok, pilihannya tinggal keluar dari kawasan tersebut.
“Jadi tidak perlu khawatir bagi perokok, karena haknya tidak diambil,” kata Bambang.
Dengan ditetapkannya Perda KTR di Kota Bandung, maka fasilitas layanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat bermain anak dan tempat ibadah harus bebas dari asap rokok.
“Batasnya adalah pagar atau batas terluar. Diluar itu mereka boleh merokok”, terang Bambang.
Sementara khusus sarana transportasi umum, batasannya ada di dalam kendaraan. Begitu juga dengan tempat kerja, batasannya hingga pagar terluar. “Ini sifatnya wajib,” kata Bambang
Sementara di tempat umum, batasannya hingga di kucuran air dari atap terluar. Begitu pula dengan tempat lain yang ditetapkan, batasannya di pagar/batas terluar. “Kedua ini sifatnya wajib dan harus dipatuhi semua orang”, katanya.
Perda KTR Kota Bandung juga mengeluarkan 8 indikator kawasan tanpa rokok. Indikator itu meliputi: tidak ada orang yang merokok. Harapannya para Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tidak lagi merokok sembarangan.
Indikator kedua, tidak ada bau rokok. “Jika ada bau rokok berarti belum mengimplementasikan KTR,” kata Bambang.
Ketiga, tidak ada puntung rokok. “Ini penting agar Bandung tidak ada puntung rokok yang nyelip di pot bunga,”
Kemudian, tidak ada asbak. Lalu ada tanda dilarang merokok dan tidak ada ruang merokok di dalam gedung.
“Mereka yang ingin merokok harus diluar gedung,” kata Bambang.
Berikutnya, tidak ada indikasi iklan, promosi dan sponsor rokok, misalnya; tempat sampah, jam dinding, kalender, dan lain-lain, serta tidak ada penjualan rokok, kecuali di tempat-tempat penjualan khusus.
“Dengan Perda ini, penjual tidak boleh memajang produk rokok. Kalo pun menjual rokok harus diumpetin. Tidak boleh terbuka,” ungkap Bambang.
Ketika rokok yang dijual di mini market ditempatkan khusus di belakang kasir, menurut Bambang hal itu berpotensi membuat anak-anak terpapar iklan rokok lalu mencobanya. “Belum lagi, di depan kasir sering banyak media-media iklan rokok yang juga menarik bagi anak-anak,” katanya.
“Biar gampang dikenal, kita menyebutnya 7 no, 1 yes,” tegas Bambang.
ANEKA KEGIATAN
Dengan hadirnya delapan indikator itu, perubahan nyata diharapkan terjadi di Kota Bandung, termasuk memberi dampak bagi kantor dan instansi pemerintah yang kebanyakan pegawainya adalah perokok.
Oleh karena itu, menurut Bambang, usulan melakukan ‘sidak’ untuk menghilangkan asbak di kantor-kantor pemerintahan patut dipertimbangkan. “Ini untuk OPD-OPD. Jika tidak ada asbak, mereka tidak diperbolehkan merokok di kantor,” terangnya.
Usulan lainnya adalah penggunaan tulisan atau logo kawasan tanpa rokok. “Minimal ke OPD terus ke tempat-tempat umum dan lain sebagainya,” ujar Bambang.
Setelah itu, implementasi kawasan tanpa rokok diberlakukan di semua tempat di Kota Bandung. Termasuk juga angkot, pasar hingga perkantoran.
Selain itu sanksi tipiring alias tindak pidana ringan bagi mereka yang melanggar Perda KTR akan diberlakukan. Denda tidak hanya terhadap orang per-orang namun juga instansi yang kedapatan melanggar aturan.
“Untuk mengatur itu semua, nanti ada juknis, satgas dan lain sebagainya,” kata Bambang.
Selain itu, Bambang akan melibatkan media saat sidak dilakukan. Hal itu dianggap ampuh untuk menegakkan aturan. “Jika melibatkan media akan akan diviralkan, dan pejabat sering tidak berani ke media,” katanya.
Tak berhenti sampai disitu, penegakan Perda KTR di Kota Bandung juga akan melihat sejauh mana pelarangan display rokok telah dipatuhi. Oleh karena itu, Bambang mengusulkan agar orang dan/atau lembaga dan/atau badan yang menjual rokok di KTR dilarang memperlihatkan secara jelas jenis dan produk rokok.
“Mereka cukup menunjukkannya dengan tanda tulisan “disini tersedia rokok”, katanya.
Sementara terkait dengan kekhawatiran bahwa pendapatan asli daerah akan berkurang dari restribusi iklan rokok, Bambang mengatakan, Pemkot Bandung tidak perlu khawatir. Pendapatan daerah bisa digenjot dari sektor lain dan itu sangat terbuka lebar.
Untuk itu, Pemkot Bandung bisa berkaca dari dua daerah lain, seperti Bogor dan Depok. Di tahun 2017, PAD Kota Bogor meningkat menjadi Rp728,66 miliar dari sebelumnya hanya Rp464,79 miliar di tahun 2013.
“Begitu juga dengan Kota Depok yang pada 2015 menghasilkan PAD sebesar Rp818,20 miliar. Angkanya meningkat Rp922,29 miliar tahun 2016,” tandas Bambang.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post