Jakarta, Prohealth.id – Kawasan Tanpa Rokok menjadi salah satu kebijakan yang tepat untuk melindungi masyarakat dari pandemi Covid-19 dan bahaya rokok.
Oleh sebab itu Universitas Muhammadiyah Magelang (Unimma) melalui lembaganya, Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) menggelar focus group discussion (FDG) terkait rumusan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Kegiaran FGD ini diikuti oleh Bappeda, Bagian Hukum dan Dinas Kesehatan dari 22 kota/kabupaten dampingan pada Sabtu (31/7/2021).Kegiatan ini merupakan wujud komitmen kuat MTCC untuk berkontribusi pada penegakan hak kesehatan yang harus dinikmati semua lapisan masyarakat.
Penegakan regulasi tentang KTR harus menjadi prioritas Pemerintah Daerah (Pemda). Oleh sebab itu, MTCC Unimma ingin menggugah kembali kesadaran Pemda, bahwa regulasi KTR merupakan amanah UU No 36 Tahun 2009 Pasal 115. Tertuang dalam beleid tersebut, Pemda wajib menetapkan KTR di wilayahnya, terutama di tujuh tempat yaitu; fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum serta tempat lain yang ditetapkan.
Selanjutnya, tuntutan yang sama tercantum pada Pasal 49 PP Nomor 109 Tahun 2012 dalam rangka penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan KTR) Hal ini diperjelas kembali pada Pasal 56 yang menyatakan bahwa Pemda wajib menetapkan KTR di wilayahnya dengan Peraturan Daerah (Perda).
Dari 22 kota/kabupaten di Jawa Tengah yang menjadi dampingan MTCC Unimma, baru 8 kota/kabupaten yang sudah memiliki Perda KTR, lainnya dalam bentuk Peraturan Bupati/Walikota, Surat Edaran Bupati/Walikota, dan 8 kota/kabupaten sama sekali belum ada regulasi. Kondisi ini harus menjadi perhatian mengingat di level propinsi saja sudah ditetapkan Peraturan Gubernur No 3 Tahun 2019 tentang KTR.
Hal yang perlu diperhatikan lagi adalah adanya Perda KTR sebagai indikator beberapa penghargaan level nasional, seperti pemghargaan Kota Layak Anak (KLA). Sampai dengan saat ini, belum satupun kota/kabupaten
di Indonesia yang berhasil memenuhi 24 indikator pencapaian KLA. Pedoman penilaian KLA menuntut fasilitas Kesehatan, Pendidikan dan ibadah setidaknya 90 persen merupakan KTR. Sedangkan fasilitas umum setidaknya 50 persen, dan tanpa promosi dari industry rokok. Hal yang paling penting adalah manajemen reklame rokok yaitu Iklan Promosi dan Sponsor (IPS). Promosi rokok di lingkup umum memperparah pergeseran belanja rumah tangga.
AKIBAT IKLAN ROKOK KELUARGA JADI MISKIN
Ada korelasi masif pengaruh iklan rokok terhadap konsumsi rumah tangga. Selama ini, pengeluaran rumah tangga untuk pembelian rokok lebih besar daripada untuk pembelian protein, seperti daging sapi, ayam atau telur, yang berdampak pada gangguan tumbuh kembang anak (stunting).
Perda KTR ini sangat penting sebagai wujud larangan merokok di ruang publik pada tingkat lokal dapat memengaruhi persepsi penduduk terhadap norma merokok di masyarakat. Regulasi KTR di berbagai negara berhasil melindungi mereka yang bukan perokok, meningkatkan penghentian merokok dan mengurangi konsumsi rokok.
The Centers for Disease Control and Prevention menyimpulkan bahwa dengan pemberlakuan pelarangan merokok telah menurunkan prevalensi perokok dewasa. Di Indonesia, terjadi peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 Tahun dari 28,8 persen pada tahun 2013 menjadi 29,3 persen pada tahun 2018 berdasarkan Riskesdas, 2018. Hingga pandemi Covid-19 ini, prevalensi merokok semakin meningkat. Menurut data dari Kemenkes RI menyatakan jumlah perokok muda yang semakin meningkat di masa pandemi Covid 19 saat ini.
Dari hasil survei di 25 provinsi, bahwa perokok aktif anak usia 15 sampai 24 tahun mencapai 35 persen. Jumlah perokok usia muda ini lebih besar dibandingkan jumlah perokok aktif usia 25-34 tahun yang sebesar 24 persen, usia 35-44 tahun sebesar 21 persen, dan sebanyak 20 persen pada usia di atas 45 tahun.
Fenomena inilah yang dinilai MTCC sebagai kondisi darurat KTR. Harus ada langkah masif untuk menurunkan prevalensi merokok, agar pengeluaran rumah tangga untuk membeli rokok juga mengalami penurunan. Demikian pula bagi pemerintah, dapat mengurangi beban atas biaya kesehatan penduduknya akibat konsumsi rokok.
PEMDA TAK BERIKAN PRIORITAS UNTUK KTR
Salah satu faktor utama lemahnya penegakkan KTR disebabkan Pemda lebih mementingkan aspek ekonomi dibandingkan aspek kesehatan. Cara pandang seperti ini disebut sebagai kebijakan yang bersifat myopik, tidak
melihat jauh ke depan dampak dari kebijakan yang ada saat ini. Pada jangka pendek, penerimaan dari iklan rokok merupakan sumber pendapatan daerah. Namun, untuk jangka panjang, konsumsi rokok akan berdampak pada timbulnya berbagai penyakit dan akan menjadi beban bagi negara untuk biaya pengobatan.
Penegakkan KTR juga sebagai wujud langkah Pemda untuk melindungi generasi muda dari masifnya Gerakan industri rokok. Tanpa Perda maka penegakkan KTR makin susah, sementara tanpa adanya perhatian serius pemerintah maka jumlah perokok di Indonesia makin tinggi dan akan menjadi bom waktu di masa depan.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post