Magelang, Prohealth. id – Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara Latifa Hesti Purwaningtyas menjelaskan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kabupaten Banjarnegara didasarkan atas sejumlah aturan, seperti UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan PP No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan.
“Selain itu, PP No.109 tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan juga menjadi dasar hukum penyusunan Perda KTR,” kata Latifa dalam FGD bertema “Percepatan Implementasi Regulasi Kawasan Tanpa Rokok dalam Upaya Melindungi Masayarakat dari Bahaya Rokok dan Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan pada Sabtu, (31/7/2021).
Sejarah terbentuknya Perda KTR di Kabupaten Banjarnegara dimulai pada awal tahun 2018, ketika berhasil menetapkan Perbub No.5 Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Sejumlah tindak lanjut dilakukan, salah satunya di bulan Mei 2018, ketika Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara bertemu bagian hukum Setda dan Poltekes. Pertemuan itu membahas peraturan kawasan tanpa rokok.
Pada Agustus 2018, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara mengadakan pertemuan lanjutan terkait pembahasan draf Perda KTR.
“Di bulan itu, naskah akademik dan draf Raperda KTR diproses oleh bagian hukum Setda Kabupaten Banjarnegara untuk diajukan ke DPRD,” terang Latifa.
Pada Oktober 2018 dilaksanakan fasilitasi Raperda ke Biro Hukum Setda Provinsi Jawa Tengah yang dihadiri oleh Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Saat itu naskah Raperda semakin matang.
Pembahasan Raperda KTR terus berlanjut hingga Desember 2018, ketika DPRD Kabupaten Banjarnegara bersidang untuk mengambil keputusan terkait persetujuan Raperda Kawasan Tanpa Rokok.
Akhirnya pada Februari 2019, Perda No 3 Tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok resmi disetujui DPRD. “Begitu rangkaian kegiatan kami dalam menerbitkan Perda KTR,” kata Latifa.
PARA PEROKOK USIA MUDA
Latifa Hesti sempat khawatir ketika mengetahui prevalensi perokok usia 10-18 tahun di Indonesia yang ditargetkan turun, ternyata realitanya meningkat secara konsisten.
“Saat melihat grafiknya naik terus, kami harus melakukan sosialisasi bahaya merokok agar grafiknya bisa menurun,” katanya.
Hal itu bukan perkara mudah, karena letak geografis Kabupaten Banjarnegara merupakan wilayah pegunungan. “Mungkin banyak yang tahu daerah Karang Kobar, Kali Bening, Dieng, Batur. Disana suhunya dingin sekali, sehingga masyarakat perokok sangat banyak,” papar Latifa.
Di antara para perokok itu, tak sedikit yang merupakan anak-anak usia muda. Karena pengaruh lingkungan sekitar, dimana bapak dan kakaknya sudah merokok, maka tidak mengherankan banyak anak-anak terpapar asap rokok.
“Di daerah yang cuacanya dingin terjadi peningkatan perokok di usia anak-anak,” kata Latifa. Mau tak mau, Dinkes harus melakukan intervensi yang maksimal ke sekolah-sekolah. Hanya saja, upaya tersebut terkendala maraknya kasus positif Covid-19.
“Kegiatan itu sangat menurun dengan adanya pandemi, karena kami berfokus pada penanganan Covid ini,” terangnya.
Di Banjarnegara sendiri, kasus positif Covid-19 terbilang tinggi, diikuti angka kematian dan Bed Occupancy Rate (BOR) yang juga relatif tinggi. Itu yang membuat dinas kesehatan setempat masih berjibaku pada penanganan Covid-19.
“Sehingga promosi kesehatan tentang berhenti merokok saya akui agak menurun,” ungkap Latifa.
Sementara itu, rokok telah mengakibatkan terganggunya prestasi belajar di sekolah. Anak-anak yang terpapar tembakau biasanya memiliki konsentrasinya yang buruk, sehingga prestasi belajarnya dipastikan terganggu.
Perkembangan paru-paru mereka juga ikut terganggu.
“Banyak muncul penyakit paru, TBC, pneumonia, dan lain-lain,” kata Latifa.
Mereka yang terpapar asap rokok akan sulit sembuh saat mengalami sakit, karena rokok mempengaruhi sistem imun di dalam tubuh. “Sistem imun mereka akan menurun, sehingga jika sakit akan bertambah parah,” terangnya.
Pada kondisi terburuk, ketika kecanduan tidak terelakkan, maka anak-anak itu sulit untuk berhenti. Jika memutuskan berhenti merokok, maka timbul gejala penarikan seperti: depresi, insomnia, mudah marah dan masalah mental yang dapat berdampak negatif pada pendidikan sekolah dan perilakunya. Itu karena rokok merupakan zat adiktif yang ketika akan berhenti merokok malah memunculkan efek lain.
Menurut Latifa, anak-anak yang merokok, wajahnya sering terlihat lebih tua dari usianya. Mereka juga memiliki masalah terkait kulit, seperti jerawat serta menimbulkan plak pada gigi.
BANJARNEGARA NASIBMU KINI
Latifa mengatakan Kabupaten Banjarnegara telah menetapkan 35 wilayah kerja Puskesmas dalam penerapan Perda KTR. Mulai pada tahun 2019, sebanyak 25 wilayah dari 35 wilayah kerja Puskesmas sebesar 71 persen ditambah dengan sekolah berjumlah 747 dan yang sudah KTR sebanyak 544 sekolah alias 72,8 persen.
Lalu pada tahun 2020 ada 25 wilayah dari 35 wilayah kerja Puskesmas sebesar 71 persen, dengan jumlah sekolah 747 dan yang sudah KTR 672 sekolah.
“Tahun lalu terjadi peningkatan sekolah sebesar 89,9 persen,” katanya.
Walaupun wilayah Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara belum melakukan kerja secara maksimal, Latifa berharap setelah pandemi berlalu, penegakan dan pengawasan Perda KTR bisa dilanjutkan kembali.
Sejauh ini penegakan Perda KTR di Kabupaten Banjarnegara sudah berjalan lancar. Tidak berhenti hanya disitu, sosialisasi Perda KTR juga terus digalakkan, termasuk pada tanggal 21 Maret 2019 dengan sasaran seluruh OPD dan Camat di lantai 1 Gedung Sasana Bhakti Praja Setda Banjarnegara. Mereka juga melakukan edukasi dan penyuluhan tentang bahaya merokok dengan sasaran sekolah SD dan SLTP.
“Harapannya para siswa menjauhi rokok karena memiliki zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan,” terangnya.
Selain itu, Klinik Berhenti Merokok (KBM) di Puskesmas juga dibentuk. “Ini sebagian sudah dimanfaatkan masyarakat walaupun harus dengan motivasi yang tinggi, karena berhenti merokok tidaklah mudah,” ujar Latifa.
Hal lainnya, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kawasan tanpa rokok.
“Ini selalu dilakukan, baik di tingkat kabupaten maupun kecamatan,” tegas Latifa.
Dia menambahkan, tak lupa membuat media cetak berupa stand banner untuk alokasi seluruh OPD, dan membuat media cetak tempel akrilik.
Menurut Latifa, kampanye gerakan masyarakat hidup sehat yang didalamnya ada tema KTR telah berjalan hingga tingkat Kecamatan khususnya di level Puskesmas. Ide kegiatan ini termasuk mengadakan lomba poster kesehatan dengan tema di dalamnya tentang rokok.
“Hanya saja, di masa pandemi ini, kegiatan tersebut tidak bisa kami laksanakan secara maksimal,” terangnya.
Sementara komitmen menciptakan bebas asap rokok di sekolah, salah satunya dengan memasang poster kawasan bebas asap rokok. “Lokasinya ada di Kecamatan Jawaran dan di Desa Derik,” kata Latifa.
Lalu ada peran masyarakat di desa untuk menciptakan kawasan bebas asap rokok. Contohnya di Desa Aribaya yang melakukan kampanye atas inisiatif sendiri agar desa mereka terbebas dari asap rokok.
“Termasuk di Poliklinik Kesehatan Desa (PKD) berkomitmen untuk menciptakan kawasan bebas asap rokok,” terangnya.
SERBUAN ROKOK ELEKTRIK
Terkadang orang menganggap rokok elektrik tidak berbahaya, padahal kenyataannya, kasus-kasus penyakit paru banyak disebabkan oleh penggunaan rokok elektrik.
“Di Amerika Serikat bahkan 55 persen kematian akibat penyakit paru disebabkan oleh rokok elektrik,” ungkap Latifa.
Di negara adikuasa itu tercatat, 2562 kasus penyakit paru akibat rokok elektrik, dan ada sebanyak 3,6 juta pengguna rokok elektrik berada pada kelompok usia sekolah menengah dan atas.
Sementara itu, prevalensi perokok elektrik di Indonesia juga meningkat, sesuai data GATS 2011, Sirkesnas 2016 dan Riskesdas 2018. Sama seperti di luar negeri, banyak yang beranggapan rokok elektrik jauh lebih baik ketimbang rokok tembakau asli.
“Padahal sebetulnya efeknya sama saja, sehingga kita lihat terjadi peningkatan prevalensi perokok elektrik di usia 10-18 tahun,” katanya.
Saat ini, prevalensi untuk usia yang lebih dari 15 tahun mencapai 10,9 persen berdasarkan Riskesdas 2018. Pengguna rokok elektrik meningkat tajam, karena keberadaannya sangat banyak di pasaran. Akses untuk mendapatkannya sangat mudah.
“Itu bahayanya bagi anak remaja kita,” kata Latifa.
Selanjutnya cakupan indikator Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) di Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2020 menemukan hal menarik, yakni persentase anggota keluarga yang tidak merokok hanya 31,57 persen.
“Artinya jumlah keluarga yang perokok ada 69,5 persen. Angka yang sangat-sangat tinggi,” ujarnya.
Data itu menunjukkan jika lebih dari 50 persen di sebuah rumah tangga, anggota keluarganya telah terpapar asap rokok. Oleh karena itu, Latifa menegaskan jika Bupati Banjarnegara, Budi Sarwono sangat komit untuk mendukung hadirnya Perda KTR.
“Kami sudah mempunyai Peraturan Bupati Kab. Banjarnegara No 6 Tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok,” katanya. Setelah itu, ditindaklanjuti menjadi Perda Kabupaten Banjarnegara No 3 Tahun 2019 tentang KTR.
“Pembuatan Perbup dan Perda ini tidak mudah, karena harus melakukan komunikasi dengan para stake holder, dengan anggota dewan, tokoh masyarakat untuk bisa mengajukan Perbup dan Perda tentang Kawasan Tanpa Rokok,” pungkas Latifa.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post