Jakarta, Prohealth.id – Direktur P2PTM Kemenkes RI Cut Putri Arianie menjelaskan bahwa penetapan regulasi dan implementasi KTR di daerah saat pandemi Covid-19 dan sebelum pandemi sama pentingnya. Hal ini berkaitan dengan pengendalian konsumsi rokok yang bisa diterapkan secara optimal.
“Karena semua itu akan berdampak ke hilir yaitu terhadap kesehatan, sementara angka kematian dan kesakitan menjadi tinggi dan tentu saja berimplikasi pada biaya kesehatan,” ungkap Cut Putri dalam focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah Tobacco Control Centre (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang, Sabtu (31/7/2021).
Saat ini, Kemenkes terus mendorong sejumlah pihak untuk terlibat aktif dalam pengendalian konsumsi rokok. Caranya dengan mengajak bekerja sama lintas sektor, khususnya yang memiliki kewenangan di bidang itu.
“Sekarang anak kecil pun tahu, bahwa merokok berbahaya bagi kesehatan. Saya ingin menyegarkan ingatan kita terkait rokok dengan penyakit tidak menular dan Covid-19,” ujarnya.
Menurut Cut Putri, rokok sebagai faktor risiko utama munculnya Penyakit Tidak Menular (PTM) sebesar 80 persen, dan penyebab kematian secara global karena PTM sebesar 77 persen terjadi di negara low middle income countries (LMIC’s).
“77 persen kematian itu terjadi di negara berkembang, Jadi PTMnya tinggi sekali,” tegasnya.
Sejak kecil, kita telah diwanti-wanti oleh orang tua untuk tidak merokok. “Sejak kecil sudah ditanamkah bahwa tidak boleh merokok, karena rokok menjadi faktor risiko utama PTM, yaitu penyakit terkait cardiovaskuler, yang didalamnya ada penyakit jantung, stroke, hipertensi, kanker, penyakit paru kronik, diabetes dan lain sebagainya,” terang Cut Putri.
Sehingga, dari 100 kematian yang ada, 80 diantaranya didominasi oleh penyakit tidak menular (PTM).
Data Tobacco Fact Sheet tahun 2021 menyebutkan, lebih dari 8 juta orang setiap tahunnya meninggal karena tembakau. Sebanyak 1.2 juta diantaranya meninggal sebagai perokok pasif.
“Yang ternyata walaupun tidak merokok, tetapi lingkungannya merokok,” kata Cut Putri.
Konsumsi tembakau juga menyumbang 4,1 persen disability adjustive live years, atau adanya tahun-tahun yang hilang karena tidak produktif dari seorang individu. Ditambah lagi Penyakit Tidak Menular (PTM) di masa pandemi menjadi salah satu komorbid Covid-19 dengan kematian tertinggi. “Jika dilihat dari sini sebenarnya menjadi kuat, mengapa penting sekali penerapan regulasi kawasan tanpa rokok,” ujarnya
PREVALENSI PEROKOK DAN PERAN PEMDA
Cut Putri mengajak untuk menyimak data WHO GTCR, yang menyatakan Indonesia pada tahun 2015 sebagai negara tertinggi ketiga perokok usia diatas 10 tahun. “Ternyata hingga saat ini jumlah itu belum berubah,” ujarnya.
Data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019 juga menunjukkan tren merokok pada anak sekolah remaja cukup tinggi. Dari yang awalnya 18,3 persen di tahun 2016 meningkat menjadi 19,2 persen pada 2019.
Dari data-data tersebut, Cut Putri mengatakan, jangan heran jika riset kesehatan dasar pada tahun 2013 hingga riset terakhir di 2018 menunjukkan peningkatan serupa. “Angkanya 7,25 persen menjadi 9,1 persen. Jadi tidak ada penurunan,” katanya.
Sementara itu, dari 34 Provinsi di Indonesia, sebanyak 77,2 persen telah memiliki aturan kawasan tanpa rokok. Dari angka 77,2 persen itu, yang betul-betul konsisten menerapkan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) ternyata prosentasenya kecil sekali. “Tidak sampai 5 persen atau dibawah 10 persen,” ungkap Cut Putri.
Senada dengan itu, Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri Sri Purwaningsih mengatakan, Perda KTR harus digagas, karena payung hukumnya sudah sangat lengkap.
“Ada UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Ada UU 23 Tahun 2014. Ada PP 109 Tahun 2012. Ada peraturan bersama menkes dan mendagri No 188 dan No 7, dan Surat Edaran Mendagri tahun 2018 dan 2019,” ungkapnya.
Sri Purwaningsih menyebut, secara nasional dari 34 provinsi dan 398 kab/kota, setidaknya ada 24 provinsi yang memiliki Peraturan Daerah (Perda) dan 10 provinsi dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada). Khusus Jawa Tengah, ternyata baru 28 kabupaten/kota yang punya Perda/Perkada tentang kawasan tanpa rokok.
“Sementara Pemerintah Provinsi Jawa Tengah telah memiliki Peraturan Gubernur No.3 tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok,” ucapnya.
Ketika memiliki landasan hukum, setiap daerah hendaknya tidak ragu lagi. “Karena seluruh norma yang ada di dalam perundang-undangan mempunyai kekuatan hukum mengikat, apalagi di dalam normanya menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib menyusun peraturan daerah, maka tinggal melanjutkan saja,” kata Sri.
Implikasi hukum dari suatu kewajiban adalah sanksi apabila aturan tidak dilaksanakan. “Saya yakin para kepala bagian pasti memahami ini, maka mari kita melakukan evaluasi terhadap kebijakan KTR, khususnya Provinsi Jawa Tengah,” kata Sri.
Sri juga mengeluhkan adanya ada 7 kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang belum menerbitkan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok. “Ini menjadi evaluasi kita bersama, bahwa Kabag Hukum dan Kadis Kesehatan harus bertanggungjawab pada penyusunan KTR,” katanya.
Ketika dinas kesehatan berada di garda terdepan, maka bagian hukum akan membantu memproses menormakannya dalam bentuk bahasa-bahasa hukum. “Itu menjadi tugas bagian hukum, karena itu duet maut diperlukan,” terang Sri.
Sri Purwaningsih juga menjelaskan bahwa UU sebagai arah negara, kebijakan antara presiden dengan DPR. Sedangkan PP merupakan perintah presiden sebagai kepala pemerintahan. Adapun peraturan bersama menteri, secara teknis bertanggungjawab untuk memastikan perintah UU dan PP telah dijalankan.
“Maka tolong, mulai hari ini, Cilacap, Kendal, Temanggung, Demak, Grobogan, Blora dan Klaten segera diinisiasi untuk membentuk Perda KTR. Kalau Perda dianggap terlalu berat, ya Perkada,” ujarnya.
Sri Purwaningsih pun menambahkan, “Tolong kabag hukum tujuh kabupaten ini segera berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat untuk membentuk peraturan daerahnya. Supaya kepala daerah tidak dianggap mangkir dari perintah UU”.
MENGAPA PERLU KTR?
Cut Putri mengingatkan agar masyarakat tidak salah dalam menulis bahwa bukan kawasan bebas rokok, menginat masyarakat Indonesia sangat kreatif. Karena itu sebaiknya menggunakan kata-kata, “Kawasan Tanpa Rokok atau Kawasan Tanpa Asap Rokok”.
Dasarnya hukumnya sangat jelas di UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 115. Juga di PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Pada aturan tersebut juga dipaparkan ada tujuh tempat yang terlarang bagi perokok, yakni; fasilitas layanan kesehatan (fasyankes), tempat bermain anak, tempat belajar mengajar, tempat kerja, tempat ibadah, angkutan umum dan fasilitas umum.
Khusus fasyankes, Cut Putri menyebut hal itu berkaitan dengan akreditasi, dimana ada aturan yang mengharuskan tidak boleh ada puntung rokok. “Jika ada akan mengurangi nilai dari fasyankes tersebut,” katanya.
“Bapak ibu tolong diingatkan, agar jangan sampai akreditasi rumah sakitnya menjadi sulit ketika ditemukan puntung rokok,” imbuh Cut Putri.
Sementara tempat belajar mengajar tidak hanya sekolah atau kampuns, namun termasuk tempat kursus dan lokasi olah raga. “Di tempat itu harus bebas dari rokok,” katanya.
Menurut Cut Putri, kita memerlukan Perda KTR untuk melindungi non perokok dari kensekuensi terpapar asap rokok, mewujudkan udara bersih dan sehat hingga memotivasi berhenti merokok dan mengurangi konsumsi rokok.
Selain itu, Perda KTR bertujuan agar jumlah perokok berkurang, sehingga penyakit ikut berkurang. Jika melirik “12 cara hidup sehat” sesuai arahan WHO, satu diantaranya menyebutkan jangan menggunakan rokok jenis apapun. “Mau rokok konvensional atau rokok elektrik jangan dicoba,” katanya.
Data Tobacco Atlas 2018 juga menjelaskan tentang beberapa penyakit akibat tembakau. Yang paling tinggi adalah terkait jantung, lalu kanker paru, infeksi saluran pernafasan, diabetes dan tuberkulosis.
Selain itu, ada SDG’s Goal yang harus dicapai, yaitu bagaimana menurunkan 1/3 kematian dini akibat Penyakit Tidak Menular (PTM). Artinya jika rata-rata harapan hidup manusia Indonesia sebesar 71,4 tahun, maka ada yang meninggal akibat PTM dibawah usia itu.
“Usia muda itu, antara 30 – 50 tahun banyak yang meninggal di negara-negara berkembang, seperti Indonesia,” ungkapnya.
Cut Putri menjelaskan, hal itu juga berkaitan dengan tingkat kesehatan di tahun 2030 yang bertepatan dengan bonus demografi. Mau tidak mau, kita harus mengendalikan konsumsi tembakau.
Sementara terkait hubungan rokok dengan pandemi Covid-19, Cut Putri menyebutnya sebagai risiko terhadap Penyakit Tidak Menular. “Disana dikatakan, banyak orang-orang mati saat Covid-19 ketika memiliki faktor risiko obesitas dan merokok,” katanya.
“Bahkan merokok dikatakan sebesar 1,5 kali terjadinya pemberatan meningkatkan angka kematian akibat Covid-19,” kata Cut Putri menambahkan.
Sementara itu, Sekretaris Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kemendagri Sri Purwaningsih mengingatkan bahwa kebijakan tentang KTR sudah ada di dalam Perpres no 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
“Ada target pembangunan nasional untuk tahun 2021-2024. Termasuk layanan berhenti merokok tentang jumlah kab/ kota yang menyelenggarakan layanan UBM juga advokasi ke pemerintah daerah. Ini target-targetnya sudah ada,” terang Sri.
Itu sebabnya, kawasan tanpa rokok sebagai produk perundang-undangan harus ditindaklanjuti dan di dalam pelaksanaan program tersebut harus sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional.
“RPJMN harus diacu oleh RPJMD, baik provinsi maupun kabupaten/ kota. RPJMD menjadi acuan kerja bagi pemerintah kota dan kabupaten. RPJMD harus dielaborasi dalam rencana pembangunan daerah tahunannya,” kata Sri.
Sesuai target RPJMN, diharapkan Perda KTR telah hadir di 374 kabupaten/kota pada tahun 2021 dan sebanyak 424 kabupaten/kota di tahun 2022.
IMPLEMETASI PERDA KTR KINI
Di dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, Perda KTR yang terkait dengan kesehatan merupakan tanggungjawab pemerintah secara khusus menteri kesehatan yang bertanggungjawab kepada presiden.
“Sementara di daerah ada dinas kesehatan baik provinsi maupun kabupaten/ kota,” ujar Sri Purwaningsih.
Lalu dimana posisi Kementerian Dalam Negeri? Posisi Mendagri menurut Sri Purwaningsih adalah sebagai koordinator, melakukan pembinaan dan pengawasan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.
“Juga sebagai pengawal seluruh Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) kementerian/lembaga,” katanya. Karena itu secara nasional ada 30 lebih urusan pemerintahan, dan ketika ingin membangun kebijakan terhadap pemda, Kemendagri berada ditengah.
“Ia harus memastikan apakah pemerintah daerah mampu melaksanakannya, apakah kebijakan K/L sudah tepat, apakah bisa mensuksekan kebijakan tersebut. Itulah mendagri berada disana,” terang Sri.
Oleh karena itu, ketika Perda KTR ditetapkan, pemerintah daerah harus memastikan setiap warganya mendapatkan hak standar kesehatan tertinggi melalui lingkungan yang sehat.
“Tanggungjawab pemerintah untuk melindungi warganya dari bahaya termasuk bahaya bagi kesehatan,” katanya.
Di sisi lain, upaya mengendalikan konsumsi rokok tidak hanya berdampak pada kesehatan diri dan orang disekitarnya, namun juga kerugian negara yang ditimbulkan. Oleh karena itu penting untuk memberikan keseimbangan hak bagi non perokok.
Implementasi lainnya, adanya kepastian hukum yang mengikat karena kebijakan yang bersifat sukarela tidak efektif. “Ini sudah terbukti,” kata Cut Putri Arianie dari Kemenkes.
Juga tidak ketinggalan, regulasi yang berdampak luas, yakni; cukai. “Kenapa cukai? Cukai membuat harga rokok menjadi mahal. Kita berharap cukai naik, sehingga rokok tidak bisa dijangkau,” terangnya.
Penelitian Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) menyebutkan, hampir 80 persen perokok berada di kuintil yang paling rendah, yakni masyarakat paling bawah.
“Jadi dia tidak menggunakan uangnya untuk membeli makanan bergizi tetapi lebih membeli rokok,” kata Cut Putri.
Dengan kebijakan kenaikan cukai, Cut Putri berharap masyarakat penghasilan rendah tidak bisa menjangkau rokok, sehingga akan memanfaatkan uangnya untuk keperluan yang lebih penting.
Komitmen penerapan KTR juga erat hubungannya dengan leadership dan kepatuhan masyarakat.
“Ini PR bersama, bagaimana kita menciptakan lingkungan yang betul-betul tanpa rokok,” ujarnya.
UU no.23 tahun 2014 tentang Pemda, menurut Cut Putri bisa digunakan, karena memiliki kewenangan besar untuk mengatur daerahnya. Itu sebabnya leadership sangat dibutuhkan, mengingat kementerian hanya sebagai regulator, pengawas dan pembina.
“Jadi mari kita sama-sama menggalang KTR sesuai UU 23 tahun 2014. UU itu tidak lebih rendah dari UU Kesehatan. Mereka setara, kekuatan hukumnnya sama,” katanya.
Sehingga dengan hadirnya otonomi daerah, masing-masing daerah memiliki kewenangan dalam mengatur wilayahnya. Termasuk mengatur penjualan rokok.
“Tapi memang caranya harus persuasif. Karena saat ini semua bisa dijadikan blunder demi alasan politis untuk saling menyerang, misalnya,” ucapnya.
Kampanye peringatan bahaya konsumsi rokok juga sangat penting dilakukan. Masyarakat harus diingatkan tentang bahaya mengkonsumsi rokok.
“Saya berterima kasih kepada mitra yang terus berupaya memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Jangan putus asa, meskipun pekerjaan kita ini banyak,” katanya.
Cut Putri juga mengaitkan antara penyakit menular dan penyakit tidak menular terhadap Perda KTR. Menurutnya, jika penyakit menular, vektornya bisa kuman, bakteri, virus dan lainnya. “Ini bisa dibasmi, insidennya menurun, maka orangnya menjadi sehat,” terangnya.
Sementara jika penyakit tidak menular, faktor risiko akibat rokok tidak serta merta bisa dibasmi vektornya. Tentu saja, karena ada industri trans nasional, politik, broker, dan media yang memunculkan konflik kepentingan.
“Jadi yang bisa dilakukan hanyalah penguatan regulasi agar ada kepatuhan dari setiap masyarakat. Masyarakat digiring untuk pola hidup sehat, sehingga insidennya menurun,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post