Jakarta, Prohealth.id – Kenaikan cukai rokok merupakan sebuah solusi cepat yang diyakini bisa menyelesaikan dua persoalan kesehatan masyarakat saat ini yaitu epidemi tembakau maupun pandemi Covid-19.
Per 10 Agustus 2021 sesuai data dari Satgas Pengendalian Covid-19, jumlah kasus positif Covid di Indonesia mencapai 3.718.821 kasus dengan korban meninggal 110.619. Belum selesai pandemi, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah menegaskan rokok terbukti memperparah sekaligus meningkatkan potensi transmisi virus corona, ternyata konsumsi rokok belum benar berhasil dikendalikan.
Menurut Plt. Dirjen Kesehatan Masyarakat, drg. Kartini Rustandi, M.Kes mengakui, pencatatan jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kasus positif Covid-19 tertinggi di Asia Tenggara, melewati Filipina dan Malaysia. Dalam indikator kesehatan masyarakat, pandemi dapat dikatakan terkendali apabila Indonesia telah mampu menangani kasusnya dengan mengontrol jumlah persebaran virus atau dengan kata lain melakukan pencegahan sebaik-baiknya.
“Jumlah perokok Indonesia ini tertinggi juga di dunia peringkat ketiga,” ujar Kartini dalam kegiatan webinar bertajuk ‘Menakar Kembali Pentingnya Cukai Rokok Bagi Ekonomi-Kesehatan Indonesia’, Kamis (12/8/2021).
Dia menyebut perilaku perokok khususnya perokok anak dan remaja juga cenderung meningkat selama pandemi ini. Apalagi para perokok ini sudah mengakui akan tetap mengonsumsi rokok sekalipun harganya makin mahal. Padahal, banyak penyakit yang diakibatkan dari kebiasaan merokok memberi dampak penyakit yang biaya pengobatannya sangat mahal.
Hal ini diperkuat oleh survei dari Komnas Pengendalian Tembakau pada tahun 2020 yang menunjukkan bahwa meski pandemi berpengaruh pada penghasilan responden secara ekonomi, nyatanya 49,8 persen responden masih menghabiskan uang belanja untuk rokok yang sama besarnya seperti sebelum pandemi, dan 13,1 persen responden justru naik jumlah konsumsi dan uang belanjanya untuk rokok saat pandemi.
Oleh sebab itu perlu ada acara untuk mengendalikan epidemi tembakau ini karena akan memberi efek pada kenaikan kerentanan penularan Covid-19. Salah satu caranya adalah dengan menaikkan cukai rokok yang harus didukung dengan penyederhanaan golongan tarif cukai. Gagalnya simplifikasi ini yang kerap menjadi penghalang kesuksesan cukai sebagai alat pengendalian konsumsi. Kartini memprediksi dengan harga yang mahal secara konsisten naik, maka konsumsi rokok di masyarakat dapat lebih terkendali sehingga membantu menekan kasus Covid-19 sekaligus membantu Pemerintah menekan beban ekonomi dari dampak pandemi.
Risky Kusuma Hartono, Ph.D, peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) menemukan bahwa selain harga, ada efek pengaruh dari kawan seumuran yang membuat anak dan remaja cenderung mudah tergoda untuk merokok.
“Hasil penelitian kami memperlihatkan bahwa selain pengaruh teman sebaya (peer effect), faktor harga (price effect) juga merupakan salah satu pendorong anak usia sekolah SMP-SMA mengonsumsi rokok. Ditambah lagi masih diperbolehkannya penjualan rokok secara batangan,” ujar Risky.
Temuan ini makin mengafirmasi bahwa harga rokok di Indonesia adalah salah satu faktor terus naiknya prevalensi perokok anak yang sedang terjadi, sesuai data Riskesdas, dari 7,2 persen pada 2013 naik menjadi 9,1 persen pada 2018. Tak heran jika angka ini telah melewati target capaian RPJMN 2014-2019 untuk menurunkan prevalensi perokok anak menjadi 5,4 persen pada tahun 2019.
PANDEMI TAK RUGIKAN INDUSTRI ROKOK
Sinyal kenaikan konsumsi rokok selama pandemi terbukti dari kinerja perusahaan. Merujuk Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), industri rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk milik Philip Morris asal Amerika Serikat (AS) mengantongi pendapatan Rp7,2 triliun pada semester 1/2021. Artinya industri mencatatkan kenaikan senilai 6,5 persen ketimbang pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya.
Begitu juga dengan Perusahaan rokok PT Gudang Garam International Tbk, pendapatannya juga naik 12,9 persen menjadi Rp60,6 triliun. Adapun pendapatan kedua perusahaan rokok ini jauh lebih besar jika dibandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari provinsi mana pun, termasuk Provinsi DKI Jakarta hanya memiliki PAD Rp 37,41 triliun.
Oleh sebab itu menurut sejumlah peneliti mengamini bahwa industri rokok tidak banyak terdampak akibat pandemi. Menurut Hasbullah Thabrany, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau, dalih menolak cukai rokok karena kondisi pandemi menjadi kurang relevan. Apalagi ketika usulan kenaikan cukai menguat, industri akan mengatasnamakan para petani tembakau yang nyatanya tidak mencicipi keuntungan yang besar.
CUKAI EFEKTIF KURANGI BEBAN EKONOMI
Chief Strategist of Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dr. Yurdhina Meilissa, M.Sc., menyatakan kecenderungan naiknya konsumsi rokok selama masa pandemic ini kontraproduktif terhadap beban ekonomi pada masyarakat yang banyak terdampak akibat pandemi. Yurdhina menilai kondisi ini jika tak diatasi akan memperburuk kondisi ekonomi yang telah merugi bahkan sebelum pandemi.
“Sebelum pandemi, konsumsi rokok menyebabkan kerugian ekonomi pada sistem layanan kesehatan sebesar Rp 27,7 triliun dan sebagian besar kerugian harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Apalagi di tengah krisis kesehatan seperti ini?” ungkapnya.
Untuk itu, Estro D. Sihaloho selaku Peneliti Center for Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran menyebutkan, jika saja masyarakat dapat menekan konsumsi rokoknya, beban ekonomi negara bisa berkurang. Dia mengambil contoh, sebesar Rp11,4 – Rp34.2 triliun rupiah keuntungan bisa didapatkan jika saja masyarakat mau mengurangi konsumsinya 3 – 9 batang per hari.
“Tentu ini akan sangat membantu pemerintah di masa pandemi, yang artinya pemerintah harus membuat kebijakan yang kuat untuk mewujudkannya,” tegas Estro memerinci keuntungan tersebut.
Sementara itu, Abdillah Ahsan selaku ekonom dan Direktur SDM FEB Universitas Indonesia mengungkapkan pentingnya kenaikan cukai rokok untuk menyelamatkan ekonomi negara saat ini. Dia beralasan dengan menaikkan cukai rokok di atas 20 persen lalu dilanjutkan dengan memberlakukan simplifikasi sampai dua golongan pemerintah Indonesia akan mendulang keuntungan ekonomi jangka panjanga.
“Ya, saya yakin Pemerintah Indonesia akan merasakan keuntungannya, baik dari sisi berkurangnya beban ekonomi kesehatan akibat konsumsi rokok, juga dari sisi solusi krisis ekonomi di masa pandemi saat ini,” jelasnya.
Berkaca dari dinamika tersebut, Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany menilai pemerintah perlu mengasah sense of crisis terhadap dua krisis kesehatan masyarakat yang saat ini dihadapi pemerintah. Dia pun berharap pemerintah lintas kementerian perlu segera menentukan sikap.
“Krisis pandemi Covid-19 akan sulit ditangani tanpa memiliki perspektif bahwa kita juga sedang mengalami krisis epidemi konsumsi produk tembakau saat ini,” ungkapnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post