Jakarta, Prohealth.id – Tarif untuk pemeriksaan PCR di Indonesia sangat mahal yakni Rp800 sampai Rp1 juta, jika dibandingkan dengan harga tes PCR di negara lain sehingga pemerintah pun memutuskan menurunkan harga PCR dengan rata-rata Rp500 ribu.
Dalam konferensi pers yang diselenggarakan Minggu (15/8/2021) Presiden Joko Widodo mengumumkan sudah berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar biaya PCR diturunkan menjadi Rp450 ribu sampai Rp550 ribu.
“Saya juga minta tes PCR sudah diketahui hasilnya waktu 1×24 jam, kita butuh kecepatan,” kata Jokowi.
Sebelumnya melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menjelaskan, polemik tentang mahalnya harga pemeriksaan PCR di Indonesia kembali mencuat setelah muncul informasi terkait perbandingan tarif PCR di India. Hal ini mendorong ICW melakukan beberapa penelitian dan melakukan advokasi untuk mendorong penurunan harga tes PCR agar tidak menyulitkan masyarakat.
Selain itu, mahalnya harga jasa pemeriksaan PCR di Indonesia menurut Wana tentu berdampak pada upaya pemerintah dalam memutus rantai penularan Covid-19. Banyaknya kasus pasien Covid-19 tanpa gejala dan mahalnya tarif pemeriksaan, menghambat sejumlah warga untuk melakukan tes PCR secara mandiri.
MENGAPA HARGA PCR DI INDONESIA MAHAL?
Pemerintah India memangkas tarif PCR dari 800 Rupee menjadi 500 Rupee atau sekitar Rp96.000. Sementara saat ini di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 menetapkan tarif tertinggi untuk pemeriksaan PCR sebesar Rp900.000 artinya masih sekitar sekitar 10 kali lipat dari tarif di India.
Berdasarkan penjelasan dari Kementerian Kesehatan, mahalnya tarif pemeriksaan karena bahan baku untuk tes PCR masih bergantung pada impor dan harga reagen yang mahal.
Dari penjelasan yang disampaikan oleh Kementerian Kesehatan, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan 2 (dua) permasalahan.
Pertama, tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada Pelaku Usaha untuk produk test kit dan reagent laboratorium. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 tentang Pemberian Fasilitas Kepaeanan dan/atau Cukai Serta Perpajakan atas Impor Barang untuk Keperluan Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dijelaskan bahwa atas impor barang untuk keperluan penanganan pandemi Covid-19 diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai serta perpajakan berupa pembebasan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 salah satunya tes PCR.
Tidak adanya biaya impor barang tentu akan mempengaruhi komponen dalam menyusun tarif PCR. Adapun yang menjadi masalah adalah publik tidak pernah diberikan informasi mengenai apa saja komponen pembentuk harga dalam kegiatan tarif pemeriksaan PCR.
Kedua, hasil penelusuran ICW menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli oleh Pelaku Usaha senilai Rp180.000 hingga Rp375.000. Setidaknya ada 6 (enam) merek reagen PCR yang beredar di Indonesia sejak tahun 2020, seperti; Intron, SD Biosensor, Toyobo, Kogene, Sansure, dan Liverifer.
Jika dibandingkan antara penetapan harga dalam Surat Edaran milik Kementerian Kesehatan dengan harga pembelian oleh Pelaku Usaha, gap harga reagen PCR mencapai 5 kali lipat. Kementerian Kesehatan pun tidak pernah menyampaikan mengenai besaran komponen persentase keuntungan yang didapatkan oleh Pelaku Usaha yang bergerak pada industri pemeriksaan PCR. Kebijakan yang dibuat tanpa adanya keterbukaan berakibat pada kemahalan harga penetapan pemeriksaan PCR dan pada akhirnya hanya akan menguntungkan sejumlah pihak saja.
Oleh sebab itu, berdasarkan sejumlah permasalahan tersebut, ICW mendesak Kementerian Kesehatan segera merevisi Surat Edaran Nomor HK.02.02/I/3713/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan PCR.
ICW juga mendesak Kementerian Kesehatan segera membuka informasi mengenai komponen penetapan tarif PCR kepada publik.
Selain itu, ICW pun mendesak Kementerian Kesehatan harus memberikan subsidi terhadap pemeriksaan PCR yang dilakukan secara mandiri.
Discussion about this post