Jakarta, Prohealth.id – Penasihat Senior Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO Diah Saminarsih mengatakan vaksinasi tidak hanya dilihat dari jenis vaksin, teknologi dan dimana produksi dilakukan, hingga hal-hal lain yang melekat.
Namun yang paling penting, menurut Diah adalah tentang keadilan vaksin (vaccine equity), termasuk logistik distribusi dari produsen vaksin ke negara tujuan.
“Ada yang dari COVAX Facility, dan ada yang langsung dibeli secara bilateral oleh negara dari pabrikan vaksin,” terangnya pada sesi Diskusi Daring Kesehatan #15 bertema “Mengkritik Keadilan Vaksinasi” pada Rabu malam, (18/8/2021).
Vaksin yang didapatkan melalui mekanisme COVAX Facility akan didistribusikan ke negara tujuan, sebelum akhirnya dibagi-bagi ke daerah untuk selanjutnya diterima masyarakat secara luas.
“Jadi distribusi itu end to end. Saya akan kasih lihat fragmentasi dan pemahamannya yang sering agak sulit,” kata Diah.
Namun sebelum itu, Diah menekankan tentang siapa target kebijakan atau siapa yang akan mendapatkan vaksin terlebih dahulu. Lalu ketika didistribusikan, seperti apa sistem operasional sebuah negara.
“Yang paling masuk akal, apakah melekat di sistem kesehatan, ke Puskesmas misalnya, atau membuat sentra-sentra vaksinasi tersendiri,” katanya.
Saat ini, menurut Diah, tidak lebih dari 10 jenis brand vaksin yang beredar luas dan telah digunakan secara massal, seperti: Sinovac, Pfizer, Moderna, Sinopharm, Novavac, Sputnic, Astra Zaneca, Jhonson and Jhonson.
Selain yang beredar, vaksin yang sudah selesai uji klinik tahap III dan tengah memasuki real world situation alias siap dipakai oleh dunia ada sebanyak 108 jenis. Kemudian ditambah 184 kandidat vaksin yang memasuki tahapan pre klinik.
“Total ada 300 yang sekarang menjadi kandidat vaksin, yang masih dalam uji klinik maupun pre klinik,” ungkapnya.
Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi mengamini jika kebijakan vaksinasi harus dilakukan secara komprehensif, khususnya terkait sasaran prioritas. Menurutnya, setiap daerah di Indonesia harus mampu keluar dari pandemi secara bersama-sama.
“Yang ingin saya sampaikan, kita gak bisa aman sendirian. Kita akan keluar dari pandemi ini bersama-sama atau tidak sama sekali,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Elina, DKI misalnya, tidak bisa mencari aman sendiri. Pasalnya, ada mobilitas warga Jakarta ke daerah lain, atau dari daerah ke DKI. Atau dari luar negeri masuk melalui Bandara Soetta, dan dari Jakarta ke luar negeri juga cukup banyak.
“Jadi tidak bisa dari semua wilayah di Indonesia, DKI kita amankan dahulu. Atau misalnya, Bali kita amankan terlebih dahulu,” ucap Elina.
Secara teori, ide tersebut kelihatannya menarik, namun pada kenyataannya tidak semudah itu, karena ada mobilitas penduduk, baik antardaerah ataupun antarnegara, bahkan antarwilayah di Jakarta juga terjadi.
“Kita tidak bisa melakukan herd immunity satu kabupaten, misalnya,” terangnya.
TIGA TAHAP KEBIJAKAN VAKSIN
Badan kesehatan dunia (WHO) bersama scientific advisory group of expert merekomendasikan tiga tahapan terkait suplai vaksin yang beredar secara global.
Rekomendasi kebijakan terdiri dari 3 tahap, yakni tahap I, dimana jumlah vaksin masih sangat terbatas, dibawah 10 persen populasi sebuah negara. Tahap II dimana jumlah vaksinnya hanya mencukupi 10 persen – 21 persen populasi, dan tahap III sebanyak 21 persen – 50 persen populasi sudah mendapatkan vaksinasi.
“Jadi ada 3 klasifikasi yang menjadi dasar terhadap siapa yang harus diberikan vaksin terlebih dahulu. Jadi prioritasnya kepada siapa?” terang Diah.
Namun Diah mengingatkan bahwa “kepada siapa”, sangat tergantung dari suplai vaksin yang tersedia di suatu negara, dalam kurun waktu tertentu. Di tahap I, dimana jumlah vaksin hanya 10 persen dari jumlah populasi nasional, maka tenaga kesehatan (nakes) dengan lansia menjadi prioritas utama.
Begitu suplai vaksin bertambah, maka komunitas rentan juga ikut bertambah. Selain nakes dan lansia, pasien komorbid, orang dengan socio demographic challange, orang dengan penyakit penyerta lain, yang mempunyai kerentanan gender, memiliki kerentanan ras, menjadi pihak yang harus mendapatkan perhatian.
Pada saat suplai vaksin bertambah antara 21 persen – 50 persen, maka akan bertambah pula kelompok prioritas atau kelompok rentannya. “Ada guru dan orang-orang yang bekerja di front lines yang sebenarnya bisa melindungi dirinya sendiri, tapi karena vaksin suplainya sudah ada, dia akhirnya mendapatkan prioritas,” ujarnya.
Baru kemudian, publik secara umum yang tanpa kerentanan menjadi prioritas terakhir. “Jadi di semua negara begitulah rata-rata step-step nya untuk menentukan siapa yang dapat giliran kapan, dari vaksin yang tersedia,” ungkap Diah.
Senada dengan itu, Elina Ciptadi mengingatkan tentang pentingnya keadilan vaksin (vaccine equity) dan itu harus diprioritaskan secara adil.
“Jadi dari apa yang saya amati selama ini, warga DKI cukup beruntung karena tidak mengalami kesulitan mengakses vaksin. Hanya terkendala syarat domisili, atau terkena komorbid, namun ketika bisa divaksin, maka stoknya pasti ada,” katanya.
Sementara itu, realita yang sama tidak didapatkan oleh warga di banyak daerah. “Kita gak usah ngomong soal pulau-pulau terluar atau daerah terpencil, terkadang kota besar non-DKI pun masih mengalami kesulitan vaksin,” ungkapnya
Bahkan, banyak yang mengaku, sudah terlambat dua minggu dari jadwal vaksinasi dosis kedua, karena stok vaksin yang terbatas. “Atau untuk melanjutkan dosis kedua, sekarang stoknya tidak ada. Jadi adanya stok merk lain,” ujar Elina.
Atau, menurut Elina, ada kasus ketika menerima dosis pertama, seseorang berada di rumah orang tua, namun saat ingin melanjutkan dosis kedua, dia sudah berada di tempat lain.
“Saat dia ke faskes, gak bisa divaksinasi karena suntikan dosis pertama tidak disitu, kedua terkena syarat domisili. Itu masih jadi kendala,” ujarnya.
GUNAKAN TANPA PILIH-PILIH
Vaksin, meskipun kerap menjadi polemik di publik, WHO menyarankan bahwa semua jenis vaksin, bagaimana pun teknologinya, harus digunakan tanpa pilih-pilih. “Sehingga semua vaksin sifatnya sama memberikan perlindungan terhadap severe infection atau severe reaction dari Covid-19,” kata Diah.
Ketika vaksin tersedia, maka setiap negara tidak boleh menolak, apalagi ketika memang jatahnya untuk menggunakan vaksin tersebut. Hal ini erat kaitannya dengan keadilan vaksin, dimana ada keadilan di tingkat global dan ada keadilan di tingkat regional bahkan nasional.
“Ketidakadilan di tingkat dunia, saya ambil contoh Amerika Serikat dan Inggris, sudah sekitar 70 persen penduduknya mendapatkan vaksinasi lengkap 2 dosis. Sementara di saat yang sama, negara-negara di Afrika baru mendapatkan 2 persen, bahkan ada yang belum mendapat vaksin sama sekali,” ucap Diah.
Sementara Indonesia, menurut Diah, situasinya berada di tengah-tengah, dimana akses terhadap vaksin didapat melalui COVAX Facility atau flatform kerjasama antara WHO, GAVI dan UNICEF. Selain itu, Indonesia melalui inisiatif kemampuan sendiri juga mampu membeli secara bilateral dari penyedia (produsen) vaksin.
Namun demikian Diah menambahkan, “ketemu challangenya di tingkat nasional, karena WHO bilang national equity sama pentingnya dengan global equity“.
Sehingga national equity seharusnya mampu menghapuskan barrier terhadap akses, apakah ada barrier geography, barrier terhadap akses layanan, yang menurut Diah tidak boleh terjadi. “Jadi disitu diangkat WHO terkait konsep equity untuk nasional ini,” tegasnya.
MENJEMBATANI EQUITY
Lalu bagaimana menjembatani kesenjangan vaksin yang terjadi selama ini? Diah mengatakan, di tingkat dunia telah ada COVAX Facility, sehingga negara-negara yang aksesnya sulit akan mendapatkan bantuan vaksin terlebih dahulu.
“Sebenarnya prinsip yang sama bisa digunakan pada saat melakukan distribusi di tingkat nasional. Jadi siapa yang paling rentan, maka dia mendapatkan terlebih dahulu,” terangnya.
Sehingga, siapa yang paling sulit atas kemauannya sendiri datang ke sentra vaksinasi atau ke Puskesmas untuk mendapatkan vaksin, maka ia yang harus diajak terlebih dahulu.
Selain itu, nakes dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan terpapar Covid-19, itu sebabnya butuh ekstra effort untuk membawanya ke tempat vaksinasi. “Dibawa dengan pendamping atau pun ada ‘jemput bola’ yang datang ke rumah-rumah,” ujarnya.
Beberapa hal lain, soal ketersediaan dan prioritas distribusi, operasionalisasi, ini semua jika dirangkum, menurut dia, seharusnya ada di dalam dokumen yang akan digunakan di tingkat nasional, khususnya di level kebijakan.
Baru kemudian ada di level teknis operasional yang dipraktikkan oleh pemerintah daerah dan bisa dioperasionalisasikan oleh pemangku kebijakan setempat.
“Apakah itu dinas kesehatan kerjasama dengan Puskesmas atau bekerja sama dengan tenaga kesehatan yang ada di daerah,” paparnya.
Khusus terkait pemerataan distribusi vaksinasi, Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi menekankan tiga hal penting. Pertama, terkait stok yang terbatas, maka prioritas harus ditujukan kepada mereka yang paling rentan.
“Yang paling rentan terkena gejala berat dan meninggal. Dan ini sudah dilakukan oleh banyak negara dan Indonesia telah melakukan ini,” kata Elina.
Mereka adalah nakes, lansia, ibu hamil, termasuk mereka yang memiliki komorbid, pendamping dari penderita komorbit. “Misalnya saya mendampingi orang tua saya yang memiliki penyakit kritis. Kebutuhan saya untuk dilindungi jadi lebih tinggi, demi melindungi orang tua yang lansia, misalnya,” urainya.
Selain itu, guru dan profesi-profesi lain yang interaksinya dengan orang banyak cukup tinggi layak dipriortiaskan. “Kami tahu ini sudah dijalankan di Indonesia dengan tingkat kesuksesan yang bervariasi,” katanya.
Kedua, Elina meminta agar syarat bagi mereka yang sudah waktunya mendapatkan vaksinasi disederhanakan. “Misalnya, syarat domisili masih jadi kendala, terutama di Puskesmas atau RSUD. Masih ada kejadian orang-orang ditolak karena alamatnya tidak sesuai KTP. Kemudian disuruh urus surat domisili terlebih dahulu,” ungkapnya.
Atau saat menerima suntikan dosis pertama dan dosis kedua, di faskes yang berbeda. “Bisa jadi dia nyari di faskes sebelumnya tidak ada stoknya, lalu nyari di faskes lain. Sayangnya, ada faskes lain tidak mau menerima,” kata Elina.
Oleh karena itu, Elina mengingatkan bahwa setiap orang yang bersedia divaksin harus dilayani hak-haknya. Mereka tetap bisa divaksin dimanapun berada.
“Jangan sampai mereka yang ingin divaksin jadi patah arang, karena masalah informasi, atau terkait pendaftaran atau terkendala aturan administratif,” paparnya.
Ketiga, menurut Elina, pemerintah setempat dapat menggunakan pendekatan yang dianggap efektif bagi msyarakat setempat. Misalnya, menggunakan polisi atau TNI di sebuah wilayah, mungkin bisa efektif, namun tidak di daerah lain.
“Misalnya di daerah konflik yang memunculkan trauma dengan aparat, maka sebaiknya tidak aparat yang diterjunkan disana,” katanya.
Elina menjelaskan, kuncinya bukan apakah harus aparat atau tidak aparat yang dilibatkan dalam kegiatan vaksinasi, namun siapa pihak yang bisa diajak bekerjasama, lalu metode seperti apa yang paling efektif.
Apakah itu tenaga medis, tokoh masyarakat lokal, selebritas atau tokoh yang dituakan di suatu daerah. Masing-masing wilayah punya kekhasan masing-masing. “Tidak ada strategi yang one size fit’s all,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post