Jakarta, Prohealth.id – Penyandang disabilitas adalah salah satu kelompok yang memerlukan perhatian khusus, terutama selama pandemi Covid-19.
Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Kementerian Sosial, Eva Rahmi Kasim menjelaskan pandemi Covid-19 yang menantang telah membuat program vaksinasi yang melibatkan Kementerian Sosial bebenah diri. Salah satunya adalah memberikan pengalaman baru untuk perbaikan pendataan dan program yang lebih inklusif bagi para penyandang disabilitas.
Eva menjelaskan, penyandang disabilitas awalnya memang tidak masuk dalam prioritas vaksinasi karena yang diprioritaskan adalah tenaga kesehatan dan kelompok lansia. Oleh karena itu, sekitar akhir bulan Februari kami dari Kementerian Sosial bersurat kepada Kementerian Kesehatan agar penyandang disabilitas masuk dalam daftar prioritas penerima vaksinasi.
“Kelompok penyandang disabilitas layak mendapatkan perhatian lebih karena mereka memiliki double barrier jika dibandingkan dengan yang non disabilitas,” katanya.
Eva menjelaskan, pembatasan-pembatasan itu membuat mereka semakin tereliminasi. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih intensif dan proaktif untuk menjangkau kelompok penyandang disabilitas. Alhasil, sekitar bulan Maret dan April dimulailah vaksinasi untuk penyandang disabilitas.
“Namun, sebetulnya ini bukan persoalan menyuntikkan saja, tapi ini terkait dengan aktivitas mereka, karena banyak penyandang disabilitas itu tidak bisa mendatangi sentra vaksin,” sambung Eva.
Selain itu, banyak penyandang disabilitas mengalami penyakit lain. Sebagai contoh, penyakit penyandang disabilitas paraplegia berhubungan dengan gagal ginjal atau mungkin penyakit-penyakit yang berhubungan dengan peredaran darah semakin menambah kerentanan dan urgensi vaksinasi bagi kelompok tersebut.
Oleh karena itu, sekalipun Kemensos telah memfasilitasi, praktik vaksinasi yang menargetkan kelompok disabilitas tidaklah mudah. Eva menyebut ada hambatan terkait dengan transportasi, aksesibilitas, kegamangan, dan ketakutan para penyandang disabilitas terhadap dampak-dampak vaksin.
“Kekhawatiran itu muncul karena kelompok disabilitas terpapar hoaks, dan disinformasi mengenai dampak negatif vaksinasi dan sebagainya,” tutur Eva.
Selain itu, pada awal pelaksanaan vaksinasi, identitas kependudukan menjadi salah satu syarat utama guna menghindari praktik kecurangan dalam pendistribusian vaksin. Namun dengan seiring berjalannya waktu, Kementerian Kesehatan akhirnya mengeluarkan Surat Edaran terbaru yang memungkinkan individu tanpa NIK tetap dapat dilayani untuk menerima vaksin. Saat ini, Eva mengaku Kemensos pun tengah berupaya untuk memfasilitasi kelompok disabilitas yang tidak memiliki NIK untuk mendapatkan NIK.
MENURUNNYA PENDAPATAN KELOMPOK DISABILITAS
Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas Maliki menyatakan pemerintah harus melaksanakan penekanan kebijakan bagi penyandang disabilitas, tak hanya melalui bantuan sosial, tetapi juga dengan peningkatan akses ekonomi produktif khususnya pada masa pandemi Covid-19 ini.
Dia mengutip dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2018, penyandang disabilitas merupakan subjek pembangunan yang berarti dipertimbangkan sebagai penentu pembangunan karena keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga pembangunan tersebut dapat dirasakan oleh penyandang disabilitas.
Dalam Webinar Diseminasi Hasil Studi: Dampak Covid-19 terhadap Penyandang Disabilitas di Indonesia, Maliki memaparkan dampak parah dan berkepanjangan yang ditimbulkan pandemi Covid-19 kepada hampir seluruh penduduk Indonesia, nyatanya lebih berdampak bagi penyandang disabilitas akibat kecenderungan rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan akses pasar tenaga kerja, tingginya biaya hidup untuk berbagai kebutuhan seperti alat bantu dan perawatan kesehatan, rendahnya pendapatan, serta tingginya tingkat kemiskinan dengan penduduk bukan penyandang disabilitas. Kerentanan tersebut juga dipengaruhi oleh gender, di mana perempuan dengan disabilitas menghadapi hambatan yang lebih besar dibandingkan laki-laki penyandang disabilitas.
Untuk itu, perluasan program perlindungan sosial (perlinsos) harus dilakukan dengan cepat dan tepat, terutama kepada kelompok rentan dengan keterbatasan akses seperti penyandang disabilitas yang menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, diperkirakan berjumlah 6,2 juta orang atau 2,3 persen dari total populasi, dengan status disabilitas sedang dan berat. Pemangku kebijakan harus mengembangkan intervensi yang sesuai dengan potensi dan hambatan penyandang disabilitas, tidak hanya sebagai respons di masa krisis seperti pandemi Covid-19, tetapi juga sebagai strategi jangka panjang untuk pemulihan pascapandemi di sektor perlindungan sosial, penghidupan, kesehatan, dan pendidikan.
Sebagai salah satu acuan reformasi perlinsos untuk penyandang disabilitas, Kementerian PPN/Bappenas didukung Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan atau KOMPAK, Menuju Masyarakat Indonesia yang Kuat dan Sejahtera atau MAHKOTA, dan Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas merampungkan studi inklusif terkait Covid-19 yang menyasar penyandang disabilitas. Studi kuantitatif tersebut dilakukan pada April 2020, melibatkan 1.683 responden dari seluruh Indonesia, dan dilanjutkan dengan studi kualitatif pada Juli–Agustus 2020 yang mencakup 78 informan di tujuh wilayah yang mewakili Indonesia Timur, Tengah, dan Barat, serta wilayah perkotaan dan pedesaan.
“Selain mampu melindungi masyarakat rentan dalam menghadapi krisis, perluasan program perlindungan sosial di masa pandemi Covid-19 diharapkan mampu menstimulus perekonomian sehingga efektif dalam mencegah kondisi krisis yang jauh lebih buruk,” lanjut Maliki.
Survei yang dilakukan Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas untuk respons inklusif Covid-19 di Indonesia di awal pandemi, yakni di April 2020, melaporkan proporsi yang signifikan, yakni penurunan pendapatan bagi 86 persen penyandang disabilitas yang secara umum bekerja di sektor informal. Pemberlakuan aturan untuk menjaga jarak fisik dan pembatasan aktivitas sosial selama pandemi membawa dampak paling besar terhadap mereka yang mengandalkan interaksi langsung dalam melaksanakan pekerjaan seperti terapis pijat, penata rambut, dan lain-lain.
Lebih jauh lagi, tercatat hanya sekitar 40 persen responden yang sudah
menerima setidaknya satu program bantuan sosial dari pemerintah, di mana hanya empat persen dari mereka yang menerima bantuan tunai.
Dalam situasi krisis, perempuan lebih cenderung jatuh miskin dibandingkan laki-laki, terlebih karena dalam situasi normal, perempuan mendapatkan penghasilan yang cenderung lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan juga lebih banyak menanggung tekanan finansial, fisik dan psikologis, terutama bila memiliki anak penyandang disabilitas. Beratnya dampak pandemi Covid-19 juga dialami siswa penyandang disabilitas yang sejak sebelum pandemi menghadapi keterbatasan akses pendidikan. Peralihan metodologi pengajaran menjadi via daring yang terpaksa dilakukan selama pandemi, tidak selalu berhasil untuk siswa penyandang disabilitas.
Temuan lain dari studi kualitatif menunjukkan cakupan program perlinsos, termasuk Bantuan Langsung Tunai yang didanai Dana Desa, mengalami peningkatan yang signifikan, jika dibandingkan dengan di awal pandemi. Kombinasi program di tingkat nasional dan daerah yang diluncurkan berdasarkan kewenangan wilayah telah menjangkau anggota masyarakat dari kelompok rentan yang biasanya terluput dari skema bantuan nasional sebagai respons pandemi Covid-19. Untuk itu, studi ini juga menyoroti pentingnya upaya memastikan kualitas data dan perbaikan mekanisme pendataan penyandang disabilitas.
Studi ini memberikan rekomendasi pada empat area utama. Pertama, akses perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, menggarisbawahi perlunya mengembalikan tingkat manfaat yang memadai dalam pemenuhan kebutuhan dasar bagi penyandang disabilitas dan strategi komunikasi untuk memastikan keterjangkauan informasinya.
Kedua, rekomendasi akses layanan kesehatan dan rehabilitasi bagi semua penyandang disabilitas, termasuk perluasan cakupan Jaminan Kesehatan Nasional dan peningkatan akses alat bantu, serta peningkatan program rehabilitasi berbasis masyarakat untuk mengurangi ketergantungan pada layanan berbasis institusi.
Ketiga, menekankan pentingnya upaya meningkatkan aksesibilitas dalam pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas dari segi infrastruktur dan kapasitas SDM guru.
Keempat, pentingnya meningkatkan akses penyandang disabilitas ke pasar tenaga kerja dalam jangka panjang. Pemerintah dan pemangku kepentingan terkait juga perlu memastikan penyandang disabilitas memiliki akses dan menjadi bagian dalam program ketenagakerjaan dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Rekomendasi tersebut diharapkan dapat memperkuat strategi implementasi Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas dan juga menjadi pertimbangan pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas.
“Kami di Bappenas sudah menyelesaikan rencana aksi nasional yang menargetkan berbagai momentum penting di dalam lima tahun ke depan, termasuk perluasan cakupan adminduk, pendataan yang komprehensif, perluasan akses terhadap layanan yang memenuhi Standar Pelayanan Minimal atau SPM, dan pemahaman holistik dalam pembangunan inklusif. Seharusnya tahun ini, seluruh penduduk Indonesia bisa makin bahu membahu untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas,” pungkas Maliki.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post