Jakarta, Prohealth.id – Sejumlah hambatan dalam proses vaksinasi menjadi salah satu penyebab lambannya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA) dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiative (CISDI) menemukan ada hambatan multidimensi yang mempengaruhi proses vaksinasi di Indonesia. Ada lima hambatan utama yang menurut PUSKAPA dan CISDI sangat penting diatasi. Pertama, hambatan administrasi contohnya adalah permasalahan dokumen administrasi, misalnya ketersediaan Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Kedua, hambatan finansial dari segi bagaimana mereka bisa mengakses layanan kesehatan karena hambatan transportasi, kemudian opportunity cost karena jadwal vaksinasi sering kali bentrok dengan waktu bekerja.
Ketiga, hambatan infrastruktur, seperti supply, distribusi, jalan untuk mengakses layanan kesehatan dan ketersediaan pelayanan kesehatannya.
Keempat, hambatan akses informasi. Kelompok rentan juga banyak yang mengutarakan kesulitannya mendapatkan informasi yang jelas dan komprehensif mengenai registrasi, risiko KIPI dari vaksinasi, dan sebagainya.
Kelima, hambatan sosial dan perilaku terkait dengan misinformasi, stigma, dan diskriminasi yang ada di lapangan yang memicu keraguan masyarakat tentang vaksinasi.
Selain itu, PUSKAPA dan CISDI mencatat adanya keterbatasan definisi dan cakupan kelompok. Pasalnya, belum ada definisi yang secara jelas diterjemahkan lebih rinci ke level operasional untuk pemerintah daerah mengeksekusi vaksinasi untuk kelompok rentan. Padalah ada beberapa acuan yang bisa jadi panduan. Pertama, Permenkes Nomor 10 tahun 2021 dengan juknisnya mengatakan bahwa yang termasuk dalam masyarakat rentan adalah dari aspek geospasial, sosial dan, ekonomi.
Kedua, Kemenkes pada bulan Mei lalu telah mengatakan masyarakat rentan itu termasuk yang tinggal di zona merah, sosial ekonomi lemah, kurang beruntung, kelompok marjinal ibukota, penyandang disabilitas, dan orang dengan gangguan jiwa.
Ketiga, berdasarkan surat edaran Kemenkes terbaru mengatakan bahwa masyarakat rentan, termasuk masyarakat adat, penghuni lapas, PPKS, pekerja migran Indonesia bermasalah, masyarakat lainnya yang belum memiliki NIK.
Clara Siagian selaku Peneliti Senior PUSKAPA menjelaskan kerentanan di tengah pandemi Covid-19 ini memang bukan sesuatu yang baru, melainkan berkembang dari kerentanan dan kesenjangan struktural penyisihan yang ada sebelum pandemi. Dia menilai karakteristiknya juga hampir sama, yaitu multidimensional. Oleh sebab itu hambatan yang memicu krisis penanganan pandemi ini tidak hanya mencakup kesehatan, tapi juga sosial, ekonomi, dan sifat dari hambatan ini sangat dinamis. Dia memprediksi selama krisis menjadi lebih intens, maka akan terjadi banyak perubahan yang bergulir selama pandemi ini berlangsung.
Dia pun mengadaptasi sebuah kerangka pemikiran dari Adger W. Neil mengenai kerentanan. Dia memerinci ada tiga faktor kerentanan di tengah pandemi.
“Pertama, siapa yang punya risiko lebih tinggi daripada yang lain untuk terpapar kemudian ketika dia terpapar? Kedua, siapa yang punya risiko untuk sakit atau untuk meninggal dibandingkan yang lain? Ketiga, seberapa besar individu punya kapasitas untuk beradaptasi dan melindungi dirinya?” ungkap Clara.
Untuk mendalami soal kerentanan di tengah pandemi, Clara menyebut tim PUSKAPA sudah mempublikasikan kajian dengan Bappenas yang mengafirmasi bahwa selama pandemi in ada kelompok yang sebelumnya tidak rentan menjadi rentan. Dia menilai, hal ini terjadi karena respons yang tidak tepat selama ini sehingga memunculkan bentuk kerentanan yang baru.
“Respons yang keliru juga bisa memperburuk kerentanan yang sudah ada sebelum pandemi. Salah satu wajah kerentanan di tengah pandemi adalah kelompok-kelompok rentan yang tidak mendapatkan vaksinasi, padahal mereka yang paling perlu diprioritaskan,” kata Clara.
Lebih lanjut dia menjelaskan soal pemicu krisis dari faktor ketersisihan sosial. Pertama, ada faktor ketersisihan sosial akibat perbedaan berbagai wilayah. Misalnya saja; orang-orang yang tersisih secara etnisitas; orang-orang yang tersisih karena gendernya. Contohnya; kelompok transpuan; dan orang-orang yang tersisih karena pemerintah mengakui mereka sebagai warga negara, atau sebagai penduduk yang tidak punya tanda pengenal, misalnya pencari suaka atau pengungsi.
Masih ada pula rang-orang yang tidak bisa memperhatikan 5M, misalnya orang-orang yang tinggal di institusi seperti pesantren, panti, atau penjara. Ketersisihan sosial juga menghampiri orang-orang yang tinggal di daerah tanpa air bersih yang mengalir Oleh karena itu, pemerintah perlu menjangkau, memprioritaskan, serta memastikan kelompok-kelompok ini akan segera mendapatkan vaksinasi Covid-19.
“Saya ingin menggarisbawahi tambahan hambatan, misalnya hambatan finansial untuk teman teman dengan HIV-AIDS. Sebelum bisa divaksinasi, mereka harus mengambil tes CD4, juga membutuhkan uang dan tidak gampang mendapatkan layanan tersebut,” kata Clara.
Hambatan sosial dan perilaku juga mereka alami yang takut menyebutkan, jika mereka adalah orang dengan HIV AIDS karena khawatir kerahasiaannya tidak akan terjaga, lalu informasinya akan tersebar.
KERENTANAN DARI SISI SOSIAL SAMPAI ADMINISTRASI
Clara menambahkan, kerentanan soal vaksinasi tak hanya di ranah sosial tetapi juga administrasi. Dia menyinggung kerentanan dari sisi adminitrasi hampir mirip karena memang berakar dari kerentanan struktural yang sama, kesenjangan struktur yang sama, sudah ada sebelum pandemi dan belum terselesaikan.
“Misalnya, ada soal akses lebih jauh, tidak punya uang, layanan yang rumit, sistem yang tidak responsif, kualitas layanan yang berbeda-beda, ada juga penyisihan berbasis identitas,” terangnya.
Clara menerangkan, saat ini semakin miskin seseorang, semakin besar kemungkinan dia tidak mempunyai NIK. Oleh sebab itu, yang termiskin 20 persen pengeluaran ke bawah itu lebih besar kemungkinan tidak mempunyai NIK. Kemudian, terlihat bahwa kebanyakan ini semua dialami orang-orang yang tinggal di wilayah Indonesia Timur. Dia memerinci, di Papua, diperkirakan ada 36 persen yang tidak memiliki NIK, termasuk Papua Barat, Maluku Utara, NTT dan Maluku.
“Jadi kita punya risiko memperkenalkan lingkaran kerentanan baru ke kelompok yang sudah rentan sebelumnya, karena hambatan prosedural, jarak, tidak memiliki NIK, tanpa NIK tidak bisa dipakai vaksinasi. Sementara jika tidak dapat mengakses vaksinasi, akan berpengaruh pada kesehatan sosial dan ekonomi, dan akan berputar terus di situ. Tidak ada yang pernah memutus rantai tersebut,” ungkap Clara.
Sebagai solusi, layanan vaksinasi seharusnya mendekatkan pelayanan NIK ke orang-orang yang belum memilikinya. Apalagi orang-orang yang tidak punya NIK itu posisinya acak, tersebar, tersembunyi, susah untuk dikenali oleh pemda.
Justru dengan pos vaksinasi yang semakin masif, Clara percaya langkah ini bisa mengajak atau mengundang para kelompok rentan yang terhambat dari berbagai dimensi. Pemerintah pun bisa menemukan mereka, dan melayani mereka. Orang-orang tersebut juga proaktif datang ke pos vaksinasi, mendapat vaksinasi, direkam datanya, mendapat dokumen.
“Tentu ini butuh koordinasi yang besar dan mekanisme yang saya sebutkan akan semakin efektif jika bekerja sama antara Dinkes, Disdukcapil, dan organisasi masyarakat sipil, termasuk juga organisasi berbasis komunitas transpuan, penyandang disabilitas, pengungsi, pencari suaka, masyarakat adat, dan yang lainnya,” ternag Clara.
Secara rinci Clara menguraikan meskipun car aini beresiko lebih lambat tapi lebih rapi. Pemerintah bisa mulai dari mengolah data dasar bersumber Disdukcapil atau dari desa, yang kemudian diberikan kepada aparat desa dan kader untuk datangi warga warga memperbaharui data, mengenali siapa saja warga tanpa NIK. Kemudian data yang sudah diperbaharui diberikan ke Disdukcapil untuk verifikasi dan validasi. Data tersebut kemudian diserahkan kepada Dinas Kesehatan untuk merencanakan logistik vaksinasi.
Terakhir, warga bisa diarahkan ke pos vaksinasi. Mereka akan divaksinasi, kemudian petugas tambahan mencatat data warga yang rentan, lalu datanya diserahkan ke Disdukcapil dan proses yang sama berlangsung kembali.
STRATEGI PERCEPATAN VAKSINASI KELOMPOK RENTAN
Dari beberapa rujukan yang kami ambil, Clara menyebut PUSKAPA dan CISDI mengusulkan beberapa indikator variabel kerentanan yang dapat dipakai oleh pemerintah untuk menemukan analisis populasi kelompok rentan.
Pertama, analisis dan menemukan individu tanpa akses pelayanan kesehatan yang memadai dan mumpuni. Kedua, status sosial ekonomi rendah, individu dengan penyakit penyerta. Ketiga, kelompok demografi dengan relasi kuasa rendah. Keempat, individu yang mengalami ketersisihan sosial berdasarkan beberapa aspek penduduk di wilayah 3T. kelima, individu yang tidak mampu melaksanakan praktik 5M.
Oleh sebab itu penting memahami bahwa; siapa yang termasuk kelompok rentan membutuhkan adanya panduan dan baku definisi operasional yang dituangkan di dalam regulasi. Hal ini dapat menjadi basis dan indikator perhitungan target serta realisasi aset daerah.
Selain itu, diperlukan tata laksana dan strategi yang lebih operasional untuk menjangkau kelompok rentan. Strategi penjangkauan khusus kelompok rentan menjadi penting karena kelompok ini, dengan segala hambatan yang dimiliki, perlu pendekatan yang berbeda dengan kelompok yang memiliki kemewahan akses.
Sementara itu, PUSKAPA dan CISDI pun merumuskan strategi penjangkauan kelompok rentan yang meliputi beberapa cara.
Pertama adalah vaksinasi keliling, yang bisa dilakukan melalui kerja sama dengan sektor swasta untuk menyediakan telemedika dan layanan home care. Dan bila dilakukan puskesmas, perlu ada penambahan anggaran dan dukungan bagi tenaga kesehatan dan logistik khusus.
Kedua, integrasi layanan rawat jalan dengan layanan vaksinasi ke puskesmas, klinik swasta, rumah sakit, dan fasilitas perawatan rawat jalan lainnya, terutama untuk kelompok dengan penyakit penyerta akan lebih mudah bila layanan vaksinasi didekatkan dengan layanan rawat jalan yang secara rutin mereka dapatkan, terutama mengingat mereka memiliki risiko terinfeksi yang cukup tinggi terhadap Covid-19.
Ketiga, penjangkauan khusus dengan pelibatan organisasi masyarakat sipil, kader kesehatan, aparat RT/RW, tokoh masyarakat lainnya, seperti juga penyediaan pendamping bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), kelompok dengan penyerta penyakit tertentu dan yang mengalami kendala bahasa.
Keempat, melibatkan aparat polisi militer untuk penjangkauan harus dilakukan dalam perhatian khusus, terutama di daerah-daerah konflik.
“Kami menuangkan upaya pendataan dan organisasi mana saja yang bisa diajak bekerja sama secara detail dalam rekomendasi PUSKAPA dan CISDI,” ungkap Clara.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post