Jakarta, Prohealth.id – Proses penggodokan kebijakan cukai rokok 2022 telah direspon oleh para pelaku industri hasil tembakau (IHT) yang menyatakan penolakan kenaikan cukai. Apa resiko dari batalnya kenaikan cukai tahun depan?
Berdasarkan informasi yang dihimpun Prohealth.id, Sabtu (28/8/2021), Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (GAPERO) Jawa Timur Sulami Bahar mengklaim pelaku industri hasil tembakau (IHT) amat terpukul karena pandemi Covid-19. Dalam surat resmi GAPERO Surabaya mengajukan dua tuntutan. Pertama, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai untuk tahun 2022. Kedua, GAPERO mengusulkan untuk tahun fiskal 2023 dan seterusnya, pemerintah menerapkan formula kenaikan tarif cukai IHT berbasis angka inflasi atau angka pertumbuhan ekonomi, atau keduanya.
Gabungan Perusahaan Rokok (GAPERO) Surabaya sendiri merupakan asosiasi pabrik rokok, yang menjadi bagian dari perkumpulan nasional Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI). Di Jawa Timur, GAPPRI menaungi sedikitnya 90.000 orang pekerja yang tersebar di berbagai kabupaten/kota.
Begitu pun, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) mengirimkan surat resmi ke Presiden Joko Widodo pada 12 Agustus lalu. GAPPRI berpendapat, kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada 2020 dengan rata-rata kenaikan 23 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) 35 persen. Artinya, 68 persen dari setiap penjualan rokok legal diberikan kepada pemerintah sebagai cukai dan pajak. Kini kekhawatiran para produsen IHT terhadap kenaikan tarif cukai tahun depan semakin menguat setelah Presiden Joko Widodo memberi sinyal akan ada kenaikan tarif CHT. Hal tersebut terlihat dari target penerimaan cukai pada RAPBN 2022 yang dipatok Rp203,92 triliun. Angka tersebut naik 11,9 persen dibandingkan target pada APBN 2021.
Peneliti Center for Economic and Development Studies (CEDS) Universitas Padjadjaran Estro Dariatno Sihaloho menyatakan pada dasarnya pandemi Covid-19 memang berdampak negatif semua sisi ekonomi, terutama berdampak negatif pada produksi makanan dan konsumsi makanan bukan terhadap industri rokok. Dia menerangkan, penelitian yang dilakukan CEDS tahun 2020 pada 579 responden dari 17 provinsi di Indonesia membuktikan belanja rokok menjadi satu dari 4 belanja rumah tangga dengan menggunakan Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) dengan persentase yang signifikan 99 persen.
“Dalam hal ini jika laki-laki menjadi pengambil keputusan dalam penggunaan BLT-DD, sebanyak 12,5 persen responden akan menggunakan BLT-DD untuk belanja rokok,” tuturnya.
Riset ini masih diperkuat dengan data Susenas tahun 2019 dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menemukan, jumlah perokok pada tahun 2019 sebesar 57.029.772 orang. Sementara Ikatan Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) juga mengafirmasi bahwa rata-rata konsumsi rokok sehari 12 batang pada 2020.
BEBAN JKN MAKIN BESAR
Asisen Deputi Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit, Kedepiutian Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kemenko PMK, dr. Nancy Dian Anggraeni, M.Epid menyatakan, kenaikan cukai rokok tak bisa ditunda karena ada ancaman peningkatan prevalensi merokok pada anak dan remaja hingga tahun 2030 sampai 15,95 persen.
Akibat selanjutnya, bisa terdeteksi kata Nancy dalam total biaya pengobatan penyakit terkait rokok tahun 2019 adalah Rp276 triliun, sedangkan total alokasi maksimum penerimaan cukai untuk pembiayaan JKN pada tahun 2019 hanya Rp7,4 triliun. Artinya ada selisih yang besar dalam upaya menaikkan standar kesehatan masyarakat.
Nancy menegaskan cukai adalah instrumen pengendalian konsumsi barang yang tidak baik atau berdampak negatif untuk kesehatan, seperti rokok dan alkohol. Selama ini, peningkatan tarif cukai telah berhasil mengurangi produksi rokok dan meningkatkan penerimaan negara dari cukai rokok pada saat yang sama. Namun di Indonesia, kenaikan cukai masih belum dapat meningkatkan indeks keterjangkauan membeli rokok oleh masyarakat.
“Kami menyarankan agar kebijakan perlu dipertegas dengan wajib harga minimum dijual sesuai HJE,” tutur dr. Nancy.
Senada dengan Estro, dr. Nancy menyebut pentinganya pengenaan cukai lebih tinggi untuk rokok non konvensional seperti rokok elektrik/vape dan rokok dengan pemanasan, termasuk rokok konvensional dengan konten impor untuk melindungi kesejahteraan petani tembakau.
Selain itu, peningkatan cukai, perlu dibarengi dengan pembatasan dan pengetatan impor seperti implementasi Permendag Nomor 84 tahun 2017 dan Permentan Nomor 23 tahun 2019, dan strategi mengutamakan penyerapan tembakau lokal.
KENAIKAN CUKAI TAK BISA DITUNDA
Estro menyebut, kenaikan cukai adalah kebutuhan untuk mengendalikan jumlah perokok dalam upaya menangani pandemi, sekaligus juga untuk menambah pundi-pundi penerimaan negara. Dia memerinci, kenaikan cukai memberi potensi keuntungan ekonomi sebesar Rp11 triliun hingga 34 triliun, dan potensi pengurangan penggunaan rokok hanya 7,6 Miliar sampai dengan 22,8 miliar batang saja.
Estro mengusulkan, untuk mendorong kenaikan cukai pemerintah juga perlu ningkatkan kampanye mengenai adanya kaitan kuat antara perilaku merokok dengan meningkatnya penyebaran Covid-19, meningkatnya keparahan dan meningkatnya kematian pada pasien Covid-19.
Selain itu juga penting menjadikan pengendalian konsumsi rokok menjadi salah satu tanggung jawab utama satuan tugas penanganan Covid-19 di pusat dan daerah karena berpotensi menyebarluaskan Covid-19.
“Melalui peningkatan cukai produk tembakau yang signifikan dan sejalan dengan harga jual eceran (HJE) yang tinggi untuk menekan keterjangkauan harga pada anak dan remaja serta masyarakat ekonomi lemah,” tutur Estro.
Dia berpesan agar pemerintah dapat kompak membuat langkah strategis pemulihan ekonomi kesehatan melalui penerapan kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang efektif.
Sementara itu, dr. Nancy mewakili Kemenko PMK juga menegaskan, pengendalian konsumsi rokok tidak hanya sebagai investasi SDM dan ekonomi di masa mendatang, namun juga melindungi masyarakat dari keparahan infeksi Covid-19 yang saat ini masih menjadi permasalahan besar, dimana tingkat kematian Indonesia tertinggi di global.
“Ingat, merokok menurunkan imunitas, daripada merokok, lebih baik minum jamu peningkat imunitas.”
Penulis: Tim Prohealth
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post