Jakarta, Prohealth.id – Komitmen pemerintah mendorong kesehatan masyarakat makin tak terlihat seiring dengan intensi yang besar dari pemerintah mengembangkan industri tembakau alternatif.
Dikutip dari The Union for International Cancer Control, pada 2019 sekitar 40 juta masyarakat dunia menggunakan rokok elektrik yang membuat perusahaan industri tembakau mendulang profit yang besar. Imbasnya, pabrik rokok elektrik menjadi salah satu lahan bisnis baru. Kondisi ini menimbulkan banyak pertanyaan terkait potensi penyakit akibat rokok elektrik.
Rokok elektrik atau sering disebut vape kerap diasosiasikan sebagai cara seseorang berhenti merokok. Produk vape yang dibuat dari tembakau yang dipanaskan ini nyatanya masih mengandung beberapa dampak negatif bagi si konsumen.
Menurut Dr Sonali Johnson selaku Head of Knowledge, Advocacy and Policy di Union for International Cancer Control (UICC) menegaskan, sejumlah studi medis sudah menemukan bahwa rokok elektrik menurunkan efikasi dari proses kemoterapi para penderita kanker. Bahkan, penggunaan rokok bisa menambah potensi berkembangnya sel tumor baru.
Dia mengutip dari PubMed, lebih dari 400 studi dari seluruh dunia sudah menyebut rokok elektrik atau vape ini memberi efek buruk bagi saluran pernapasan dan kesehatan jantung. Cairan dalam vape itu bisa menimbulkan infeksi karena membawa bakteri, dan virus yang menjangkiti paru-paru.
Oleh karena itu, jika vape memberi dalih lebih rendah risikonya dibandingkan rokok konvensional, faktanya jika dikonsumsi dalam jangka panjang tetaplah akan menimbulkan efek kesehatan yang serupa dan berbahaya.
DIMANA KOMITMEN UNTUK KESEHATAN MASYARAKAT?
Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri pun membenarkan, bahwa rokok apa pun jenisnya tak bisa dianggap barang biasa. Sebab itulah, kata dia, penting aturan hukum mengatur agar tingkat konsumsi makin tak terjangkau. Rokok elektronik memang termasuk barang kena cukai, tapi upaya menekan konsumsi masih bertentangan. “Pada saat yang sama (industri rokok elektronik) penetrasi terus membuka pabrik,” katanya.
Kenyataan itu, ucap Faisal, sama saja tak sejalan dengan upaya pengendalian tembakau. “Intinya (rokok elektronik) dikendalikan lewat cukai. Tapi (peredaran) rokok elektronik diberikan peluang membuka pabrik baru,” ucapnya.
Menurut Faisal, peluang tersebut membuat industri rokok elektronik makin mendapat kemewahan. “Lagi-lagi (cukai rokok elektronik) apa urusannya dengan penerimaan negara?” ujarnya. Dia menegaskan, bahwa cukai untuk mengendalikan konsumsi. “Kok, diseret ke penerimaan negara.”
Perkumpulan Prakarsa sebagai salah satu organisasi yang berfokus meneliti kebijakan peningkatkan kesejahteraan juga ikut menyoroti soal cukai rokok elektronik tak hanya sebagai pemasukan negara. Walaupun, cukai punya ekses meningkatkan pendapatan, tapi produk tersebut berisiko untuk biaya kesehatan.
“Rokok biasa (tembakau) atau elektrik merupakan produk berisiko yang harus dikontrol,” kata Herni Ramdlaningrum, selaku peneliti dari Perkumpulan Prakarsa.
Oleh ebab itulah, ucap Herni, kenaikan tarif cukai tak boleh timpang untuk rokok tembakau maupun elektronik. “Keduanya (kenaikan cukai) itu sama-sama urgensi,” ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan memastikan, bahwa tak ada beda dampak konsumsi rokok tembakau atau elektronik. “Sudah banyak penelitian, 172 negara menolak rokok elektronik ini,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Cut Putri Arianie.
Dia pun menambahkan, bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat pun telah menerbitkan pernyataan tersebut. “Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menyatakan menolak rokok elektronik,” ujarnya.
Pada 2019, para dokter berbagai bidang keilmuan yang menyatakan menolak rokok elektronik antara lain spesialis paru-paru, jantung, kanker, anak, penyakit dalam. Penolakan itu kukuh. “Sampai ada penelitian, bahwa rokok elektronik aman bagi kesehatan,” katanya.
Pada 2018, prevalensi perokok tembakau pada usia 10 tahun ke atas mencapai 28,8 persen, berdasarkan laporan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI). Persentase itu turun sedikit dari 29,3 persen pada 2013. Rokok elektronik sering diperkenalkan sebagai alat berhenti merokok. Namun, rokok elektronik justru menjadi penyebab munculnya pengguna ganda (dual user).
Dari sektor industri, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) punya misi salah satunya terus menciptakan para pengguna vape (vapers) baru. Adapun antara lain misinya juga ingin menumbuhkan sektor bahan baku vape lokal. Berbagai poin misi APVI itu termaktub dalam laman asosiasi tersebut. APVI pun berharap supaya pemerintah mau mendukung pemanfaatan produk tembakau alternatif. Alasannya untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia.
Sekretaris Jenderal APVI Garindra Kartasasmita memberi contoh merujuk strategi pemanfaatan produk tembakau alternatif di Selandia Baru. Pemanfaatan dibarengi regulasi khusus yang terpisah, serta berbeda dari aturan rokok. “Produk tembakau alternatif terbukti berhasil menurunkan prevalensi perokok. Selama pemerintah turut mendukung dan mengedukasi masyarakat,” kata Garindra seperti dikutip dari Antara.
Berdasarkan Survei Kesehatan Selandia Baru, setelah pemanfaatan produk tembakau alternatif tingkat merokok harian turun. Penurunan itu 12,5 persen pada 2018-2019. Kemudian, angka mengecil menjadi 11,6 persen pada 2019-2020.
Koordinator Sub Direktorat Advokasi dan Kemitraan, Sakri Sabatmaja mengatakan, rokok elektronik meningkatkan prevalensi merokok kalangan remaja. “WHO menyebut (rokok elektronik) dengan nama Electronic Nicotine Delivery System (ENDS),” ucapnya.
Sakri menambahkan, ada pula sebagian kecil rokok elektronik yang tidak mengandung nikotin. “Itu disebut, Electronic Non-Nicotine Delivery System (ENNDS),” katanya.
Menurut dia, rokok elektronik menambah prevalensi merokok usia 10 tahun hingga 18 tahun. “Karena makin populer,” ujarnya. Padahal prevalensi ditargetkan turun hingga 8,7 persen, pada 2024.
Langkah edukasi yang intens dianggap penting untuk anak-anak dan remaja. “Kami telah mengembangkan model peer group (kelompok sebaya) bagi anak-anak SMP dan SMA,” ujarnya. Sakri menambahkan, model tersebut pun pendekatan serta penggalangan kelompok muda saling berjejaring.
“Supaya mereka tidak goyah dengan bujukan industri (rokok),” katanya.
Meski begitu, Sakri menganggap upaya itu masih cenderung lemah. Sebab, belum ada regulasi yang mengatur rokok elektronik. Maka, ujar dia, perlu adanya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Aturan itu tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
“Hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL) nanti juga harus tunduk dan patuh dengan peraturan,” ujarnya.
Perusahaan rokok elektronik kerap memasarkan produknya sebagai alat untuk berhenti merokok tembakau. Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah menjelaskan, bahwa rokok elektronik bukan metode yang aman untuk mengakhiri kebiasaan merokok.
Sakri mengatakan, ada syarat khusus penggunaan nikotin sebagai alat bantu berhenti merokok. Tapi, justru ada kecenderungan pengisap rokok elektronik juga perokok tembakau. Sampai sekarang, kata Sakri, belum ada hasil penelitian yang konsisten terkait kemanjuran rokok elektronik sebagai alat berhenti merokok. Memang tak dimungkiri ada klaim rokok eletronik dianggap lebih aman 95 persen dibandingkan rokok tembakau.
“Klaim berasal dari Public Health England dan Imperial College of London,” katanya.
Dia menegaskan, kesimpulan itu berdasarkan studi permodelan menggunakan program komputer Multi-Criteria Decision Analysis (MCDA). Pada 2014, studi itu dilakukan terhadap 12 produk tembakau dengan 14 kriteria kerusakan berdasarkan penilaian (value judgement) tim peneliti. “Bukan hasil uji kandungan produk,” ujarnya.
Walaupun begitu, kesimpulan itu sudah kadung menjadi informasi sumber acuan di seluruh dunia. “Propaganda sengaja diciptakan oleh pihak yang ingin membuat peluang pasar lebih luas di Indonesia,” katanya.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post