Jakarta, Prohealth.id — Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Atas Kesehatan Dan Pendidikan Kementerian PPPA Entos Zainal mengatakan, Indonesia menghadapi dua hal sekaligus, yakni: pandemi Covid-19 dan era disruptif yang mempengaruhi anak untuk merokok, ketika perkembangan teknologi begitu akrab dalam keseharian.
Sementara itu, banyak orang tua merokok di luar rumah dengan alasan PPKM. Hal itu memunculkan dua aspek. Pertama tentang asap rokok yang bermasalah dan perilaku sebagai aspek kedua.
“Dulu sering kita mengalami, apa yang disampaikan orang tua dengan yang dilakukan ternyata berbeda. Orang tua menyampaikan pesan ke anaknya untuk tidak merokok, namun ia malah merokok,” ujarnya beberapa waktu yang lalu.
Karena itu, kesempatan berkumpul bersama keluarga dimanfaatkan untuk edukasi dan pencegahan. Jangan sampai, anak-anak malah terpapar asap rokok. “Ini tantangan di masa disruptif dan pandemi,” katanya.
Hal ini penting, karena anak Indonesia merupakan kelompok penduduk yang jumlahnya 84,4 juta jiwa. Jumlah yang sangat besar jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
“Ini kekayaan yang luar biasa, namun jangan sampai dimanfaatkan pihak lain. Jangan sampai resources kita ompong, karena dimasuki isu-isu yang tidak baik, seperti rokok, pornografi, kekerasan dll,” ujarnya.
Seharusnya anak-anak itu berkarakter, religius, berkualitas dan berdaya saing, dan mereka bangga sebagai anak Indonesia. Termasuk jika mampu berprestasi di luar negeri.
Atau menarik jika diteliti, benarkah anak-anak yang membanggakan di bidang olah raga atau science tidak merokok? “Jika tidak merokok, ini bukti potensi yang sangat luar biasa,” katanya.
Sekaligus bukti bahwa merokok merupakan bagian dari kekeliruan, sehingga behaviour change communication menganggap rokok sebagai cara yang tidak baik. “Orang merasa malu dan merasa bersalah ketika merokok. Itu mungkin cara yang sangat unik, tapi sangat baik untuk membawa kepada perubahan perilaku dan sosial,” jelas Entos.
Kemudian pandangan tentang rokok jangan hanya difokuskan kepada kelompok educated people saja, namun diperluas secara keseluruhan. Termasuk kepada mereka yang tinggal di pedesaan. “Sehingga kita tidak mengulang hal yang sama, untuk kelompok yang lain,” katanya.
Selama ini, paparan rokok dari orang lain yang terjadi di rumah besarannya 58 persen, sementara di tempat umum yang tertutup 66 persen dan tempat umum yang terbuka 67 persen. Artinya, faktor risiko anak mulai merokok berasal dari orang terdekat, seperti orang tua.
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di rumah, bisa dimulai dengan tidak membolehkan merokok. Atau di tempat umum juga dilarang merokok. “Di bis dan pasar juga sudah berkurang. Jika ini kita perbuat, menjadi penting sekali,” ujar Entos.
Sementara paparan iklan, promosi dan sponsor (IPS) rokok, berasal di tempat penjualan sebanyak 65 persen, TV 65 persen, media luar gedung 61 persen, dan media sosial 36 persen. Angka itu berasal dari Global Youth Tobacco Survey, 2019.
Ketika iklan rokok bertebaran di banyak tempat, mulai dari media elektronik, media luar ruang hingga media sosial, Entos bertanya; “Bisakah kita mencari kunci untuk kemudian mencegah ini, sehingga tidak ada iklan rokok?”
HAK ANAK
Perlindungan hak anak telah diatur berdasarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak) dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Entos mengatakan, pemerintah pusat, pemerintah daerah bersama masyarakat, keluarga dan orangtua atau wali berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Adapun prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak (KHA) terdiri dari non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hidup, tumbuh dan berkembang, serta partisipasi suara anak.
“Mengapa kami getol sekali mencegah merokok, karena bukan kepentingan terbaik bagi anak. Karena bukan terbaik bagi anak, maka kita secara bersama-sama melakukan pencegahan itu,” katanya.
Lalu bagaimana tumbuh dan kembang anak saat terpapar rokok? Karena itu, Entos menjelaskan bahwa sesuai UU, setiap warga negara punya kewajiban yang sama untuk melindungi anak-anak.
“Selain itu, banyak kalangan resah dengan fenomena anak merokok. Artinya, yang resah itu adalah mereka yang sudah paham, sementara yang merasa aman-aman saja, mereka belum paham,” paparya.
Selanjutnya, Entos mengajak untuk menjangkau anak-anak yang belum paham tersebut. “Bisa dimulai dari forum anak, tetapi secara komprehensif juga perlu dilakukan,” terangnya.
Secara rinci, Entos menyebut, ada 5 klaster konvensi hak anak yang tidak boleh dilanggar. Klaster pertama terkait hak sipil dan kebebasan, klaster kedua tentang lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Klaster ketika soal kesehatan dasar dan kesejahteraan, klaster keempat terkait pendidikan, pemanfaatan waktu luang dan kegiatan budaya. Terkahir klaster kelima tentang perlundungan khusus.
Konvensi Hak Anak pada pasal 24 juga menjelaskan, anak berhak untuk menikmati status kesehatan tertinggi yang dapat dicapai untuk memperoleh sarana-sarana perawatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
“Status kesehatan tertinggi, anak tidak mengalami gangguan pada fisik dan mental sehingga bisa melakukan semua aktivitas dengan baik. Juga dimasukkan tentang pendidikan karakter, seperti: berpikiran positif, membantu orang tua dan orang lain,” katanya
Di sisi lain, langkah pencegahan agar anak tidak menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya perlu diperhatikan. Ini ada kaitannya dengan isu-isu kesehatan anak dan kemiskinan.
Juga, anak harus terbebas dari stunting. Pasalnya, stunting yang saat ini terjadi ada hubungannya dengan rokok. “Cuma sebesar apa terkait rokoknya atau risk rasionya, ini harus diteliti lebih lanjut,” kata Entos.
Sementara terkait masalah gizi dan anemia, ditengarai memiliki keterkaitan dengan rokok. Ketika seseorang merokok, maka CO2 akan mengikat O2. “Jika O2 terikat maka tidak bisa masuk ke tubuh dan ada hubungan dengan hemoglobin,” katanya.
Tak hanya itu, anak harus terbebas dari penyakit tidak menular (PTM), kesehatan reproduksi, HIV/AIDS, personal higieni dan sanitasi, kekerasan dan cidera, rokok dan narkoba.
“Rokok dengan segala keburukannya mencoreng hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara maksimal, bahkan mencuri hak hidup mereka,” ujar Entos.
PERMASALAHAN ROKOK DI INDONESIA
Di Indonesia, Entos melihat permasalahan rokok muncul akibat beberapa hal, dimulai dari rendahnya harga rokok karena biaya cukai yang rendah, penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) masih lemah dan belum adanya larangan total iklan, promosi dan sponsor rokok.
“Rokok kabarnya memberikan pemasukan yang sangat besar bagi Indonesia. Mungkin karena itu, Indonesia menjadi negara yang belum mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)”, katanya.
Selain itu, rokok merupakan komoditi kedua tertinggi setelah beras. Angka itu didapatkan dari BPS pada Maret 2020. “Ini satu keprihatinan kita, dimana belanja rokok lebih tinggi dari belanja telur ayam. Lebih tinggi dari belanja daging. Masih lebih tinggi telur ayam dan daging. Ini yang membuat mengapa stunting masih dikeluhkan,” paparnya.
Salah satu penyebabnya bukan karena pendapatan keluarga, namun mekanisme pengelolaan keuangan keluarga, sehingga pendapatan tidak digunakan secara baik untuk untuk pendidikan, gizi dan kesehatan anak.
RPJMN 2020 – 2024
Pemeintah melalui RPJMN 2020-2024 menargetkan penurunan angka perokok penduduk usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen pada tahun 2024. Ketika target itu ada di dokumen, Entos menilai, yang terpenting adalah implementasinya di lapangan.
“Sehingga jangan sampai kita dikenal bagus dalam dokumen, tapi implementasi masih perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Sebelumnya sudah banyak kebijakan yang dibuat untuk melindungi anak dari paparan rokok. UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, PP No. 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, merupakan salah satunya.
Lalu ada Permenkes No. 40 Tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Tembakau, Surat edaran Mendagri No. 440/7468/Bangda tanggal 28 November 2018 tentang Penerapan Regulasi KTR di daerah, hingga Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 64 Tahun 2015 tentang KTR di sekolah
Khusus terkait antisipasi munculnya perokok pemula sebagaimana tertuang di dalam PP 109 Tahun 2012, mensyaratkan adanya Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di sekolah, aturan pelarangan iklan rokok bagi anak dan remaja serta ketentuan jam tayang iklan, aturan untuk tidak melibatkan anak dalam iklan rokok.
Juga aturan tidak memuat iklan produk tembakau di media cetak untuk anak dan remaja. Termasuk melarang menjual atau memberi rokok kepada anak, serta pentingnya informasi, edukasi dan komunikasi kepada anak dan remaja mengenai bahaya rokok.
“Ini bagian penting dari era disrupsi, sehingga kita harus memperbaiki apa yang perlu dilakuan. Kita harus ukur apa yang sudah dilakukan dari kebijakan itu,” ungkapnya.
KOTA LAYAK ANAK
Perlindungan anak merupakan kewajiban dan tanggungjawab bersama antara orang tua atau keluarga, lembaga pengasuhan alternatif, satuan pendidikan, masyarakat dan pemerintah, termasuk menjauhkan anak dari bahaya rokok.
Oleh karena itu, kelembagaan Kota Layak Anak (KLA) menjadi sangat penting untuk mengukur enam indikator terkait kesehatan, seperti: persalinan di faskes, prevalensi gizi, PMBA, Faskes dengna pelayanan Ramah Anak, AIr minum dan sanitasi, KTR dan IPS Rokok. “Ini kita ukur masing-masing di kabupaten/kota,” katanya.
Sementara itu, indikator Kota Layak Anak No. 17 adalah tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR), tanpa iklan, promosi dan sponsor (IPS). “Aturan ini perlu diperkuat dan ditegakkan,” pintanya
Lebih jauh, Entos menjelaskan hal-hal yang diukur di dalam Perda KTR, meliputi: apakah ada peraturan atau kebijakan daerah tentang KTR dan disosialisasikan kepada masyarakat?
Lalu, seperti apa persentase KTR di faskes, fasdik, tempat anak bermain, tempat ibadah dan angkutan umum, persentase KTR di fasilitas tempat umum, ada tidaknya lembaga pengawas KTR, tidak ada iklan, promosi, dan sponsor (IPS) rokok pada kegiatan yang melibatkan anak.
Termasuk juga, apakah ada tidaknya keikutsertaan forum anak terkait KTR dan pelarangan IPS rokok, hingga kemitraan antar OPD, LM, DU dan media dalam pengelolaan KTR.
Menurut Entos, hasil evaluasi KLA tahun 2019 memuat indikator KTR dan Iklan, Promosi, dan Sponsor (IPS) rokok. Kendati demikian, hasilnya belum bisa dipublikasikan karena masih dalam tahap validasi.
Hanya saja, kebijakan KTR selama ini sudah baik, ditandai dengan hadirnya Peraturan Daerah (Perda) yang jumlahnya lebih dari 50 persen, sementara non Perda, (Peraturan Bupati atau Wali kota) mencapai 27 persen. “Artinya, secara aturan, kita sudah hampir 80 persen. Tinggal bagaimana menegakkan aturan ini dengan baik,” katanya.
Adapun Kebijakan KTR yang telah disosisalisasikan kepada masyarakat, menurut Entos sebanyak 65 persen. Setelah itu, tinggal melihat intensitas dari sosialisasi tersebut.
“Jadi kami sudah senang dengan sosialisasinya, tapi kami tidak puas dengan judul. KIta harus melihat kedalamannya. Kedalaman, intensitasnya berapa lama, apa bahannya dan seperti apa hasil evaluasinya,” pungkas Entos.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post