Jakarta, Prohealth.id – Kebijakan cukai memang masih menjadi alat paling efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok meskipun cukai rokok saja tidak cukup tanpa upaya pengendalian harga eceran melalui simplifikasi tarif cukai.
Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto menyampaikan bahwa target cukai untuk keseluruhan senilai Rp203 triliun pada tahun 2022. Hal itu merujuk pada nota keuangan yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu.
“Itu untuk cukai hasil tembakau, cukai minuman mengandung alkohol, etil alkohol dan usulan ekstensifikasi cukai lainnya,” kata Akbar pada Workshop Daring Jurnalis bertema “Kenaikan Cukai Rokok: Antara Pembatasan Dampak Negatif dan Pemasukan Negara”, Kamis (2/9/2021).
Menurut Akbar, jika dihitung dari tahun 2021 dimana penerimaan cukai senilai Rp180 triliun, diprediksi akan naik sebesar 13 persen. “Hanya saja, sampai saat ini, hampir 96 persen penerimaan cukai berasal dari cukai hasil tembakau,” katanya.
Hal ini dianggap sebagai tonggak atau pegangan, meskipun Kemenkeu terus berupaya memperluas objek-objek cukai, dalam konteks ektensifikasi cukai. Adapun cukai hasil tembakau yang dikenal dengan sebutan rokok, di UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai memiliki cakupan yang luas. Defisini cukai hasil tembakau meliputi: tembakau iris, cerutu, rokok hingga Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).
“Produk-produk yang asalnya dari tembakau, memang sampai saat ini, rokok masih dominan,” ujarnya.
Terkait cukai, UU 39/2007 mengatur dua fungsi, yakni sebagai regulasi dan bajeter. Fungsi bajeter terkait dengan sumber penerimaan negara, sementara regulasi terkait dengan pengendaliannya.
Seperti diketahui, cukai merupakan pajak yang dikenakan pada barang-barang dengan karakteristik tertentu. Salah satu sifatnya adalah pengendalian, yakni: pengendalian konsumsi, penggunaan, dan sebagainya. “Ini merupakan salah satu aspek dalam penentuan kebijakan,” katanya.
EMPAT ASPEK CUKAI
Akbar memastikan bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cuka selalu berpegangan kepada empat konsep dasar, sebagaimana disampaikan Menkeu Sri Mulyani tentang cukai hasil tembakau.
“Pertama adalah pengendalian konsumsi. Kemudian optimalisasi penerimaan. Lalu keberlangsungan tenaga kerja dan terakhir adalah peredaran rokok ilegal,” terangnya.
Sehingga empat aspek ini akan selalu mewarnai kebijakan saat akan menentukan kenaikan cukai hasil tembakau di setiap tahunnya. Namun, Akbar tidak menampik, jika ada tarik menarik kepentingan diantara empat aspek tersebut. Pemerintah menurutnya, harus di posisi yang netral. “Dalam artian bagaimana produksi selalu kita coba kendalikan,” katanya.
Menanggapi hal itu, Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengingatkan bahwa posisi pemerintah untuk rokok tidak boleh netral. Negara harus hadir melindungi warganya, utamanya generasi emas.
“Faktanya makin banyak penduduk usia belia yang merokok. Prevalensi perokok muda naik terus. Artinya, apapun yang pak Akbar katakan, tidak akan efektif untuk melindungi rakyat,” kata Faisal yang hadir sebagai narasumber di forum yang sama.
Hal itu terbukti dari tingginya prevalensi perokok laki-laki, bahkan yang tertinggi di dunia. “Kan, yang terpenting jumlah perokoknya dulu nih. Bisa saja produksi rokok turun, karena rata-rata orang merokoknya berkurang. Tapi jumlah orang yang merokok naik terus,” ungkapnya.
Sementara terkait peredaran rokok ilegal, Faisal menegaskan bahwa Kemenkeu seharusnya tidak mengurusi hal-hal seperti. Produk-produk ilegal sebaiknya diserahkan kepada aparat penegak hukum.
“Jika ilegal urusannya bukan ke Kemenkeu yang mengatur keseimbangan, tetapi itu urusannya penegakan hukum. Itu kan melanggar hukum. Sikat yang ilegal itu,” katanya.
Sehingga pemberantasan rokok ilegal, tidak akan mampu menyeimbangkan optimalisasi penerimaan. Namun penurunan jumlah produksi rokok seharusnya dimanfaatkan dengan sebaik mungkin.
“Sehingga era pandemi menjadi momen paling bagus, ketika kita lihat nilai tambah industri rokok turun terus. Itu tren yang bagus. Tapi anehnya, selama ini positif terus,” terangnya.
Oleh karena itu, Faisal menyarankan agar pemerintah memanfaatkan peluang tersebut, sebagai bukti dari kebijakan pemerintah yang efektif. Caranya dengan menekan produksi rokok turun drastis, dan jumlah perokok juga ikutan turun. Termasuk jumlah anak yang merokok sebisa mungkin nol.
“Ini barang adiktif pak. Tidak bisa pakai pendekatan ekonomi, tidak bisa pakai teori keseimbangan,” tegasnya.
GROWTH PRODUKSI ROKOK
Dalam 5 tahun terakhir, Akbar meyakini growth produksi rokok yang diproyeksikan melalui pemesanan pita cukai akan selalu turun. Hanya pada tahun 2019, ketika tidak ada kenaikan cukai, growth-nya mengalami peningkatan.
“Namun diluar itu, growth mengalami penurunan. Nah itu yang menjadi faktor kita dalam melakukan pengendalian,” ungkap Akbar.
Jika menilik data Susenas yang dirilis BPS, prevalensi kecenderungan merokok dari masyarakat mulai turun. Di tahun 2018 prevalensinya 32.2%, turun menjadi 28.69% pada 2020. “Kami melihat itu inline dengan penurunan produksi dari pesanan pita cukai itu,” katanya.
Khusus terkait optimalisasi penerimaan cukai, Akbar menilai, kenaikan cukai akan mendorong kenaikan optimal dari penerimaan cukai itu sendiri. Hal ini dinilai sebagai benefit antara penerimaan dan sebagai fungsi pengendalian.
Hanya saja, Faisal Basri berpendapat lain. Menurutnya, cukai seharusnya ditujukan sebagai alat untuk mengendalikan produksi rokok. “Jadi bukan optimalisasi penerimaan negara. Target cukai seharusnya bukan untuk penerimaan negara,” tegasnya.
Ketika kebijakan cukai dianggap tidak efektif untuk melindungi rakyat Indonesia, negara seharusnya kreatif untuk menciptakan kegiatan ekonomi yang bernilai tambah tinggi, dan bukannya mengandalkan pada cukai. Ini penting untuk meningkatkan pendapatan dan daya saing produk lokal.
Meskipun cukai tidak pernah turun, penerimaan negara di era pandemi dari berbagai jenis pajak itu turun semua, kecuali cukai dan bea keluar. Tapi bea keluar untuk tahun 2022 turun lagi. Yang konsisten naik, hanya cukai terutama cukai rokok.
TENAGA KERJA
Akbar Harfianto menegaskan bahwa empat aspek penentuan cukai sebagai titik berat pemerintah, termasuk tenaga kerja. “Sehingga jika memperhatikan struktur tarif yang ada, kita membedakan beban tarif berdasarkan jenis. Ada sigaret putih mesin, sigaret kretek mesin dan sigaret kretek tangan,” papar Akbar.
Selain itu, pemerintah tidak memberikan beban yang terlalu besar kepada produsen sigaret kretek tangan, karena industri tersebut sifatnya padat karya, dan dari sisi market share juga tidak terlalu besar.
“Namun dari sisi penyerapan tenaga kerja cukup besar. Inilah mengapa kita tidak memberikan beban tarif yang tidak terlalu tinggi,” jelasnya.
Soal tenaga kerja, Faisal Basri setuju jika hal itu tidak diutak-atik, khususnya rokok kretek. Namun melindungi masyarakat dari bahaya rokok sebagaimana kebijakan yang sudah dicanangkan pemerintah harus terus diutamakan. “Bukan ditunda-tunda, bukan digagalkan,” katanya.
PENYEDERHANAAN TARIF CUKAI
Setiap kali ada pembahasan kenaikan cukai produk tembakau, Faisal Basri heran, mengapa penyederhanaan tarif cukai tak kunjung selesai.
“Saya tahu, Kemenkeu komitmen melakukan penyederhanaan tarif cukai. Tapi ada tekanan-tekanan politik,” katanya.
Menurut Faisal, ini satu-satunya target penerimaan negara dari cukai yang belum ditetapkan secara definitif. “Cukai rokok pada 2022, belum. Padahal target penerimaan pajak PPN, sudah,” ujarnya.
Faisal menambahkan, “Jadi jangan sepenuhnya kita menyalahkan Kemenkeu, karena lobi industri rokok sangat luar biasa. Mereka juga melobi DPR.”
Sehingga, jika menilai Kementerian Keuangan, posisinya tidak mendukung pabrik rokok. “Itu clear,” kata Faisal.
Namun yang publik saksikan saat ini, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan sangat mendukung industri rokok. “Sementara Bappenas juga cenderung progresif. Kemenkeu itu setidaknya di tengah, tapi bukan dalam artian netral. Kita tidak boleh netral,” paparnya.
PENERIMAAN PAJAK
Dalam beberapa tahun terakhir, Faisal Basri menunjukkan bahwa penerimaan pajak di era pandemi cenderung menurun. Contohnya PPh Nonmigas yang anjlok dari Rp713 triliun pada 2019 menjadi Rp561 triliun pada 2020. Hal serupa juga terjadi di PPN dan PPnBM yang mengalami penurunan akibat pandemi. Dari Rp532 triliun di tahun 2019 menjadi Rp450 triliun di 2020.
“Lalu kita liat cukai rokok ternyata naik terus. Dari Rp172 triliun di tahun 2019, naik Rp176 triliun di 2020, lalu Rp182 triliun pada 2021, dan Rp204 triliun pada 2022,” katanya.
Sehingga Faisal mengingatkan, “Jangan sampai gara-gara ini, cukai rokok dijadikan pengaman untuk menambal penurunan di sektor lain. Sehingga pemerintah mencari keseimbangan melalui cukai rokok. Sebetulnya tidak boleh.”
Sementara itu, bea keluar juga naik dalam 3 tahun terakhir. Uniknya, tahun depan diproyeksikan turun.
SESUAI ROADMAP
Berdasarkan UU Cukai no.39/2007, Akbar Harfianto menegaskan bahwa unsur utamanya adalah pengendalian. Itu sebabnya, Kemenkeu selalu berpatokan pada growth yang akan diturunkan targetnya saat menentukan cukai hasil tembakau.
“Biasanya tarif cukai selalu dinaikkan, kecuali pada musim pemilu di 2019. Selama ini growth produksi 2-4 persen yang kita harapkan,” katanya.
Hanya saja, Akbar menilai, kenaikan tarif sangat sensitif sifatnya. Saat tarif tidak dinaikan, ternyata produksi rokok melonjak secara signifikan. Namun Akbar memastikan bahwa Dirjen Bea dan Cukai konsisten akan menaikkan tarif cukai rokok. Pasalnya, produksi rokok mencapai 356 miliar batang di tahun 2019. Seiring kenaikan cukai sebesar 23 persen di 2020, harga jual eceran mencapai Rp35.000.
“Sehingga kecenderungan harga bandrol lebih tinggi dari harga transaksi pasarnya, karena harga kita naikkan secara signifikan,” terang Akbar.
Dari situ terlihat, produksi di tahun 2020 mengalami penurunan menjadi 322 miliar batang. “Ini yang secara konsisten juga kita lakukan,” katanya.
Senda dengan itu, Faisal Basri menilai, besaran cukai cukai rokok akan naik, meskipun belum ditetapkan dalam pendapatan cukai hasil tembakau.
“Naiknya berapa, sebaiknya sesuai roadmap yang telah ditetapkan pemerintah sebesar 12,5 persen. Kemudian jangan lupa naikkan harga jual rokok juga. Pasalnya, cukai tidak ampuh jika tidak diiringi kenaikan harga jual,” jelasnya.
Selama ini, data membuktikan bahwa harga merupakan faktor utama dalam menentukan seseorang akan merokok atau tidak.
Pada saat bersamaan, Faisal mengingatkan tentang peran oligarki yang kerap melakukan lobi-lobi. “Lobinya sangat luar biasa, sampai rokok elektrik tidak masuk negatif investasi. Philip Moris sudah janji untuk membawa uang miliaran USD untuk membangun industri rokok elektrik di Indonesia,” katanya.
Hal itu terjadi, ketika pemerintah lebih mengedepankan investasi. Setiap investasi dipermudah, namun disaat yang bersamaan ada nyawa manusia Indonesia menjadi taruhannya.
“Masa kita kalah dengan Ethiopia. Dia negara miskin, tapi tidak pernah mengandalkan penerimaan dari industri rokok. Moldova juga begitu. China juga,” ungkap Faisal.
Perokok di China jumlahnya sangat banyak. Uniknya, mereka yang tadinya seperti Indonesia, yang mengandalkan penerimaan dari cukai rokok, namun sekarang berubah total.
“Peranan cukai rokok dalam penerimaan negara mereka anjlok sekarang ini. Jadi mereka sadar bahwa itu bukan tujuan utama dari sisi penerimaan negara,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post