Jakarta, Prohealth.id – Kalangan muda pun penting perannya untuk mengemukakan kritik dan melakukan kajian isu pengendalian tembakau.
Kepala Divisi Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (Kanopi), Univesitas Indonesia (UI), Rionanda Dhamma Putra mengamati harga rokok masih cenderung sangat murah.
“Ternyata harga rata-rata rokok di Indonesia (per-bungkus) paling murah di dunia,” katanya saat sesi bincang dari bertema Ngobrol Sore: Relasi Kaum Muda dengan Cukai Rokok dalam akun Instagram Komite Nasional Pengendalian Tembakau @komnaspt, Jumat (3/9/2021).
Oleh sebab itulah, ucap dia, prevalensi perokok bisa terus meningkat. “Per-bungkus (rata-rata harga termurah) Rp 17 ribu. Harga sebegitu murah bisa dibeli dengan mudah,” ucap mahasiswa semester lima Fakultas Ekonomi dan Bisnis, UI itu. Belum lagi, dia menambahkan, tak ada kesulitan untuk anak-anak membeli rokok.
“Tanpa perlu menunjukkan identitas apa pun,” ujarnya.
Presiden Global Cigarette Movement (9CM) Janitra Hapsari mengatakan, masalah tembakau memang kompleks. Tak cuma masalah ekonomi dan kesehatan saja. Tapi juga ihwal perilaku sosial dan lingkungan. “Perlu banget membekali diri dulu tembakau dilihat sebagai masalah dari mana saja,” katanya.
Menurut dia, untuk menekan prevalensi agar tidak terus meningkat, hal terpenting membuat harga rokok makin mahal. “Rokok tidak melaju ke arah SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” ujarnya. Industri rokok, kata dia, punya kecenderungan kuasa untuk memengaruhi pemerintah.
“Memang ada gangguan industri rokok mengarah ke pemegang kebijakan,” katanya.
Project Officer Komite Nasional Pengendalian Tembakau Manik Marganamahendra juga memandang penting kenaikan harga rokok. Sebab, kesadaran terkait motif ekonomi dianggap lebih mengena untuk pengendalian tembakau.
“Rokok ini punya karakter adiktif, jadi (konsumen) sulit berhenti, salah satu alasan ya harganya,” ucapnya dalam Talkshow Ruang Publik KBR bertema ‘Seperti Apa Pandemi Memengaruhi Kebiasaan Merokok?’ dalam saluran (channel) YouTube Berita KBR, Kamis (2/9/2021).
Namun perlu evaluasi terkait kenaikan tarif cukai yang belum sepenuhnya membuat harga rokok makin mahal. Ada kecenderungan masih banyak pilihan untuk mencari harga rokok yang murah. “Harapan sebenarnya perekonomian sedang sulit ini (masa pandemi Covid-19) mengurangi (konsumsi) yang tidak dibutuhkan. Bukan beralih rokok yang lebih murah,” ujarnya.
Kebijakan pemerintah, kata Manik, memegang peran yang sangat penting terkait perilaku merokok dalam masyarakat. Lagi-lagi, menurut dia, kenaikan tarif cukai serta penyederhanaan golongan akan berfungsi untuk menekan prevalensi, terutama anak-anak yang merokok. “Rokok memang barang legal. Tapi (penting) menyoroti rokok bukan barang normal sehingga harus dikendalikan,” katanya.
Segala upaya pengendalian itu juga beriringan dengan iklan rokok karena terkait memperkenalkan produk. Belum lagi, tak ada pemilihan letak menaruh rokok ketika dijual di warung. “Dari segi penjualan normal, rokok dijual sejajar dengan biskuit,” ujarnya.
Hal itulah yang mengesankan rokok sebagai barang normal. Dagangan rokok eceran juga makin memudahkan orang untuk membeli dengan harga murah. “Perlu ada kebijakan yang cukup baik mengendalikan akses perokok pemula dari pencegahan penjualan ketengan,” katanya.
AFIRMASI EKONOM
Ujaran kelompok muda tentang harga rokok yang terlampau murah dibenarkan oleh Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri. Dalam wawancara eksklusif bersama Prohealth.id, Faisal membeberkan akal-akalan pengusaha rokok dalam memainkan harga eceran agar sekalipun cukai rokok naik, harga jual tetap terjangkau konsumen.
“Jadi, harga rokok sebenarnya naik tapi dibuat seolah-olah harga tidak naik dan malah turun. Caranya, jumlah batangnya dikurang,” ujar Faisal.
Dia memerinci, cukai rokok naik berdampak pada 16 batang rokok, lalu dibuatlah harga tetap murah dengan 12 batang. Bahkan, di Indonesia membeli rokok pun bisa beli batangan dengan harga yang sangat terjangkau uang jajan anak-anak. Padahal yang paling penting dalam mengendalikan konsumsi rokok adalah harga. Misalnya di Australia saja beli rokok harganya hampir Rp1,5 juta, sehingga warga pun cenderung kapok untuk membeli rokok.
“Jadi nanti terus begitu terjual, ada yang 12 batang, lalu nanti 8 batang, jadi produsen disini ada kemewahan untuk bermanuver (harga),” kata Faisal.
Dia menambahkan, saat ini ada enam golongan tarif cukai dan dibagi dalam 13 tier. Akibatnya, selisih tiap golongan pun sangat tipis, akibatnya kebijakan menaikkan cukai tidak efektif karena akibatnya harga jual rokok tidak naik. Apalagi dengan beragam golongan tarif cukai rokok yang tidak sederhana membuat anak dan remaja memiliki lebih banyak pilihan yang lebih murah untuk produk rokok.
“Makanya ini (tarif cukai rokok) diseragamkan aja, harga jualnya (eceran) juga dinaikkan. Pemerintah ini tidak total, tarif cukai naik tapi harga jualnya tidak,” ungkap Faisal.
Dia pun menyoroti promosi jualan rokok di warung bahwa rokok dijual dengan murah. Iklan ini membuat anak, remaja, bahkan masyarakat miskin merasa rokok yang tersedia bukanlah barang berbahaya dan mahal, karena harganya masih terjangkau.
Penulis: Bram Setiawan
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post