Jakarta, Prohealth.id – Rencana memberikan label Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk tembakau merupakan salah satu bentuk menjerumuskan pemahaman publik terkait ancaman rokok pada kesehatan masyarakat.
Manajer komunikasi Komnas Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Nina Samidi menilai label SNI yang dikeluarkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) terhadap produk tembakau yang dipanaskan cukup mengejutkan dan sangat mengecewakan.
Pasalnya, di tahun 2019, Komnas PT bersama IDI, PDPI, IDAI dan sejumlah lembaga lainnya pernah mengingatkan pemerintah tentang masuknya produk baru (rokok yang dipanaskan dan rokok elektronik) yang berpotensi menambah beban penyakit masyarakat.
“Beban terhadap bidang kesehatan ketika produk ini masuk,” kata Nina dalam sesi webinar “Merespon SNI Rokok Elektronik”, Jumat (10/9/2021).
Komnas PT berharap pemerintah segera merespons dengan membuat aturan terbaru. Rekomendasi pelarangan rokok elektronik diperlukan, karena saat ini, beban kesehatan akibat rokok konvensional sudah sangat besar.
Namun yang terjadi, alih-alih membuat aturan tentang rokok elektronik, pemerintah justru menerima investasi dari industri rokok yang ingin membuka kran produk rokok elektronik secara massal di Indonesia.
“Ini sangat mengecewakan, karena sepertinya pemerintah kupingnya hanya terbuka untuk industri. Tidak pernah membuka telinganya terhadap rekomendasi kesehatan masyarakat,” tegas Nina.
Ini terbukti, pasca keluarnya SNI rokok elektronik, Menteri Koordinator Bidang Ekonomi Airlangga Hartarto menyebutkan bahwa industri tembakau Philip Morris Internasional (PMI) segera berinvestasi di Indonesia.
“Itu membuat kami sadar, bahwa orang Indonesia harus bersiap-siap, karena setelah ini akan ada jenis penyakit baru, atau beban kesehatan baru akibat rokok elektronik, yang seperti diberi karpet merah di Indonesia,” terangnya.
Munculnya SNI dikala pandemi, menurut Nina menunjukkan bahwa pemerintah, tidak peka terhadap kondisi masyarakat. Ketika masyarakat tengah berjuang melawan pandemi, pemerintah justru memberi SNI terhadap produk berbahaya. Akibatnya, hal itu menjadi kontraproduktif dengan slogan-slogan pemerintah yang menyatakan fokus terhadap kesehatan masyarakat. “Ketika kesehatan merupakan hal utama, ternyata hal itu tak lebih dari slogan,” kata Nina.
Komnas PT juga mempertanyakan alasan dibuatnya SNI rokok elektronik. Disebutkan pada poin pertama, alasannya untuk melindungi konsumen. Maka pada poin kedua untuk memberi kepastian terhadap pelaku usaha.
Namun jika melihat susunan komite teknis di SNI, sangat jelas tujuannya untuk memihak kepastian pelaku usaha. Akibatnya, perlindungan konsumen semacam kamuflase.
“Jika diteliti, di SNI itu sendiri tidak ada poin-poin yang menyebutkan tentang perlindungan konsumen,” ujarnya.
Belum lagi, jika dilihat dari terbitnya SNI terdapat angka-angka tentang kandungan zat di dalam rokok elektronik. Ternyata yang diatur hanya 5 zat saja, padahal ada banyak zat kimia lain di dalam produk rokok elektronik.
“Disitu tidak ada kandungan lain seperti perisa, pewarna dan aroma yang kebanyakan bersifat karsinogenik,” ungkapnya.
Nina menambahkan, “Jika menyebut ini sebagai SNI untuk memberikan standar agar menjamin keamanan produk, kita harus melihat kembali produknya yang ternyata tidak aman. Sehingga esensi amannya dimana?”
Oleh karena itu, sebuah produk layak dikonsumsi seharusnya melewati uji klinis. Uniknya, ketika rokok elektronik yang merupakan produk berbahaya, di dalam pengaturan SNI-nya tidak melibatkan pakar kesehatan sama sekali.
“Sehingga tidak ada yang namanya uji klinis, itu sebabnya rokok elektronik tidak bisa disebut layak konsumi,” ujarnya.
Senada dengan hal itu, Ketua umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Dr. Agus Dwi Susanto mengakui bahwa tidak ada keterlibatan tenaga medis dalam penentuan SNI rokok elektronik.
“Tentu kami sebagai dokter paru Indonesia sangat prihatin dengan hal tersebut. Karena sejak awal, kami selalu konsisten bahwa rokok elektronik atau vaping tetap berbahaya bagi kesehatan,” ujarnya.
Menurut Agus, pengaturan SNI rokok elektronik seharusnya melibatkan praktisi di bidang kesehatan, karena di luar itu, tidak akan paham aspek bahaya rokok elektronik dari sisi kesehatan.
PAPARAN ROKOK ELEKTRONIK
Program Manager Lentera Anak Nahla Jovial Nisa menjelaskan tentang survei yang diadakan lembaganya terhadap 180 anak yang merupakan perokok aktif. Mereka ditanyakan secara langsung tentang keterpaparan iklan rokok elektronik, yang umurnya dibawah 18 tahun.
“Selain itu, ada 343 perokok anak lain yang mengikuti survei secara online,” terangnya.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 180 anak yang merupakan perokok konvensional, diantaranya 83 orang atau 46,1 persen merupakan perokok dual user, yaitu rokok konvensional dan merokok elektronik.
“Ini membuktikan bahwa anak-anak kita telah mencoba rokok elektronik,” tegas Nahla.
Anak-anak ternyata memiliki pengetahuan tentang rokok elektrik, yakni sebanyak 73,5 persen anak mampu menjelaskan secara singkat apa itu rokok elektronik.
“Anak-anak itu menyampaikan pengetahuan yang bersifat superficial, bahwa merokok elektronik jauh lebih aman, supaya mereka bisa berhenti dan sebagainya,” katanya.
Selain itu, anak-anak telah mengetahui merek rokok elektronik secara detail. Tiga merek yang paling diketahui anak-anak adalah Vod sebanyak 34 persen, Vgood sebesar 25 persen, dan Vinci sebanyak 10 persen.
“Padahal rokok elektronik di klaim hanya untuk mereka yang berusia 21 tahun ke atas, dan bukannya untuk anak-anak. Uniknya, anak-anak mampu menyebutkan mereknya, padahal ada banyak sekali jenisnya,” katanya
“Dan kita tidak tahu, anak-anak ini tahu dari mana merek-merek itu?” imbuh Nahla kemudian.
Sementara masifnya paparan iklan rokok elektronik terhadap anak, sebanyak 60,6 persen mengaku terpapar oleh iklan rokok elektronik. Ini mengakibatkan anak-anak beranggapan bahwa rokok elektronik lebih aman dan lebih sehat. Termasuk bisa membuat mereka berhenti merokok.
“Mereka menemukan jenis-jenis merk rokok elektronik melalui media sosial. Lebih dari 80 persen,” katanya.
Lalu tingkat keterpaparan anak terhadap rokok elektronik ditemukan sebanyak 78,3 persen. Mereka penasaran dengan rokok elektronik dan 40 persen diantaranya ingin beralih dari rokok konvensional ke rokok elektronik.
“Dengan tidak adanya SNI, anak-anak ini sudah terjerat oleh klaim-klaim menyesatkan yang dilakukan rokok elektronik,” ujar Nahla.
SNI MENYESATKAN PUBLIK
Perwakilan Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau (SAPTA) Ari Soebagio mengatakan, standarisasi yang dilakukan BSN untuk rokok elektronik merupakan bentuk penyesatan ke publik.
“Harus dipahami bahwa ini bertentangan dengan UU Kesehatan dan PP 109 yang jelas-jelas mengatur soal peredaran rokok,” katanya.
Jika distandarisasi, rokok elektronik seharusnya memenuhi kriteria yang didasarkan atas faktor kesehatan. “Misalnya kita mengambil contoh helm. Helm itu jelas perlu di SNI, karena untuk keselamatan dan keamanan. Lah rokok, ini jadi catatan besar bagi SAPTA karena dianggap sebagai tindakan yang konyol,” ungkapnya.
Ari menambahkan, “Apakah rokok sudah melalui kriteria itu? Sedangkan rokok adalah zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan. Jika dalihnya ingin melindungi konsumen, gak usah di SNI.”
“Ini merupakan cara-cara licik yang dilakukan industri tembakau untuk melakukan upaya-upaya untuk menjual produknya,” imbuhnya kemudian.
Selain itu, Ari juga heran mengapa Kementerian Kesehatan hingga saat ini belum bersuara dengan hadirnya SNI rokok elektronik. Bahkan BPPOM tidak melakukan upaya apapun, padahal penolakan telah dilakukan, seiring dampak buruk rokok elektronik terhadap anak-anak.
“Ketika prevalensi perokok anak naik, lalu bagaimana cara mencegahnya?” ujarnya.
Menurut Ari, seharusnya hal ini sudah jelas. Pasalnya, Presiden Jokowi selalu menekankan tentang pentingnya sumberdaya manusia yang unggul. “Jika semua anak-anak terpapar rokok, bagaimana bisa unggul? Ini adalah bentuk penyesatan kepada publik,” katanya.
Oleh sebab itu, Ari memastikan bahwa SAPTA akan melakukan sejumlah upaya, baik hukum maupun non hukum untuk menolak SNI rokok elektronik.
“Karena semua itu dilanggar, mulai dari UU cukai No 39 Tahun 2007, UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP 109 Tahun 2012 tidak dihiraukan,” jelasnya.
Ketika SNI rokok elektronik diterbitkan, Ari menjelaskan bahwa rokok seakan sudah aman untuk dikonsumsi. Padahal rokok adalah produk legal tapi terbatas, sehingga harus dikendalikan.
SNI ABAL-ABAL
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menilai ada lima kecacatan seiring terbitnya SNI rokok elektronik. Kecacatan itu meliputi, cacat paradigma atau cacat ideologi, cacat sosiologis, cacat proses, cacat hukum, dab cacat kelembagaan.
“SNI abal-abal rokok elektronik mengantongi 5 kecacatan yang sangat nyata,” terangnya.
Rokok elektronik cacat paradigma atau cacat ideologi artinya rokok merupakan produk substandar, sehingga tidak bisa dibuatkan standar. “Tidak bisa dibuatkan SNI,” terang Tulus.
Jika dibuatkan SNI, berarti ada legitimasi aman pada produk rokok tersebut, padahal tidak ada kata ‘aman’ untuk rokok, termasuk rokok elektronik.
“BSN baru sekali ini membuat blunder yang sangat konyol dengan menerbitkan SNI pada rokok elektronik,” katanya.
Rokok elektronik juga cacat sosiologis. Pasalnya, sejak 2010, WHO telah menyatakan tembakau sebagai pandemi dunia, dengan korban 7 juta orang meninggal setiap tahunnya.
“Di Indonesia, 35 persen orang dewasa adalah perokok aktif. Jumlah itu sekitar 75 juta orang,” ujarnya.
Rokok elektronik juga menjadi ancaman wabah baru, ketika wabah rokok konvensional ternyata belum bisa dikendalikan.
“Ini artinya BSN tidak melihat fenomena seperti ini, karena mereka ibarat kacamata kuda yang telah dipesan oleh industri,” terangnya.
Sementara terkait dengan rokok elektronik yang cacat dalam proses, dimulai ketika proses pembuatan SNI tidak transparan dan tidak merepresentasikan stakeholder yang kompeten.
“Juga tidak melibatkan kementerian atau kelembagaan yang kompeten untuk urusan kesehatan,” terangnya.
Pembuatan SNI juga tidak melibatkan keterwakilan konsumen yang mempunyai legal standing terkait hal itu. Misalnya, dengan hanya melibatkan dua orang yang mengaku mewakili konsumen, yakni “komunitas perokok bijak”.
“Jelas 2 orang tersebut tidak memiliki legal standing dan tidak memiliki klaim untuk mewakili konsumen,” terangnya.
Selama ini, hampir semua SNI yang dikeluarkan oleh BSN selalu melibatkan YLKI. “Banyak teman-teman YLKI, baik staf maupun pengurus yang terlibat di SNI yang dibuat oleh BSN, karena memang tugasnya untuk melindungi konsumen,” kata Tulus.
Sementara rokok elektronik dianggap cacat Hukum, karena SNI yang dikeluarkan bertentangan secara diametral dengan UU Perlindungan Konsumen dan UU tentang Kesehatan.
“Berdasarkan UUPK dan UU Kesehatan, rokok apapun jenisnya adalah produk substandar, maka tidak bisa distandarkan,” terang Tulus.
Itu sebabnya, Tulus mengatakan, SNI rokok elektronik adalah blunder hukum bagi BSN.
Tak hanya itu, SNI rokok elektronik juga cacat kelembagaan. Menurut Tulus, patut diduga kuat proses pembuatan SNI tersebut merupakan hasil intervensi industri rokok kepada BSN
“Auranya tidak netral, tidak independen dan akhirnya tidak profesional pada BSN sangat jelas,” ucapnya.
Akibatnya, terbitnya SNI rokok elektronik, merontokkan reputasi BSN dan menimbulkan public distrust terhadap BSN.
Atas semua kecacatan itu, YLKI mendesak agar SNI rokok elektronik dicabut dan dibatalkan, karena merupakan produk kebijakan yang cacat.
YLKI juga akan menyomasi BSN untuk mencabut SNI tersebut. “Karena patut diduga merupakan tindakan mal-administrasi dan kami akan mengadukannya ke Ombudsman RI,” kata Tulus.
SNI PRODUK TEMBAKAU YANG DIPANASKAN
Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah mengeluarkan aturan tentang label SNI pada produk tembakau yang dipanaskan. Hal ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Standardisasi Nasional Nomor 63/KEP/BSN/3/2021 tentang Penetapan Standar Nasional Indonesia untuk Produk Tembakau yang Dipanaskan.
Sebelumnya, Direktur Pengembangan Standar Agro, Kimia, Kesehatan, dan Halal, Badan Standardisasi Nasional (BSN) Wahyu Purbowasito mengatakan, Kementerian Perindustrian dan BSN telah rampung menggodok SNI untuk produk tembakau yang dipanaskan (heated tobacco product).
“Sudah dirumuskan untuk SNI HTP,” terang Wahyu dalam siaran persnya, Jumat (3/9/2021).
Adapun untuk produk HPTL lainnya seperti rokok elektrik, BSN masih melakukan penggodokan aturan. Wahyu mengungkapkan fokus utamanya saat ini adalah standardisasi bagi cairan rokok elektrik. “Sekarang e-liquid sedang dalam konsep. Ada juga usulan untuk chewing tobacco,” ungkap Wahyu.
Standardisasi bagi produk-produk HPTL dilakukan untuk memastikan bahwa produk-produk yang beredar di Indonesia sesuai dengan spesifikasi pada SNI. Dengan demikian, konsumen bisa terlindungi dari potensi risiko akibat produk yang tidak memenuhi regulasi.
“Jika tidak ada standar, maka tidak akan terkendali bahan apa yang dimasukkan ke dalam produk tersebut. Bahkan bisa jadi produk yang dilarang pun jadi sulit untuk dikendalikan,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post