Jakarta, Prohealth.id — Dokter Spesialis Anak FKUI RSCM Prof. Damayanti R Sjarif masih ingat, ketika pada suatu hari, seorang ibu datang membawa anaknya yang masih berusia 20 bulan. Ibu tersebut berharap Prof. Damayanti dapat membantu menaikkan berat badan dan tinggi badan si anak yang tak kunjung membaik. Saat itu, si anak mengalami kesulitan makan.
Dia memprediksi si anak mengalami stunting, mengingat berat hanya 4,84 kg dengan panjang 68.8 cm. “Bahkan untuk duduk pun ia butuh bantuan,” kata Prof. Damayanti di sesi webinar “Pemenuhan Gizi Anak Mutlak Diperlukan Untuk Capai Generasi Emas Indonesia 2045”, Kamis (9/9/2021).
Prof. Damayanti mengungkapkan, “Sewaktu lahir, usia kandungan ibunya 38 minggu. Bayi lahir dengan panjang 35 cm dan berat 1050 g, sehingga masuk kategori prematur.”
Menurut penuturan sang ibu, bayinya sempat dirawat di Medical Intensive Care Unit (MICU) di sebuah pusat layanan kesehatan selama 50 hari. Keluar dari sana usai dinyatakan sehat, beratnya mencapai 1800 g.
“Saat itu, dokternya sudah curiga, karena tidak bisa minum, sehingga diberikan asupan khusus. Disitu dihitung rasionya, tetapi tidak diberikan dosis yang benar,” ungkap Damayanti.
Setelah ditelusuri, pada umur setahun, anak tersebut mengalami kesulitan makan dan hanya mampu mengkonsumsi bubur. Lalu pada umur 20 bulan kondisinya tak kunjung membaik. Anak tersebut bahkan tidak mampu menghabiskan jatah susu yang diberikan.
“Waktu dia datang, anak itu mengalami perkembangan motorik yang terhambat (developmental delay},” terang Prof. Damayanti.
Setelah diperhatikan grafiknya, ternyata kenaikan berat badan 1800 g bukan jaminan bahwa si anak kembali normal. “Bukannya makin bagus, dia malah lebih jelek dari sebelumnya. Karena sebelumnya posisinya ada di percentil 42.75 (kategori normal) dan saat dipulangkan meskipun beratnya naik 1800 g, ternyata persentil (usia 50 hari) masih 1.09. Ini disebut sebagai ekstra Uterine Growth Retardation. Artinya pertumbuhannya tidak adekuat,” ungkapnya.
Dengan usia 20 bulan, terlihat usia koreksinya seperti 17.5 bulan dengan berat badan rendah dan gizinya buruk. Jika ingin menaikkan berat badan menjadi normal, maka syaratnya, berat badan minimal paling tidak 85 persen dari jumlah normal. Jika dibawah itu, perlu upaya ekstra, seiring window opportunity yang semakin sempit.
Prof. Damayanti mencoba memberikan susu formula biasa (110 ml). “Ternyata dia gak bisa, dan bisanya minum sebanyak 50 ml, sehingga diganti dengan dukungan nutrisi berkalori tinggi, meskipun volumenya lebih sedikit,” katanya.
TERAPI DUKUNGAN NUTRISI
Anak-anak dengan gizi kurang, biasanya nafsu makannya juga berkurang. Terihat seakan-akan mau makan, namun hanya sebentar. Sehingga ia membutuhkan makanan khusus dengan kandungan nutrisi yang cukup dan mudah diminum, meskipun jumlahnya sedikit.
“Biasanya digunakan model enteral atau parenteral (memakai bantuan). Jika tidak bisa lewat mulut harus pakai lewat lambung menggunakan alat bantu khusus,” kata Prof.Damayanti.
Jika si anak masih mampu minum sendiri, maka makanan diberikan dengan cara diminum, dikenal sebagai Oral Nutritional Supplement (ONS).
“Persayaratannya, kalorinya tinggi dan karena itu tidak bisa diberikan pada sembarangan anak, namun harus dibawah pengawasan dokter,” ujarnya.
Secara umum, komposisi makanan ada yang diatas 1.2 kkal/ml disebut sebagai high energy. Sedangkan komposisi normal adalah 0.9 – 1.2 kkal/ml dalam bentuk cair atau bubuk. Biasanya memiliki kandungan proteinnya sebanyak 15 – 20 persen.
Saat memberikan nutrisi pada anak stunting, semua harus mengacu pada aturan WHO. Misalnya jika ingin mengejar kenaikan berat badan 10 g/kg/hari, setidaknya menggunakan P/E ratio (PER) sebesar 8,9 persen. Atau untuk mencapai 20 g/kg/ hari maka dibutuhkan R/E ratio sebesar 11,5 persen.
“Untuk mendapatkan tinggi badan yang cepat, dibutuhkan sedikitnya 180 – 200 kcal/Kg dengan P/E ratio sebesar 10-12 persen,” terangnya.
Setelah mendapatkan perawatan intensif selama 3 bulan, si bayi mengalami kenaikan berat badan yang sangat baik, dari awalnya 4,8 kg menjadi 8,2 kg. Selain itu, tinggi badan yang awalnya 68.8 cm naik menjadi 73.5 cm. Lingkar kepala yang tadinya 41 cm, berkembang menjadi 43.5 cm.
“Anak tersebut sudah mampu berdiri dan bisa jalan, dari yang semula tidak bisa sama sekali,” ungkapnya.
STUNTING DI INDONESIA
Prof. Damayanti mengatakan sebanyak 144 juta anak di seluruh dunia mengalami stunting. Sebanyak 55,9 persen di antaranya terjadi di Asia dengan jumlah anak mencapai 78.2 juta jiwa
“Di Asia terbagi atas Asia Timur (4,1 persen), Asia Barat (3,4% persen), Asia Tengah (0,8 persen) dan Asia Tenggara (13,9 persen),” katanya.
Khusus di Indonesia, dampak stunting (2019) menurut estimasi sebesar 21,3 persen atau 114 juta anak berusia dibawah 5 tahun. Ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami masalah terkait undernutrition yang diwakili stunting dan gizi buruk.
Untuk kategori tinggi anak sangat pendek, pada 2007 angkanya 18,8 persen, lalu di 2013 mencapai 18,0 persen, dan 2018 turun menjadi 11,5 persen.
Sementara kategori pendek pada 2007 prevalensinya 18,0 persen. Di tahun 2013 naik 19,2 persen dan 2018 menjadi 19,3 persen.
“Kita melihat angka pendek dan sangat pendek pada balita masih tinggi, sekitar 30.8 pada 2018,” ungkapnya.
Hal yang sama juga terjadi pada proporsi status gizi kurus pada balita selama periode 2007 – 2018. Di tahun 2013, pravelensi sangat kurus dan kurus sebesar 12,1 persen. Pada 2018 angkanya berkurang menjadi 10,2 persen.
“Kurus dan sangat kurus terjemahan dari wasting, angkanya juga masih tinggi,” ungkap Prof. Damayanti.
Jika melihat data tersebut, Indonesia memiliki masalah akut, yaitu undernutrition yang diwakili oleh stunting dan gizi buruk. “Sebenarnya masih ada satu lagi, yakni micro nutrient dificiency,” katanya.
Prof. Damayanti mengatakan, persoalan terbesar Indonesia adalah stunting, sehingga Presiden Joko Widodo menaruh perhatian yang besar. Benar saja, 5 Agustus 2021, Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden No.72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Deputi III Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto membenarkan hal itu. Menurutnya, Perpres soal stunting diperlukan, karena hal itu mempengaruhi kualitas SDM Indonesia.
“Sebagai kementerian koordinator, di dalamnya mengemban tugas terkait konsep lifecycle yang dibuat dan itu mempengaruhi cara koordinasi dan sinkronisasi dan pengendalian kita terhadap kualitas SDM di Indonesia,” paparnya di sesi webinar “Pemenuhan Gizi Anak Mutlak Diperlukan Untuk Capai Generasi Emas Indonesia 2045”, Kamis (9/9/2021).
Menurut Agus, pemerintah memiliki tanggungjawab sejak bayi masih di dalam kandungan, setelah lahir, usia dini, usia SMP/SMA, masuk usia kerja, hingga lansia. Semua circle itu sangat dipengaruhi oleh kualitas gizi.
MENGENAL STUNTING
Prof. Damayanti menegaskan, seorang anak tidak mudah dikategorikan stunting. Perlu pengukuran yang objektif sesuai anjuran WHO. Anak berumur dibawah 2 tahun harus diukur dengan posisi terlentang (tidur), sedangkan usia diatas 2 tahun, pengukuran dilakukan dengan posisi berdiri.
Menurut WHO (2006) klasifikasi anak dengan perawakan pendek kerap disebut stunted. Namun, perlu hati-hati karena mereka yang memiliki ukuran tubuh pendek, tidak selalu stunting.
“Penyebabnya bisa normal varian, dimana anggota keluarnya pendek semua. Bisa jadi saat remaja, tingginya bisa dikejar atau disebut Constitutional Growth Delay,” katanya Prof. Damayanti.
Sementara yang disebut stunting masuk ke dalam kategori pathological. Pathological sendiri dibagi dua, yaitu Proportionate dan Disproportionate.
“Jika anda kenal Ucok Baba, maka dia masuk kategori Disproportionate. Dia pendek, karena ada kelainan genetik,” terangnya.
Sementara yang proporsional juga harus dicermati secara baik. Bayi yang lahir kecil sebenarnya proporsional, namun jika tidak mendapatkan asupan makanan yang sesuai atau mengalami penyakit kronis, akan mengakibatkan stunting.
“Jadi stunting ini bagian dari semua anak pendek. Namun jangan mengatakan semua anak pendek adalah stunting, tetapi harus ada kriteria tertentu,” tegas Prof. Damayanti.
Seorang anak yang diduga stunting harus diperiksa lebih lanjut di pusat pelayanan kesehatan dan penyebabnya menurut WHO adalah kekurangan gizi kronis.
Prof. Damayanti menjelaskan, kekurangan gizi kronis akibat asupan gizi yang tidak adekuat. Adekuat karena faktor kemiskinan, dimana orangtua tidak sanggup memenuhi kebutuhan gizi anaknya. Pada kondisi ini, pemerintah perlu hadir melalui program social safety net.
Kemudian akibat ditelantarkan. Si anak tidak diberi makan oleh orang tua, karena ditelantarkan secara sengaja. “Anak seperti ini perlu ditangani melalui Program Kesehatan Sosial Anak Integratif – PKSAI,” katanya.
Selain itu, banyak juga akibat ketidaktahuan orang tua. “Pasien saya yang menengah keatas, ternyata tidak mengerti bagaimana cara memberikan makan yang benar kepada bayi dan anak mereka,” ujar Prof. Damayanti.
Adapun dasar fase pertumbuhan otak anak terjadi di dua tahun pertama kehidupan. Saat itu, bayi memerlukan komposisi lemak sebanyak 60 persen, dimana didalamnya ada kolesterol. Selain itu, otak juga memerlukan protein dan karbohidrat.
KEMUNCULAN STUNTING
Penelitian mengatakan, stunting bisa muncul pada saat bayi lahir dengan kondisi pendek. Proporsinya sebanyak 20 persen. Kemudian 20 persen lainnya, saat mendapatkan ASI di 6 bulan pertama. Selain itu, sebanyak 50 persen terjadi pada saat bayi berusia 6 – 24 bulan ketika mendapatkan makanan pengganti ASI, dan 10 persennya terjadi di tahun ketiga.
“Oleh sebab itu, usia 6 – 24 bulan merupakan masa krusial, dimana ASI sudah tidak mencukupi kebutuhan makanan tunggal dan makanan tambahan yang diberikan tidak sesuai dengan pertumbuhan anak. Ini menjadi perhatian khusus terutama untuk MP ASI,” tegas Prof. Damayanti.
Pada masa bayi, stunting muncul sebanyak 20 persen. Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dibawah 2500 g memiliki risiko stunting, wasting dan underweight.
Hal itu terjadi karena asupan makanannya kurang, sehingga kadar hormon pertumbuhan (IGF1) ikut berkurang, sehingga otak tidak berkembang. Akibatnya, otaknya berkembang hanya 80 persen dari kondisi normal dan jika dalam waktu dua tahun tidak dilakukan intervensi, akan berpengaruh terhadap IQ.
Seorang bayi atau anak yang berat badannya tidak bertambah secepat yang diharapkan untuk usia dan jenis kelamin (weight faltering), maka IQnya turun 3-4 poin. Jika sampai berat badan tidak adekuat dan dibiarkan begitu saja, maka akan mengalami growth deceleration, dan akhirnya stunting. IQnya akan turun lagi sebanyak 15-20 poin.
Selain itu, berat badan yang tidak adekuat akibat terkena diare, akan mengakibatkan gizi kurang atau gizi buruk, dimana IQnya turun sebanyak 15 poin.
“Situasi itu menunjukkan bahwa dampak stunting sangat jelas, yakni seorang anak yang kekurangan gizi berpotensi mengalami penurunan IQ,” terangnya.
MASIH BISA DIPERBAIKI
Prof. Damayanti merujuk penelitian dr. Grantham-McGregor soal Window of opportunity untuk memperbaiki gizi buruk pada anak. Disebutkan bahwa perbaikan gizi harus dilakukan segera saat anak berusia dua tahun. Lewat dari situ, dampaknya akan sangat buruk.
Anak stunting yang diberikan perlakuan khusus dengan perubahan tata laksana melalui pemberian susu formula 1kg/minggu, ternyata hanya mampu memperbaiki IQ sebanyak 50 persen.
Sementara anak stunting yang diberi stimulasi dan kombinasi, berupa dukungan nutrisi dan suplemen akan mengalami perbaikan kecerdasan sebanyak 90 persen.
“Artinya setiap anak yang stunting, perbaikannya tidak bisa 100 persen. Sehingga kuncinya, jangan sampai anak itu mengalami malnutrisi,” pintanya.
Jika stunting dialami oleh anak usia lebih dari dua tahun, dipastikan akan mengalami potensi terlambat masuk sekolah. “Si anak kesulitan mengikuti pendidikan di sekolah,” jelasnya.
Ketika anak normal bisa masuk sekolah pada usia 5 – 6 tahun, maka anak stunting baru masuk sekolah pada usia 6 – 7 tahun. Pada kondisi terburuk, anak-anak itu tidak bisa masuk sekolah biasa, namun harus ke sekolah khusus (SLB).
Oleh karena itu, window opportuny untuk memperbaiki IQ anak stunting sangat terbatas, hanya dua tahun saja. Itu terjadi karena si anak mengalami defisit di otaknya dan kemungkinan besar mengalami penyakit degeneratif di kemudian hari.
MASALAH DAN TANTANGAN
Agus Suprapto dari Kemenko Bidang PMK mengatakan masalah gizi di Indonesia salah satunya terkait stunting. Jika merujuk Global Nutrition Report (GNR) (2020), Indonesia masih mengalami persoalan terkait gizi, yakni banyaknya penduduk yang mengalami kekurangan gizi mikro, makro bahkan gizi lebih.
Menurut Agus, Indonesia memiliki balita stunting sebanyak 149 juta, dimana 49.5 juta diantaranya mengalami wasting. Indonesia juga berada di urutan ke-115 dari 151 negara di dunia yang mengalami stunting, merujuk data World Bank (2020).
“Itu karena Indonesia memiliki geografis yang sangat luas, berbeda-beda permasalahannya. Terutama hal-hal yang berhubungan dengan masalah sosial yang harus diselesaikan secara bersama-sama,” paparnya.
Agus menekankan, target penurunan stunting pada 2024 sebesar 14 persen. Namun, data Riskesdas 2013 mencatat prevalensi stunting masih 37 persen, dan menurun pada Riskesdas 2018 menjadi 31 persen.
“Oleh karena itu, pendekatan multi sektor sangat dibutuhkan. Termasuk berkolaborasi dengan perguruan tinggi untuk meningkatkan kepedulian mahasiswa terkait stunting. Ini sekaligus untuk menyukseskan Perpres No 72 tahun 2021,” terangnya.
Secara umum, pendekatan multi-sektor dan penurunan stunting meliputi: kesehatan dan gizi, ketahanan pangan, perlindungan sosial, pengasuhan dan PAUD, termasuk air minum dan sanitasi.
Saat ini, masalah secara klinis sudah selesai dilakukan, namun masalah di lapangan membutuhkan pendekatan yang serius. “Jika masalah di lapangan tidak bisa diatasi, maka pemerintah akan kesulitan menyelesaikan dampaknya. Itulah mengapa pentingnya menyelesaikan masalah di hilir,” kata Agus.
Selain itu, agus juga menjelaskan tentang hubungan stanting dengan gizi 1.000 hari pertama kehidupan, kualitas sanitasi, Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) hingga diare pada anak dan ibu hamil. Juga ada korelasi yang erat dengan sistem pencernaan yang rusak, sehingga gizi tidak terserap dengan baik.
“Semua itu mengakibatkan gizi buruk dan stunting,” tegasnya.
Khusus terkait pandemi Covid-19, Agus menilai ada sejumlah tantangan dalam penanganan stunting. Sejumlah hal, meliputi: terhentinya/ tertundanya pelaksanaan pemantaun tumbuh kembang balita, tertundanya pemantauan kecukupan asupan gizi ibu hamil dan balita masih terjadi.
Hal lainnya, pelaksanaan posyandu, kelas ibu hamil, pemberian imunisasi, termasuk pelaksanaan survei tahunan ikut tertunda.
Belum lagi, meningkatkan jumlah keluarga miskin berdampak pada menurunnya daya beli keluarga dalam mengakses pangan bergizi.
“Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang tidak biasa dalam menghadapi kondisi yang tidak biasa, diantaranya melalui edukasi dan konseling gizi melalui daring dan media lainnya. Juga bisa memanfaatkan teknologi komunikasi untuk pengaturan jadwal,” terang Agus.
ARAHAN PRESIDEN
Saat menghadiri ratas percepatan penurunan stunting pada 5 Agustus 2021, Presiden Joko Widodo dengan tegas menginginkan adanya aksi nyata. Oleh karena itu, penurunan stunting difokuskan di 10 provinsi yang memiliki prevalensi stunting tertinggi, diantaranya: NTT, Sulawesi Barat, NTB, Gorontalo, Aceh, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.
Presiden juga meminta agar akses pelayanan kesehatan bagi ibu hamil maupun balita di Puskesmas dan Posyandu harus tetap berjalan, meskipun pandemi Covid-19 tengah melanda.
“Bahkan aspek promotive, edukasi dan sosialisasi bagi ibu hamil dan keluarga harus digencarkan sehingga meningkatkan pemahaman terkait pencegahan stunting,” ucapnya.
Selanjutnya, upaya penurunan stunting diintegrasikan dengan program perlindungan sosial, terutama PKH, BPNT dan pembangunan infrastruktur dasar yang menjangkau keluarga tidak mampu.
Adapun konvergensi di tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan desa masih harus didorong, karena hal itu tidak mudah untuk dilaksanakan. “Ini yang menjadi fokus BKKBN sebagai ketua pelaksana ke depannya,” katanya.
Selain itu, presiden meminta sistem survailans, pemantauan dan evaluasi harus dikuatkan, baik di tingkatkan kabutan/ kota maupun nasional. Ini penting agar pencegahan bisa dilakukan.
Perpres No.72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting mencabut Perpres No.43 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Perpres yang baru ini mengamanatkan percepatan penurunan stunting dilakukan secara holistik, integratif dan berkualitas melalui koordinasi, sinergi dan sinkonisasi di antara K/L Pemda prov/kab/kota, pemerintah desa, dan pemangku kepentingan.
Meskipun Perpes 72 tahun 2021 telah sangat detil mengatur banyak hal, namun Agus mengatakan, aturan tersebut belum sempurna untuk bisa menurunkan prevalensi stunting di Indonesia.
Alasannya, butuh keterlibatan semua pihak untuk menyukseskannya. “Semua pihak diberi ruang untuk terlibat dalam mengatasi stunting ini,” katanya.
Selain itu, Perpres juga memberi kesempatan luas kepada Kepala BKKBN untuk mengambil keputusan terbaik yang sangat dibutuhkan. “Ini saatnya BKKBN mengambil peran lebih,” ucap Agus.
INDONESIA EMAS
Di kesempatan yang sama, Agus mengatakan, penurunan prevalensi stunting menjadi 14 persen bukan perkara mudah. “Secara umum, target penurunan sebesar 14 persen dirasa sangat berat, tapi ini harus dilakukan,” katanya.
Harapannya target 14 persen bisa tercapai di semua provinsi. Setiap kabupaten/ kota seharusya ikut mencanangkan hal itu. “Jika mereka bisa mencapai target tersebut, maka merupakan hal yang luar biasa,” ungkap Agus.
Untuk mewujudkannya, diperlukan rencana aksi keluarga, yakni menggunakan pendekatan keluarga. Hal itu meliputi: peningkatan komitmen dan visi kepemimpinan di pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, hingga pemerintah desa.
Juga peningkatan komunikasi perubahan perilaku dan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan konvergensi intervensi spesifik dan intervensi sensitif di pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kab/ kota dan pemerintah desa.
“Peningkatan ketahanan pangan dan gizi pada tingkat individu, keluarga dan masyarakat, hingga penguatan dan pengembangan sistem, data, informasi, riset dan inovasi harus dilakukan,” katanya.
Menurut Agus, aksi penanganan stunting juga berkorelasi dengan pencapaian generasi emas di 2045. Ketika pemerintah yang berperan sebagai inisiator, advokator dan regulator mampu bersinergi dengan level kabupaten/kota, termasuk organisasi perangkat desa, maka masyarakat akan ikut serta. Masyarakat akan berperan sebagai donatur, fasiitator, penggerak masyarakat, komunikator dan motivator.
Sementara perguruan tinggi, termasuk organisasi profesi, donatur dan institusi pendidikan lainnya dapat berperan sebagai donatur, fasilitator, tenaga ahli, pakar, keilmuan, pembimbing teknis dan pengembang model promosi kesehatan.
Juga tak ketinggalan pengusaha dalam hal ini pihak swasta, dunia usaha atau industri perbankan yang bisa berperan sebagai donatur, regulator internal, pendukung sumberdaya dan komunikator.
Terakhir adalah media sebagai peyedia informasi sekaligus komunikator kepada masyarakat. “Ketika media sebagai influencer, dinamisator sekaligus stabilisator mampu menciptakan suasana kondusif terkait percepatan penurunan stunting, maka generasi emas di tahun 2045 akan terwujud,” tandasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post