Jakarta, Prohealth.id – Seruan Gubernur DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan Dilarang Rokok menuai kritik dari pelaku usaha ritel. Benarkah seruan ini memicu kerugian besar bagi pelaku usaha?
Melalui siaran pers yang diterima Prohealth.id, pelaku usaha menilai aturan ini makin menambah tekanan bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) dan juga industri retail secara garis besar. Menurut Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Tutum Rahanta, seruan yang diteken pada 9 Juni 2021 tersebut meminta seluruh pengelola gedung Provinsi DKI Jakarta untuk melakukan pembinaan terhadap pemberlakukan kawasan larangan rokok.
Salah satu poin utamanya adalah tidak memasang reklame dan display rokok, termasuk juga memajang kemasan produk rokok di tempat berniaga. Kebijakan penindakan juga telah dilakukan oleh pemerintah kota Jakarta Barat dengan menutup stiker, poster, hingga menutup rak pajangan produk rokok. Dia mengatakan kebijakan tersebut kurang tepat dan tidak beralasan. Kebijakan tersebut seolah memperlakukan produk IHT sebagai barang ilegal.
“Padahal sebelum ini juga sudah sangat dibatasi dan kami semua patuh. Semua sudah ada aturan perdagangannya termasuk kewajiban seperti pajak yang kami patuhi,” kata Tutum.
Menurutnya, larangan menampilkan produk IHT dan zat adiktif akan menekan roda perekonomian yang saat ini masih jauh dari kata normal, karena pandemi Covid-19 masih berlangsung. Tak hanya itu, dia beralasan seruan ini dikeluarkan tanpa sosialisasi, sehingga banyak pelaku usaha yang terkejut dengan kebijakan ini. Tutum berharap kebijakan ini dicabut, sebab keputusan ini juga bisa memberikan sentimen buruk bagi kepastian berusaha secara garis besar. Bukan tidak mungkin, produk lain juga bisa mengalami diskriminasi serupa di masa depan.
Ketua Departemen Minimarket Asosiasi Peritel Indonesia (APRINDO) Gunawan Baskoro menambahkan seruan gubernur ini akan semakin menekan kinerja ritel secara keseluruhan. Seperti yang diketahui ritel di segmen toko swalayan, kelontong, hypermarket, dan department store sudah banyak yang berguguran sepanjang pandemi. Tidak kurang ada lebih dari 1.500 gerai yang sudah tutup permanen sepanjang dua tahun terakhir. “Kami sudah tunaikan semua kewajiban, bukannya didukung malah makin ditekan,” katanya. Kondisi ritel nasional juga belum menunjukkan tren pemulihan. Selain itu, industri sektor ritel juga minim insentif.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo) Joko Setiyanto mengatakan seruan ini juga akan berdampak pada sektor perdagangan eceran kecil seperti di pasar tradisional dan warung kelontong. Rokok sendiri, merupakan salah satu komoditas utama dalam perdagangan di layer ini. Menurut Joko, kebijakan ini justru mengabaikan upaya percepatan pemulihan ekonomi masyarakat yang terpukul oleh pandemi Covid-19.
KEBANGKRUTAN USAHA ITU TIDAK BENAR
Menurut Nina Samidi, Program Manager Komnas Pengendalian Tembakau produk IHT adalah produk legal namun tidak normal karena harus dikendalikan peredaran juga konsumsinya. Adapun pembatasan konsumsi ini dikarenakan kenyataan produk IHT ini berbahaya dan menciptakan kecanduan. Oleh karena itulah dari proses produksi sampai distribusi dan periklanan jelas harus melalui regulasi.
“Rokok itu tidak sama dengan susu, roti, beras, ini bebas diiklankan karena tidak ada dampak berbahaya dan adiktif,” ujar Nina kepada Prohealth.id.
Nina juga menanggapi bahwa kebijakan Seruan Gubernur DKI tidaklah mengganggu roda perekonomian, karena rokok masih surplus selama pandemi. Produk lain memang mengalami penurunan tapi rokok tidak menurun penjualannya. Hal ini terafirmasi dengan perilaku merokok selama pandemi cenderung mengalami peningkatan.
“Komnas Pengendalian Tembakau membuat survei ada 40 persen konsumsi perokok tetap, ada 13 persen malah konsumsinya meningkat. Perokok ini umumnya bahkan orang yang bermasalah finansial, kehilangan pekerjaan akibat pandemi,” tuturnya.
Prohealth.id menemukan dalam laporan Global Tobacco Industry Interference 2020, Indonesia masuk dalam peringkat kedua negara terburuk di dunia dalam pengendalian tembakau karena banyaknya intervensi dari pihak industri.
Riset ini menyatakan, selama pandemi Covid-19 pelaku IHT memang kerap mendorong anjuran merokok. Bahkan, cukup banyak IHT di dunia yang mengaku bahwa merokok bisa menjadi solusi keluar dari pandemi. Sejumlah cara intervensi yang berkaitan dengan ekonomi ini membuat pemerintah rentan untuk tidak mengetatkan pengendalian tembakau.
CELAH-CELAH CUAN MASA PANDEMI
Peningkatan konsumsi rokok juga tercermin dari kondisi kesejahteraan rumah tangga yang terancam. Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) Aryana Satrya menyatakan konsumsi merokok di Indonesia masih sangat tinggi. Data WHO menunjukkan bahwa 62 persen laki-laki dewasa merupakan perokok. Kemudian 227 ribu jiwa melayang akibat perilaku konsumsi rokok. Data riset juga menunjukkan para anak-anak dan generasi muda yang berusia 10-18, angka prevalensi merokoknya melonjak sangat tinggi.
“Kami merasa bahwa penelitian perilaku merokok ini sangat penting apalagi melihat bahwa tantangan yang dihadapi dalam Covid-19 akan sangat besar apalagi jika dilihat dari pihak istri ataupun pasangan dari perokok,” kata Aryana.
Dia mengingatkan dari riset ini menunjukkan pihak istri dapat dianggap sebagai orang yang menanggung beban tiga kali lipat karena menjadi kelompok rentan, terdampak pandemi, dan berisiko terpapar asap rokok sebagai perokok pasif karena pasangan yang mengalami kebijakan Work From Home (WFH). Dari latar belakang ini terlihat bagaimana dampak pandemi dan perilaku merokok dari sudut pandang sang istri.
Irfani Fithrian menambahkan selaku Peneliti PKJS UI, alasan suami merokok mayoritas dikarenakan sudah merokok dari dulu, beberapa mengatakan dapat mengurangi stres dan membantu sang suami lebih berkonsentrasi dalam bekerja. Riset pun membuktikan sebanyak 29,4 persen suami responden merupakan perokok dengan lama merokok 5-10 tahun, sedangkan 25 persen suami reponden adalah perokok dengan lama merokok lebih dari 20 tahun.
Dia menjelaskan mayoritas masih mengonsumsi rokok tembakau dan hanya 7,6 persen diantaranya menggunakan rokok elektronik. Dengan demikian, hasil dari survei menyatakan bahwa secara umum rata-rata konsumsi harian rokok tidak jauh berbeda antara periode sebelum maupun selama pandemi.
“Yang perlu diperhatikan ialah pola konsumsi rokok pada keluarga dengan pendapatan rendah,” ujar Irfani.
Jika diamati pola konsumsi pada pendapatan rendah yang digolongkan dari Rp5 juta, mereka memiliki intensitas yang sama dengan pendapatan tinggi dengan golongan Rp10-20 juta. Sedangkan kelompok dengan pendapatan rendah mengakui bahwa penghasilan selama pandemi kurang cukup dalam menghidupi keluarga mereka. Maka untuk mengatasi hal tersebut, sebanyak 50,8 persen suami responden beralih dengan mengonsumsi rokok yang harganya jauh lebih murah.
Kelly Henning selaku Direktur Program Kesehatan Publik Bloomberg Philanthropies mengatakan selama pandemi perusahaan rokok di seluruh dunia juga memanfaatkan momentum ini untuk kegiatan CSR. Dia menyebut, sekalipun sebuah negara sudah mencoba dengan komprehensif melakukan pengendalian tembakau, namun industri kerap berusaha untuk berinovasi dan menghasilkan produk baru.
“Mereka bahkan mencoba mengambil keuntungan di tengah pandemi Covid-19 saat negara lain kesulitan mendapatkan sumber untuk mengendalikan penyebaran Covid-19. Meski demikian temuan dari riset ini mempertegas dan menjadi arahan bagi pemerintah di seluruh dunia agar lebih berani dalam mengontrol industri tembakau,” ujar Kelly.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post