Jakarta, Prohealth.id – Communication and Advocacy Manager Save the Children Indonesia Dewi Sri Sumanah mengatakan, revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana seharusnya memperhatikan hak-hak anak.
Hal itu diungkapkan Dewi pada webinar “Sosialisasi Pedoman Perilaku Peliputan Bencana dan Krisis” yang digelar secara daring, pada Minggu (26/9/2021).
Pada pertengahan tahun 2020, Save The Children sempat bertemu Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ace Hasan Syadzly yang juga Ketua Panja Revisi UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang sedang digodok DPR.
“Saat itu, kami mempertemukan Ace Hasan dengan anak-anak penerima manfaat Save the Children (STC) untuk program pengurangan risiko bencana,” katanya.
Hal itu sejalan dengan salah satu prinsip yang diusung oleh Save the Children, yakni mengedepankan partisipasi anak. “Termasuk bagaimana setiap program dan keputusan yang diambil STC dan diharapkan juga oleh pemerintah agar mendengarkan suara anak,” ujar Dewi.
Dewi menambahkan, “Itu artinya kita menjunjung tinggi hak partisipasi anak.”
Pada pertemuan yang diikuti oleh anak-anak penyintas bencana Palu dan Lombok disampaikan beberapa hal penting. Mereka ingin suara anak-anak ada di dalam revisi UU nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
“Dan itu disepakati oleh Ace Hasan, diantaranya terkait penanganan bencana yang harus memperhatikan dan memprioritaskan hak anak,” papar Dewi.
Anak-anak juga menceritakan tentang kebutuhan yang belum di respons oleh pemerintah. Termasuk hal-hal lain yang mereka harapkan.
Saat itu, seorang anak dari Palu, Sulawesi Tengah menyampaikan tentang kondisi camp pengungsian yang mereka tinggali. “Mereka bilang, boleh tidak, ada lampu terang yang menuju kamar mandi? Karena di kamar mandi tidak ada lampu,” kata Dewi menirukan perkataan anak tersebut.
Ternyata di pengungsian, ada hak anak yang belum terpenuhi. Akibatnya, anak-anak itu menjadi takut saat ingin ke kamar kecil pada malam hari.
“Itu kan, hal yang anak-anak langsung rasakan. Mengapa sampai tidak ada lampu di kamar mandi?” tanya Dewi.
Selain itu, anak-anak juga menyampaikan bahwa dalam setiap proses paska bencana, khususnya penyusunan program rehabilitasi, mereka ingin dilibatkan. Termasuk dalam upaya pengurangan risiko bencana.
“Mereka ingin dilibatkan, diajak berdiskusi tentang peran anak dan Ace Hasan memperhatikan. Semoga benar-benar ada di dalam revisi UU bencana ” jelasnya.
Khusus terkait penanggulangan bencana, anak-anak menyampaikan bahwa jangan hanya anak-anak yang diberi pendidikan, tetapi juga keluarganya. Anak-anak ingin para orang tua diberi pemahaman tentang sistem peringatan dini.
Orang tua dan anak perlu mengetahui tentang kerentanan dan ancaman risiko di wilayahnya masing-masing. Setelah mengetahui potensi ancaman, simulasi pencegahan bencana bisa dilakukan secara reguler. “Sehingga ketika ada bencana mereka tidak panik dan sudah tahu apa yang harus dilakukan,” kata Dewi.
Pada kesempatan itu, anak-anak juga menyuarakan tentang perlunya program bagi penyandang disabilitas. Pasalnya, para penyandang disabilitas, utamanya anak-anak kerap mengalami kesulitan saat bencana terjadi.
“Itu beberapa yang disampaikan oleh anak-anak dan kami berharap, apa yang menjadi masukan anak-anak dan masukan STC bisa termaktud di revisi UU PB,” ujarnya.
Meskipun terkesan tidak prioritas, namun jika menempatkan posisi anak yang mengalami kondisi pasca bencana, maka menjadi lebih baik jika kebutuhan dasar anak terpenuhi.
Sebelumnya, survei Save the Children Indonesia pada tahun 2019 di tiga kabupaten di Jawa Barat, ditemukan satu dari dua anak tidak tahu cara menyelamatkan diri jika terjadi bencana.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post