Jakarta, Prohealth.id – Rokok ilegal ternyata bukan sebuah respon akibat cukai rokok yang naik. Sebaliknya, rokok ilegal justru lebih banyak beredar pada negara-negara dengan tarif cukai tembakau yang rendah karena hal ini sangat memudahkan oknum rokok ilegal melakukan korupsi.
Abdillah Ahsan selaku Direktur SDM UI & Peneliti Senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI) mengatakan, industri rokok kerap menyampaikan argumen bahwa kenaikan tarif cukai akan diikuti dengan peningkatan rokok ilegal. Padahal, jika mengutip penelitian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu faktor yang signifikan memengaruhi kenaikan rokok ilegal bukanlah kenaikan tarif, melainkan tingkat korupsi yang tinggi.
“Rokok ilegal akan meningkatkan kematian akibat penyakit yang terkait dengan konsumsi rokok dan hilangnya penerimaan negara sebagai akibat dari konsumsi yang meningkat karena harga rokok ilegal lebih terjangkau,” tuturnya, Kamis (14/10/2021) dalam webinar bertajuk ‘Peningkatan Tarif Cukai dan Tantangan Pemberantasan Rokok Ilegal” sebagai diseminasi penelitian Evaluasi Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Pajak Rokok Daerah untuk Pemberantasan Rokok Ilegal.’
Abdillah menjelaskan banyak klaim dari industri rokok menyatakan penyelundupan dan rokok ilegal terjadi karena tingginya harga rokok dan tingginya cukai rokok. Klaim ini dijustifikasi untuk mendorong wacana agar cukai dibuat tetap rendah. Nyatanya, klaim ini dapat disanggah.
Berdasarkan hasil kajian pada negara dengan harga rokok sebesar US$5 justru market share rokok ilegalnya sebesar 10 persen. Sementara itu, pada negara dengan harga rokok yang lebih murah yaitu sebesar US$1, peredaran rokok ilegalnya malah lebih tinggi yaitu 17 persen. Artinya, makin murah harga rokok peluang peredaran rokok ilegal cenderung lebih besar.
“Menaikan harga rokok sebesar 3,9 persen dapat menurunkan konsumsi global rokok ilegal sebesar 2 persen. Hasil lainnya adalah pendapatan global tahunan yang dapat diraih mencapai US$31,3 juta serta mampu menyelamatkan 160.000 nyawa setiap tahunnya,” ungkap Abdillah Hasan.
Dia tak menampik bahwa kehadiran rokok ilegal memungkinkan akses terhadap rokok menjadi semakin mudah yang mengakibatkan efek domino, dari meingkatnya konsumsi rokok, meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat rokok hingga potensi kehilangan pendapatan negara.
Mengingat potensi yang sangat berbahaya dari rokok ilegal ketika cukai tak dinaikkan, Abdillah mengingatkan pentingnya bahu-membahu mencari solusi atas permasalahan kesehatan yang timbul dari konsumsi rokok untuk mewujudkan SDM Indonesia yang berkualitas dalam menyambut Indonesia Emas 2045.
“Hal ini sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang bahwa rokok merupakan salah satu komoditas yang perlu diatur konsumsinya. Sehingga, mohon dukungan dari Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perekonomian karena pada dasarnya ekonomi kita akan jauh lebih baik dengan masyarakat yang sehat”, tutur Abdillah.
Asal tahu saja, Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (PEBS FEB UI) bekerjasama dengan The International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (The Union) menyelenggarakan webinar ini untuk mendorong pemahaman kesehatan publik.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post