Jakarta, Prohealth.id – Kepala Bagian Sosial, Pemuda dan Olahraga, Biro Kesejahteraan Rakyat Dinas Sosial DKI Mariana menyebut larangan penyelenggaraan reklame rokok di DKI Jakarta sebagai upaya untuk membangun kesadaran masyarakat tentang hidup sehat.
Oleh karena itu, dia mengapresiasi dukungan masyarakat yang berperan aktif melaporkan pelanggaran reklame rokok di DKI Jakarta. “Juga evaluasi terhadap tata cara pemerintah Pemprov DKI Jakarta dalam menyelesaikan laporan masyarakat secara efektif,” katanya.
Mariana menjelaskan, rokok merupakan produk olahan tembakau yang bersifat adiktif. Hal itu telah diatur secara tegas dalam pasal 113 ayat 2 UU no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. “Ini hanya mengingatkan agar kita menjadi lebih yakin dengan langkah-langkah kita kedepannya,” ujar Mariana yang sebelumnya menjabat Sekretaris Dinas Sosial DKI Jakarta.
Zat adiktif, menurut Mariana meliputi; tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, gas, cair yang bersifat adiktif yang mengakibatkan penggunanya dapat mengalami kerugian bagi diri dan atau sekelilingnya.
“Bahkan kepastian rokok sebagai produk adiktif dikuatkan dengan putusan MK yang menyebutkan jika frasa zat adiktif dihilangkan, maka hal itu tidak akan mengubah fakta bahwa senyatanya tembakau memang mengandung zat adiktif,” terang Mariana pada sesi lokakarya darinh berjudul ‘Tindak Lanjut Penyelesaian Aduan/Laporan Masyarakat tentang Larangan Reklame Rokok’, Selasa, (19/10/2021).
Sehingga tidak dapat dipungkiri secara yuridis bahwa rokok sebagai produk olahan tembakau, adalah produk yang bersifat adiktif, sehingga konsumsinya harus diawasi dan peredarannya perlu dikendalikan.
“Berdasarkan hal tersebut, Pemprov DKI Jakarta mendukung kebijakan pemerintah pusat, demi terwujudnya warga DKI yang sehat. Khsususnya pada pelarangan reklame rokok, baik di dalam maupun di luar ruangan,” katanya.
Aturan terkait reklame telah terdapat di dalam Perda No. 9 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Reklame Rokok, Pergub No.148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Reklame, Pergub No.1 Tahun 2015 tentang Larangan Penyelenggaraan Reklame Rokok dan Produk Tembakau pada Media Luar Ruang.
“Lalu ada Pergub No.40 Tahun 2020 tentang perubahan atas Pergub No.50 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembinaan Pengawasan dan Penegakan Hukum Kawasan DIlarang Merokok dan yang paling baru adalah Seruan Gubernur No.8 Tahun 2021 tentang Pembinaan Kawasan DIlarang Merokok,” papar Mariana.
Mariana menambahkan, rangkaian regulasi tersebut merupakan bukti Pemprov DKI Jakarta memiliki kebijakan melarang segala bentuk reklame rokok, termasuk memajang bungkusan rokok di tempat penjualan, baik supermarket, mini market, toko kelontong, dan sebagainya.
Hal ini diambil, karena semua reklame dalam bentuk iklan, promosi dan sponsorship telah memicu anak dan remaja untuk memulai merokok. “Ini wujud nyata, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri karena untuk mewujudkan masyarakat sehat sejahtera, maka perlu didukung oleh suluruh lapisan masyarakat,” katanya.
PENGADUAN MELALUI JAKI
Koordinator Smoke Free Jakarta Dollaris Riauaty (Wati) Suhadi mengatakan, dalam waktu singkat dua bulan telah ditemukan banyak pelaporan terkait larangan reklame rokok melalui sistem aplikasi JAKI (Jakarta Kini).
“Di pemerintahan itu ada banyak kanal pengaduan yang bisa digunakan. Hanya saja, apakah kanal tersebut cukup efektif digunakan, lalu apakah pengaduan itu ditindaklanjuti, agar memberikan solusi?” tanya Dollaris.
Ketika aturan tentang pelarangan reklame rokok sudah ada, Dollaris menilai Pemprov DKI dan jajarannya telah menjalankan aturan tersebut, termasuk mengelola Jaki dengan baik. “Hanya saja, kami melihat ada ketidakkonsistenan terkait interpretasi dari petugas-petugas di lapangan yang ternyata berbeda-beda,” katanya.
Selama dua bulan, Smoke Free Jakarta menemukan 1200 aduan yang masuk melalui JAKI. “Ini adalah jumlah yang menurut kami sangat besar. Kita belum pernah menjumpai angka sebanyak ini,” jelasnya.
Dari data tersebut, di seluruh wilayah di Jakarta, mulai dari Jaksel, Jakbar, Jakut, Jaktim dan Jakpus, jumlah pelaporan yang masuk cenderung merata. Angkanya bervariasi antara 200 – 300 pengaduan.
Dari pengaduan tersebut, Smoke Free Jakarta menilai semua aduan telah ditindaklanjuti. Hanya saja, ada perbedaan terkait “tindak lanjut”. Ada yang tindak lanjutnya tegas, yakni reklame diturunkan hingga pajangan rokok di rak ditutup.
“Tapi ada juga tindakan yang tidak jelas tindak lanjutnya. Tidak jelas, karena tidak ada foto sebelum dan sesudah tindakan. Kemudian laporan dinyatakan selesai,” kata Dollaris.
Menurut Dollaris ada beberapa contoh kasus yang mereka temukan terkait penegakan aturan larangan reklame rokok. Yang cukup menarik, ketika Smoke Free Jakarta memperhatikan aksi tindak lanjut yang tidak menyertakan foto verifikasi dari lapangan. Sebuah kondisi yang berbeda dari sebuah.
“Ini menjadi catatan bahwa ada ketidakkonsistenan proses validasi. Biasanya diverifikasi dengan foto. Diperlihatkan telah dilakukan tindakan. Ada satu yang missing disini,” terangnya.
Secara umum, jangka waktu respons, dari sejak aduan masuk hingga tindak lanjut dan selesai, rata-rata 1.27 hari atau dalam 30 jam 29 menit. Untuk jaksel waktunya 1.59 hari, Jakbar 0.90 hari, Jakut 1.83 hari, Jaktim 0.99 hari, Jakpus 1.04 hari. “Total waktu rata-rata 1.27 hari,” katanya.
Kendati demikian, penyelesaian laporan melalui JAKI cukup bervariasi. Ada yang kurang dari 24 jam, namun ada juga yang mencapai 9 hari. Hal itu bisa diketahui dari tanggal pelaporan hingga selesai.
“Ini semua ada recordnya di sistem JAKI Pemprov DKI dan kami lihat, Jakbar dan Jaktim responsnya cukup cepat,” katanya.
Terkait dengan jenis pelanggaran reklame, Dollaris menyebutkan ada dua jenis, yakni luar ruangan (outdoor) berupa spanduk, stiker dan dalam ruanga (indoor). Biasanya ditemuakab dekat meja kasir. “Bentuknya pajangan bungkus rokok, videotron, aksesoris dengan merek rokok, stiker, LED. Bahkan ada permen yang dibungkus merek rokok yang sifatnya aksesoris,” katanya.
Untuk itu, Dollaris mengusulkan sejumlah langkah tindak lanjut. Mulai dari edukasi, memberitahukan ke petugas ritel, pentupan billboard menggunakan kain, kardus, plastik hitam/ putih. “Di Jakarta ada 21 kasus, dimana Jaksel ada 7 kasus, Jakpus 2 kasus, Jakut: 2 kasus dan Jaktim; 10 kasus,” katanya.
Selain itu, sosialisasi oleh lurah perlu dilakukan seperti di Jakarta Barat, pengecekan ke lapangan untuk melihat apakah reklame sudah diturunkan, hingga pemuatan foto sebagai bentuk tindak lanjut yang memperlihatkan apakan reklame sudah diturunkan atau tidak.
Dari sisi monitoring, Dollaris menyampaikan bahwa pasca laporan aduan dan tindak lanjut dengan jumlah monitoring acak kurang dari 10 persen tidak bisa disimpulkan. Oleh karena itu, perlu memperbanyak frekuensi monitoring pasca tindak lanjut, untuk membuktikan tingkat kepatuhan.
Untuk membuktikan tingkat kepatuhan, Smoke Free Jakarta mencoba membuktikannya di sejumlah lokasi. Misalnya di Jakarta Selatan, monitoring dilakukan di 6 lokasi. “Yang patuh ada 6 dan yang tidak pauh jumlahnya 0. Enam lokasi itu merupakan 2,7 persen dari total pengaduan di Jaksel,” katanya.
Sementara di Jakpus ada 11 lokasi monitoring yang artinya 4,9 persen dari jumlah aduan yang masuk. Ditemukan 9 tempat masih patuh dan 2 tidak patuh. “Total yang kami monitoring di DKI ada 47 atau 3,9 persen dari jumlah aduan yang masuk ke JAKI. Secara jumlah ada 40 yang masih patuh, sedang 7 sisanya tidak patuh,” papar Dollaris.
Dollaris menambahkan, dari sini ada indikasi, mereka masih patuh setelah diambil tindakan. Artinya, masyarakat jika diberitahu soal peraturan, maka cenderung akan patuh. “Yang penting adalah konsisten.”
Pada kesempatan itu, Dollaris menyampaikan kesimpulannya bahwa semua aduan telah ditindaklanjuti, meskipun ada beberapa catatan, seperti: aksi tindak lanjut dari petugas Satpol PP dianggap tidak konsisten.
“Biro Pemerintahan tidak konsisten memberikan penyelesaian laporan. Misalnya, laporan dianggap selesai padahal tindak lanjut dan foto tidak menjelaskan apakah reklame diturunkan atau tidak,” katanya.
Selain itu, ada perbedaan interpretasi peraturan antar wilayah. Masyarakat juga belum mengetahui peraturan larangan reklame rokok.
“Khusus fitur “search history” di sistem JAKI tidak user-friendly, harus scroll manual untuk mencari data historis. Ini agak melelahkan, untuk melihat apakah sebuah laporan sudah ditindaklanjuti atau belum,” papar Dollaris.
KENDALA REGULASI
Kepala Bidang Ketentraman dan Ketertiban Umum Satpol PP DKI Jakarta, TP Purba memastikan, regulasi terkait pelarangan reklame rokok sudah banyak. “Pada dasarnya kami tetap konsisten terhadap kawasan bebas rokok yang berada di Pemprov DKI Jakarta,” katanya.
Kegiatan tersebut telah dilaksanakan dengan baik dibarengi kegiatan-kegiatan yang sifatnya sinergi dan beriringan meskipun di masa pandemi Covid-19. “Kami tidak melupakan itu, karena kami merupakan penegak semua aturan daerah maupun peraturan gubernur. Tidak hanya terkait merokok saja, tetapi juga masalah lain, seperti sampah,” paparnya.
Kendati mengalami kendala terkait pengaturan waktu dan kesiapan merespons aduan yang masuk, Satpol PP selalu berusaha melakukan penindakan terhadap reklame rokok, di luar maupun dalam ruangan.
“Berdasarkan kegiatan di tahap I dan II, di tahap II kita sudah melaporkan bahwa sesuai dengan instruksi Kasatpol PP telah dilakukan pengawasan dan pengendalian di 5 kawasan di Jakarta di 293 lokasi dan 486 item,” paparnya.
“Itu data yang ada di kita berdasarkan seluruh wilayah. Ini penindakan secara fisik ke lapangan. Ini belum terkait dengan pengaduan di aplikasi JAKI pada tanggal 6 Oktober 2021,” imbuh Purba kemudian.
Menurut Purba, terjadi perbedaan penindakan di lapangan, utamanya ritel seperti Indomaret, Alfamart dan lainnya, karena aturan terkait display reklame masih menimbulkan pertanyaan.
“Mereka kerap memajang reklame rokok, sementara seruan gubernur itu bukan merupakan dasar hukum, karena kekuatannya tidak sepenuhnya bisa melakukan penindakan,” terangnya.
Oleh karena itu, ketika rapat bersama sejumlah SKPD terkait (Biro Kesos, Biro hukum, UMKM), Satpol PP mengusulkan agar Pergub 1/2015, Perda 148/2017 segera direvisi. “Karena disana tidak ada ketentuan tentang memajang, karena semua bicara tentang reklame di dalam dan luar ruangan,” katanya.
Ketika aturan khusus terkait larangan memajang kemasan rokok belum ada, Purba mengusulkan dilakukannya sosialisasi kepada pengusaha ritel melalui Biro Kesos yang memiliki fungsi koordinasi.
“Soalnya pengusaha ritel meminta waktu untuk mengubah sistem tata cara kemasannya. Mungkin ditutup pakai gorden, kertas atau pake disain tersendiri sehingga tidak dilihat oleh anak-anak,” ungkap Purba.
Khusus terkait pengaduan yang masuk melalui JAKI, ditemukan 570 laporan kategori rokok dari total 1.990 laporan. “Di Jakpus ada 104, Jakut 261, Jakbar 111, Jaksel 63 dan Jaktim 31. Jumlah total ada 570 yang terkait kategori reklame rokok,” paparnya.
Berdasarkan rapat yang digelar pada tanggal 6 Oktober 2021, Purba mengakui bahwa banyak petugas Satpol PP yang belum memahami soal regulasi tersebut. “Sehingga kami segera melakukan perubahan di sistem, dengan melakukan perubahan SOP terkait penanganan reklame rokok di indoor ataupun outdoor,” ujarnya.
Meskipun aturan tersebut belum memadai, Purba bisa memakluminya. Hal ini dia menilai karena terlalu singkat aturan di Pergub tersebut sehingga kebawahnya tidak mengatur hal-hal yang lebih detil sifatnya. “Sehingga kami sebagai petugas di lapangan bukan mencari pembenaran tapi kenyataannya kami harus berpegang kepada aturan. Karena kami juga rawan digugat jika salah bertindak,” terangnya.
Senada dengan itu, Kepala Seksi Data dan Informasi Satpol PP DKI Jakarta Adi Krisno Prayogo, selalu pengelola JAKI mengakui adanya ketidak konsistenan petugas terkait tindak lanjut penanganan reklame rokok, meskipun telah bekerjasama dengan semua pihak.
“Sebenarnya semua satu persepsi. Bukan tidak ada konsisten. Namun di setiap wilayah yang dilaporkan tidak bisa disesuaikan atau sama semua untuk tindakannya,” kata Adi.
Dia memastikan, persepsi tentang penertiban, penurunan sekaligus imbauan serta edukasi secara humanis telah dilakukan sesuai arahan pimpinan. “Itu yang terus dikedepankan,” terangnya.
Namun mengenai reklame yang belum dicopot meskipun sudah divalidasi oleh biro pemerintahan, menurut Adi, pihaknya selalu menindaklanjuti setiap pengaduan yang masuk.
“Namun berbeda lokasi, berbeda minimarket, berbeda warung, berbeda kondisi yang dihadapi oleh petugas di lapangan untuk menindaklanjuti laporan. Itu tidak bisa disamakan,” ujarnya kembali.
Misalnya, di Jakarta Timur semuanya sudah paham, sehingga reklame yang melanggar bisa langsung dicopot. Atau di Jakarta Barat, pemilik warung memilih membalikkan spanduk rokok.
“Tapi ada juga di tempat lain, seperti kucing-kucingan. Kendala-kendala itu di lapangan telah diketahui dan yang pasti, semua laporan mengenai reklame rokok telah ditindaklanjuti oleh pemerintah wilayah,” tegasnya.
Selama ini, pemajangan rokok masih menjadi perdebatan. “Karena aturannya belum jelas. Itu sebabnya tidak bisa secara maksimal ditindak,” pungkasnya.
Penulis: Jekson Simanjuntak
Editor: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post