Jakarta, Prohealth.id – Dunia seni dan kreatif kerap mendapat persepsi bahwa para pegiatnya pasti butuh stimulus, dan salah satunya adalah rokok. Apakah benar demikian?
Sayangnya asumsi ini terpatahkan oleh tiga anak muda yang berkarya di dunia seni dan kreatif tanpa merokok, bahkan tidak mau membuat karya untuk kepentingan industri rokok.
Seorang content creator di media sosial, Rinaldi Nur Ibrahim misalnya. Pria asal Bone, Sulawesi Selatan ini sesungguhnya adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan, Program Studi Farmasi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan latar belakang ilmu kesehatan, Rinaldi aktif membuat konten kreatif yang edukatif dan bermanfaat mendorong kesehatan masyarakat.
“Saat ini Indonesia menghadapi bonus demografi. Usia produktif lebih banyak dari yang non produktif. Kita harus menjadikan ini bukan sebagai tantangan, tapi peluang,” ujar Rinaldi dalam Festival Keren Tanpa Rokok beberapa waktu yang lalu.
Pendiri platform Bijak Obat dan Youth Ranger Indonesia ini menilai anak muda sebagai bagian dari bonus demografi wajib terlibat menjaga kesehatan publik. Salah satu caranya adalah dengan memberikan edukasi kesehatan di media sosial. Contoh paling sederhana ialah dengan mengampanyekan tips hidup sehat, termasuk tips terbebas dari jerat candu rokok.
Dia menegaskan, secara rata-rata rokok telah menyumbang sekitar 230 ribu masyarakat yang meninggal karena sakit pernapasan. Oleh sebab itu, Rinaldi mengambil komitmen sebagai anak muda dan content creator untuk bisa merumuskan Indonesia maju dengan tidak melakukan promosi terhadap produk dari industri rokok dan zat adiktif.
“Banyak bukti bahwa rokok itu membunuh kita. Ada ratusan orang meninggal karena rokok. Akibatnya karena rokok kita jadi tidak produktif, dan tidak bisa melakukan yang terbaik untuk diri kita, masyarakat, dan keluarga kita,” tegasnya.
MENGHADIRKAN ‘DUA DUNIA’ DALAM SENI
Tak hanya Rinaldi, dua perempuan alumni Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dari Fakultas Desain Komunikasi Visual, Eva Mega Astria dan Ovita Pattari Purnamadjaya juga teguh untuk menerapkan ide-ide seni dalam kampanye mengendalikan tembakau.
“Awalnya kami ikut lomba periklanan, kami lolos dapat piala gold kategori mahasiswa. Dari kegiatan itulah kami diundang ke acara #TheyLieWeDie yakni gerakan pengendalian tembakau,” terang Ovita Pattari.
Baik Ovita dan Eva awalnya sangat buta terhadap konstelasi indutri rokok di Indonesia dan dampaknya bagi ekonomi dan kesehatan masyarakat. Dalam proyek #TheyLieWeDie inilah, Ovita, Eva, dan tim menerima banyak edukasi tentang dinamika industri rokok. Bersama dua teman sesama mahasiswa UMN, mereka membuat sebuah karya berjudul ‘Dua Dunia’.
“Ini adalah karya interpretasi fisik hingga psikis dan perasaan para perokok aktif maupun pasif. Dalam ‘Dua Dunia’ kami adalah pihak netral dimana orang-orang bisa saling berbicara. Mereka menjadi paham dan memunculkan toleransi untuk menjawab 7 kebohongan industri rokok, salah satunya hak udara bersih,” tutur Ovita.
Dua Dunia sebagai karya film, motion, grafis, dan juga instalasi seni telah mendorong tim yang dinahkodai oleh Ovita dan Eva ini melaju dalam Asia Pacific Conference on Tobacco or Health (APACT) di Bali pada 2018 lalu.
“Kami pun akhirnya mengiyakan dan menghadirkan instalasi Dua Dunia itu dalam festival tobacco control,” sambung Eva.
Perjalanan Eva dan Ovita ternyata membuat keduanya berkomitmen lebih untuk ikut terlibat aktif dalam pengendalian melalui karya-karya mereka. Sebagai contoh, Eva yang sudah melek akan siasat industri tembakau bertekad tidak menggunakan jalur seni dan kreativitasnya untuk membantu industri rokok.
“Saya tak mau mencari nafkah dari kerugian orang lain,” tegasnya.
Sementara itu Ovita bahkan mempertajam pemahaman soal pengendalian tembakau dalam tugas akhir kuliahnya. Dia mencoba menggali persoalan para petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah. Ovita melakukan riset dan menemukan betapa kondisi ekonomi para petani tembakau sangat memprihatinkan. Oleh sebab itu para petani harus didorong untuk beralih dari tradisi monokultur.
“Para petani ini harus alih tanam dengan pertanian baru Namanya pola Tlahab. Ini pola para petani memulai diversifikasi tanaman. Inilah yang akhirnya menjadi inspirasi tugas akhir saya,” tutur Ovita dengan bangga.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post