Jakarta, Prohealth.id – Center for Indonesia’s Development Initiatives (CISDI) menilai isu yang mengatasnamakan upaya pengendalian tembakau sebagai salah satu penghambat pertumbuhan industri dalam negeri tidaklah tepat.
Setiap bulan September sampai Oktober, selalu menjadi momen kritis yang mana perdebatan mengenai cukai rokok menjadi fokus utama. CISDI mencatat sejumlah pertentangan di media sosial antara pro dan kontra terkait rencana kenaikan cukai rokok per tahun. Hal ini terbukti dari gambaran social network analysis yang CISDI lakukan, terlihat jelas ada polarisasi isu antara mereka yang pro dan kontra.
Senior Advisor on Gender and Youth for the Director-General of WHO dan sekaligus Pendiri CISDI, Diah Saminarsih menilai isu yang beredar di Indonesia kerap membenturkan antara cukai rokok dengan mematikan industri tembakau.
“Upaya pengendalian tembakau seringkali dilihat sebagai oposisi dari pengembangan industri dan pembangunan ekonomi. Kalau konsumsi rokok diturunkan, bukankah negara yang akan dirugikan? Riset ini berupaya menjawab pertanyaan ini,” tuturnya.
Padahal, ada banyak data yang menunjukkan pengendalian tembakau tidak akan membunuh industri tembakau ataupun petani tembakau. Dia menegaskan cukai adalah instrumen menekan konsumsi rokok. Namun Diah menilai hal ini belum optimal menurunkan konsumsi rokok kalangan anak dan remaja.
“Apa yang kita upayakan dalam membuat kebijakan tidak hanya lihat kepentingan saat ini, tetapi kepentingan kebijakan tersebut di masa depan dan generasi yang akan datang,” tutur Diah.
Oleh karena itu, Diah menegaskan perlu disepakati bersama, kesehatan adalah kebutuhan dasar yang perlu diprioritaskan bahkan lebih dari upaya ekonomi.
Sementara itu, Teguh Dartanto selaku Penasehat riset CISDI dan Ketua Klaster Penelitian Bidang Kemiskinan, Perlindungan Sosial, dan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia menjelaskan, perokok anak dan remaja di Indonesia punya kecenderungan untuk naik setiap tahun secara berkala. Oleh karena itu, perubahan perilaku perokok wajib menjadi fokus penelitian dan kebijakan dan hubungannya dengan perbaikan kondisi makroekonomi Indonesia.
“Perokok kita pada 2016 itu harga rokok semakin terjangkau dibandingkan 2002. Naiknya 1,5 kali lebih tinggi yang membuat rokok terjangkau anak-anak,” ujar Teguh.
Hal ini menandakan sekalipun cukai sudah naik berkala nyatanya cukai belum optimal mengendalikan perokok anak dan remaja. Oleh karena itu, penentuan besaran cukai rokok tidak hanya mempertimbangkan dampak kenaikannya terhadap konsumsi dan kesehatan masyarakat, tetapi juga pada perekonomian.
“Konsumsi rokok akan menurun setelah kenaikan cukai, tetapi penurunan ini tidak linier. Yang menarik, kenaikan cukai akan tetap meningkakan penerimaan negara,” ungkap Teguh.
Penelitian ini dimulai dengan melakukan simulasi kenaikan cukai rokok tahun 2020. Hasilnya, konsumsi rokok akan menurun jika ada kenaikan cukai, tetapi, penurunan konsumsi tidak sebesar kenaikan cukai. Misalnya, tahun 2020 cukai rokok naik 24 persen, konsumsinya hanya turun 17 persen. Bahkan, kalau cukai rokok naik 45 persen, penurunan konsumsi hanya 25,5 persen. Bahkan, perhitungan mengenai dampak ke tenaga kerja juga menghasilkan data yang sama. Aktivitas ekonomi secara nasional tidak mengalami penurunan, sehingga penyerapan tenaga kerja tidak mengalami penurunan.
“Menurut simulasi kami, kenaikan cukai rokok di tahun 2020 berdampak pada perekonomian positif. Tidak ada bukti bahwa ada impact negatif terhadap omset/output pada perekonomian,” pungkasnya.
Artinya, kata Teguh, sweet spot kenaikan tarif cukai rokok ada di titik 46 persen. Dengan demikian, tidak masalah jika cukai rokok dinaikkan sampai setinggi itu.
“Ini ada hubungan U terbalik, jadi mau naik sampai 46 persen, tidak ada penurunan penerimaan negara. Tetapi kalau lewat dari 46 persen, mungkin ada penurunan penerimaan. Tidak ada bukti empiris kenaikan cukai menghambat penerimaan negara,” tuturnya.
Penulis: Gloria Fransisca Katharina Lawi
Discussion about this post